Senin, 18 Februari 2013

Kembang Gula


Episode #6

“Justru aku datang ke sini untuk mengucapkan selamat tinggal sementara kepada kamu Kembang. Aku minta maaf, tapi kita harus membuat suatu kesepakatan, kita jangan bertemu untuk beberapa bulan hingga kamu benar-benar telah menyelesaikan semua ujian itu. Kita baru akan bertemu jika kamu telah benar-benar masuk di universitas kedokteran.”
Kembang sontak menarik tangannya dari genggaman Bhima. Tidak menyangka Bhima akan berkata seperti itu. ternyata Bhima lebih kejam dari orang tua yang memaksakan kahendak kepada anaknya.
“Apa?? Mas Bhima akan meninggalkan aku dan membiarkanku berjuang sendirian?” Kembang tertawa getir. “Mas Bhima kejam, aku tidak menyangka kamu melakukan ini terhadapku, padahal sebelumnya aku kira kamu adalah kakak terbaik untukku yang akan selalu ada menemaniku untuk melalui ujian-ujian masuk universitas, aku kira Mas Bhima akan memberikan aku semangat selain orang tuaku dan Yasmin, aku kira..” tangis Kembang pecah.
“Untuk apa kamu menyuruhku menjadi seorang dokter jika kamu tidak melihat perjuanganku? Untuk apa kamu menyuruhku menjadi seorang dokter jika kamu akan meninggalkanku seperti ini?” Kembang menutup mukanya dengan kedua tangan, dia sesenggukkan.
Bhima tidak tahu harus mengatakan apa, dia mendekati Kembang mencoba menenangkannya. Bhima memeluknya, pelukan pertama dari seorang laki-laki untuk Kembang. Kembang meronta.
“Lepaskan! untuk apa Mas Bhima masih mencoba menenangkanku? Kamu tahu, pagi itu di depan terminal aku berjanji pada diriku sendiri bahwa aku akan berjuang menjadi seorang dokter, demi siapa? Demi kedua orang tuaku? Bukan! Mereka berdua tidak pernah memaksakan aku untuk menjadi apa. Demi Yasmin? Bukan! Dia bahkan tidak menyukai bau obat. Demi siapa? Demi kamu Mas Bhima! DEMI KAMU!!” air mata itu semakin deras membanjiri pipi Kembang. Untung saja di rumah sedang tidak ada orang, kedua orang tua Kembang sedang pergi, sementara Yasmin sedang keluar bersama kekasihnya.
Tampak buliran air mulai runtuh dari sudut mata Bhima. Kembali dia mencoba merangkul pundak Kembang. Tapi diurungkannya niat itu mengingat Kembang sangat marah kepadanya.
“Namanya Ara, dia kakak perempuanku satu-satunya. Dia ingin menjadi dokter agar kelak dapat menyembuhkan ibuku yang sakit kanker pada waktu itu. Kanker payudara.” Bhima mengusap pipinya, dia menatap langit-langit rumah Kembang, dia sudah hafal setiap sudut langit-langit rumah itu. Tapi dia menatapnya bukan karena ingin memastikannya tapi dia tidak sanggup untuk menceritakan kisah yang sebenarnya hanya patut dia kenang sendiri.
Kembang mengangkat kepalanya yang sejak tadi dia tenggelamkan dalam tangkupan kedua tangannya. Tanpa mengusap air mata yang sudah membanjiri pelupuk matanya.
“Aku masih kelas satu SMA waktu itu. Ara setiap hari belajar dengan sungguh-sungguh, bahkan semangatnya tidak mengendur ketika ibu sempat tidak sadarkan diri karena kanker yang menggerogoti salah satu payudaranya justru sebaliknya dia memacu semangatnya agar bisa menembus seleksi ujian masuk perguruan tinggi yang diadakan satu bulan kemudian.” Kini Bhima menunduk, memejamkan matanya kembali dipaksakan pikirannya untuk kembali mengingat sosok Ara. Sementara Kembang masih terpaku di tempatnya.
“Satu minggu sebelum ujian itu diadakan Ara mengajakku untuk keluar jalan-jalan. Dia ingin menghirup udara malam setelah sekian bulan berkutat dengan buku-bukunya. Aku memboncengnya untuk melihat lampu-lampu kota yang berwarna-warni. Ara memeluk pinggangku erat, aku tidak tahu bahwa pelukan itu adalah pelukan terakhir Ara untukku.” Bhima menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Sampailah dia pada kenangan yang menyakitkan.
Kembang terperanjat, namun masih tetap di tempatnya. Diusapnya air mata yang menggenang di pelupuk matanya karena pandangannya sedikit kabur karena air mata itu.
‘Bhima, Kakak bangga memiliki adik seperti kamu, kamu sangat baik dan mencintai keluarga. Jangan pernah melupakan keluarga meskipun kelak kamu menjadi orang besar. Ingatlah selalu perjuangan Ayah dan Ibu yang mempertaruhkan seluruh hidupnya untuk menghidupi kita, agar kita menjadi orang yang berguna suatu saat nanti. Oh iya? Kamu mau jadi dokter juga nggak kalau sudah lulus nanti?’ “Itulah kalimat sekaligus pertanyaan terakhir Ara yang belum sempat aku jawab, karena tiba-tiba ada sebuah bus dengan kecepatan tinggi yang melaju keluar dari jalur kiri dan menabrak motor kami, aku sempat berusaha membelokkan motor untuk tetap menjaga keseimbangan agar Ara masih tetap menempel pada tubuhku, tapi aku salah aku malah membuatnya terpental dan….” Bhima sudah tidak sanggup lagi meneruskan kata-katanya. Bahunya tampak berguncang ketika dia sesenggukkan.
Air mata Kembang kembali meleleh, tangannya perlahan ingin menyentuh bahu Bhima, tapi diurungkannya karena sejak tadi kembang sudah memarahinya, Kembang merasa tidak enak. Kembang menatap sosok yang sedang menunduk itu lekat-lekat dan pada saat itu juga Bhima mengangkat kepalanya dengan gerakan yang sangat cepat hingga tidak sadar wajahnya berada hanya sejengkal dari wajah Kembang. Kembang tidak berusaha untuk menjauhinya, untuk beberapa detik mereka saling menatap satu sama lain, tatapan yang dalam. Bhima semakin mendekatkan wajahnya hingga beberapa senti sebelum kedua hidung mereka bertemu Bhima membelokkan arah kepalanya, dia memeluk Kembang. Pelukan yang hangat, Kembang bisa merasakan pelukan tulus dari Bhima.
“Ara meninggal saat itu juga, sementara aku mengalami luka berat hingga harus dirawat selama beberapa minggu di rumah sakit. Ibu meninggal tujuh hari setelah kepergian Ara.” Bhima sangat pelan membisikkan pada Kembang, ditariknya nafas panjang. “Itu adalah cobaan terberat dalam hidupku. Aku telah merenggut impian kakakku, aku telah menghancurkan harapannya untuk dapat menyembuhkan Ibu, aku juga telah membunuh ibu. Aku menyesal Kembang, sangat menyesal! Rasanya aku ingin bunuh diri saat itu juga, tapi melihat ayah dan kata-kata terakhir Ara aku mengurungkannya. Aku melihat Ayah yang sangat tegar meskipun aku tahu hatinya menangis kehilangan dua orang yang sangat dicintainya sekaligus. Aku menatap matanya yang kosong, aku masih punya Ayah yang berhak untuk kubanggakan, aku mencoba sekuat tenaga untuk dapat membuatnya tersenyum. ” Suara itu semakin lirih hingga yang terdengar hanya suara sesengggukan Bhima. Kembang mempererat tangannya yang melingkar di punggung Bhima.
“Karena itu, aku tidak mau sesuatu yang sama terjadi pada kamu, aku tidak mau karena impian kamu yang tinggal sejengkal hilang ditangaku,” Bhima melepaskan pelukannya, tangannya berpindah ke pundak Kembang. “Lihat aku Kembang, maaf jika aku telah membuatmu terpaksa berjanji untuk menjadi seorang dokter karena aku ingin kamu menyembuhkan mereka yang sedang sakit.”
“Pertanyaan Ara waktu itu, sebenarnya aku ingin menjawab bahwa aku tidak ingin menjadi dokter, karena dengan adanya Ara yang menjadi dokter bagiku sudah cukup, karena Ara akan menjadi dokter yang hebat, jadi untuk apa aku menjadi dokter jika kami telah memiliki dokter yang terbaik. Tapi aku tidak sempat menjawabnya. Jadi Kembang sekali lagi maafkan aku, entah mengapa sejak pertama kali melihatmu aku sudah merasa nyaman bersamamu, aku merasa menemukan Ara dalam dirimu, ah bukan. Kamu bukan Ara kamu adalah Kembang, kalian masing-masing memiliki kemampuan yang luar biasa, kamu tidak akan pernah menjadi seperti Ara, begitu juga Ara yang tidak akan pernah menjadi sosok Kembang. Karena kalian di dunia ini memiliki peran masing-masing. Kamu percaya aku kan Kembang?”
Tanpa ragu lagi Kembang memeluk Bhima. Kali ini lebih erat, tangisnya juga kembali pecah. “Maafkan aku Mas Bhima, maaf. Aku janji akan menjadi dokter bukan karena kamu yang menyuruhku, tapi karena aku ingin. Aku tidak tahu kapan aku meninggal setidaknya, dalam hidupku aku bisa bermanfaat bagi orang lain.”
“Terima kasih Kembang, tapi jika suatu saat nanti kamu bimbang dan kamu menyesal, maka jangan diteruskan. Tidak baik melaksanakan suatu hal karena keterpaksaan belaka. Aku akan pergi untuk sementara, jika memang kita jodoh maka kelak kita akkan bertemu kembali.”
“Tidak, Mas Bhima harus menemuiku setelah ujian itu. mas Bhima mau berjanji kan?”
Bhima hanya tersenyum. Senyum yang mengandung sejuta tanya di benak Kembang.

==bersambung==

Tidak ada komentar: