Rabu, 09 November 2016

Pagi diantara Padi, Belalang, dan Awan

dok. pri

Mentari pagi bersiap untuk segera beranjak dari tempat peraduannya. Cahaya kuning dari timur sudah mulai tampak, sedikit demi sedikit menyembul di balik padi yang sudah mulai meninggi. Tidak ada yang membenci kehadiran sang Mentari.

Awan putih mulai menampakkan dirinya ketika matahari mulai meninggi, tidak ada yang mampu menghalangi putihnya awan selain pekatnya mendung yang mengubah keceriaan menjadi kesedihan.

Semilir angin menggoyangkan ujung-ujung tanaman padi, sebuah sapaan pagi dari angin bahwa hari ini dia akan selalu ada memberikan kesegaran kepada setiap makhluk bumi. Seekor Belalang hinggap di salah satu ujung daun padi yang tampak mulai berisi, masa panen akan tiba beberapa waktu lagi.

"Jadi, bagaimana kabarmu Belalang?" bisik Padi, ujung daunnya semakin bergoyang saat Belalang menghinggapinya.

Belalang masih mengatur kembali nafasnya, pagi ini matahari memang bersinar lebih terang, membuatnya lebih letih dari biasanya.

"Kabarku baik, syukurlah masih bisa berjumpa dengan kalian pagi ini." Ucapnya memicingkan mata menatap matahari pagi. "Sinarmu pagi ini begitu kuat, ada apa gerangan? apa hari ini kamu sedang bahagia?" Tanya belalang kepada Mentari.

"Ha ha ha..!! Ya hari ini aku berbahagia sekali, lihatlah awan bisa menjadi putih jika aku terang seperti ini!"

Sang Awan tersipu, pagi ini memang dia seputih kapas yang berterbangan menghiasi langit biru.

"Belalang, apa padi yang kamu lihat di sawah lain juga sama seperti aku?"

Belalang tertawa, bagaimana mungkin tanaman berbeda, bentuk tanaman padi dimana-mana juga sama

"Belalang, diantara kita hanya aku yang tidak dapat berpindah dan berkeliling mengunjungi tempat-tempat indah, berkelana kesana-kemari" Celetuk Padi. "Jadi bisakah kamu bercerita kepadaku bagaimana gambaran dunia luar, bagaimana binatang yang terbang lain, bagaimana sawah di tempat lain." Lanjutnya.

"Jangan pernah bersedih hanya karena kamu tidak berpindah, kamu tetap tumbuh Padi!" Jelas Belalang.

"Iya, tapi aku akan tetap di sini dari pijakan pertama tanpa tahu bagaimana suasana di luar sana, tidak seperti kamu yang bisa terbang dengan bebas, matahari yang mengelilingi bumi setiap hari, dan kamu awan yang menghiasi langit dengan warnamu yang bersih. Sementara aku?"

"Hidup tidak akan pernah sama setiap harinya, kamu akan tumbuh berhenti sejenak pada pijakanmu, akan datang waktunya kamu akan beranjak. Percayalah hidup sudah ada yang mengatur. Kamu memang tidak langsung melihat dunia luar tapi dengan adanya kami di sini seolah kamu bisa berkeliling.." jelas Mentari

"Coba lihat, ketika orang-orang di luar sana merasakan hangatnya matahari senja, kamu di sini juga merasakan hangat yang sama bukan? lalu ketika malam bertabur bintang, kamu juga masih bisa memandangnya kan?...." Tambahnya

"Saat mendung menggelayut hitam, kamu juga akan merasakan hujan yang turun setelah beberapa saat kusimpan, air hujan yang mengguyur sekujur badanmu akan selalu sama dimanapun.." Lanjut Awan.

"Iya, tapi aku tidak bisa melihat hewan dan manusia lain dengan beraneka rupa dan bentuk"

"Sekarang coba aku tanya, siapa yang membajak tanah tempat kamu tumbuh? Siapa yang menanam benih, menyemai pupuk, hingga kamu tumbuh dan semakin berisi seperti ini? Manusia. Setiap hari kamu bertemu mereka, kamu yang menjaga kebutuhan mereka hingga mereka dapat melangsungkan hidup beranak pinak, ya mereka adalah manusia. Jika telah tiba waktunya mereka akan memanen dan mengolahmu sedemikian rupa hingga kamu berubah menjadi sebutir beras saat itulah giliranmu untuk berkeliling, menjadi kebutuhan utama makhluk hidup lain, saatnya kamu bisa melihat  dan memberi manfaat pada manusia di luar sana" Mentari  mencoba memberi pengertian kepada Padi.

"Baik Mentari maupun Awan memang tidak tumbuh seperti kita, makhluk hidup, tapi mereka bagian dari hidup kita yang tidak terpisahkan. Mereka akan mengiringi kita tumbuh, tua, kering, mati, hingga muncul kehidupan yang baru lagi." Jelas Belalang.

Padi teringat petani yang menancapkan kehidupan awal padanya melalui sebutir benih, memupuknya, menjaganya setiap hari dari serangan tikus dan hama. Padi juga memahami apa yang dikatakan Mentari, Awan, dan Belalang bahwa tidak semua kehidupan berlangsung sesuai keinginan kita, perubahan memang akan selalu terjadi dan ada saat dimana kita harus berhenti sejenak mengamati sekitar bahwa kita hidup tidak sendiri ada lingkungan yang menyeimbangkan kita, saling melengkapi, hingga datang suatu masa dimana kita harus beranjak untuk melanjutkan hidup dan memberi manfaat di tempat yang baru.

****


Senin, 07 November 2016

Dua Hari Keliling Blitar - part 2

Hari kedua di Blitar.

Rencana di hari kedua ini adalah mengunjungi Candi Penataran, Istana Gebang, dan sebuah tempat yang katanya sedang 'Hits' di Blitar yaitu Kampoeng Coklat, heuheu. Namun lagi-lagi yang menjadi kendala adalah bagaimana cara kami untuk menuju tempat-tempat tersebut mengingat tidak ada kendaraan umum yang bisa digunakan. Baiklah kami akan memikirkannya sambil sarapan pagi yang sudah disediakan di hotel ini :D

Balkon Lantai 2
Setelah sarapan, kami memutuskan untuk mencari rental mobil lewat google, siapa tahu ada yang 'nyantol'  :p, beberapa nomor kami hubungi hingga akhirnya mendapatkan satu nomor yang menyediakan jasa 'muter-muter' kota Blitar + driver. Jam delapan pagi kita sudah beberes sekalian check out dari hotel. Tujuan pertama Candi Penataran.

Pelataran candi Penataran
Foto dari Candi Induk






Sekitar satu jam kami mengelilingi candi, cuaca siang yang panas membuat kami tergoda dengan es dawet yang jual di warung seberang pintu masuk candi, jadi yaa mapirlah kita heuheu....

Istana Gebang, tampak depan
Tujuan kedua sebelum kembali pulang ke Surabaya adalah Istana Gebang, yang merupakan rumah masa kecil Bung Karno. Jam buka Istana gebang ini mulai pukul 07.00 - 17.00 WIB. Saat masuk akan dikenakan biaya retribusu sebesar Rp 2.000,- lalu mengisi buku tamu. Alas kaki wajib dilepas.
Di halaman depan sebelah kiri terdapat Gong perdamaian. Mengelilingi rumah ini berasa kembali ke masa dimana masih ada keluarga Bung Karno, karena semua peralatan dan perabotan masih ada dan tertata rapi. Banyak foto-foto Bung Karno dan keluarga besarnya yang dipajang di setiap ruangan seolah menceritakan perjalanan hidup keluarga ini.

Gong Perdamaian

ruang tamu depan

bilik kamar



Ruang Keluarga

tempat penyimpanan perkakas
foto orang tua Bung Karno (Raden Sosrodihardjo dan Ida Ajoe Njoman Rai)

Raden Roro Soekarmini dan Raden Soekarno
Di dalam rumah suasana terasa sejuk, semua benda yang terdapat di dalam rumah ini boleh diabadikan asal sesuai dengan peraturan yang tertera di setiap ruangan, misalnya seperti pada bilik kamar pengujung dilarang duduk di atas kasur.
Garasi mobil Bung Karno
Di halaman luar terdapat pementasan seni tradisional jaranan pegon, sehingga suara musik gamelan mengiringi perjalanan mengelilingi Istana gebang ini.

Saya berfoto dengan salah satu penari cilik :D
Sebenarnya kami ingin melihat pertunjukkan seni tersebut, tapi setelah tanya kepada salah satu penari bahwa jadwal pementasan mereka baru jam satu siang nanti, kami mengurungkan niat karena harus segera beranjak ke tujuan selanjutnya agar sampai di Surabaya nanti tidak terlalu malam. huhuhu :(

Baiklah kami segera menuju ke tujuan terakhir, yaitu Kampoeng Coklat.
Saya tidak sempat mengabadikan foto yang baik saat di Kampoeng Coklat karena suasana pada Minggu siang itu sangat ramai, berjubel, bahkan parkiran yang di buka di rumah-rumah penduduk sekitar pun sudah penuh dengan kendaraan.

Di dalam suasana kebun coklat memang terasa mengingat tempat duduk ala foodcourt berada tepat di bawah pohon coklat. Makan siang yang dijual di sini pun tidak mahal, dengan penyajian ala prasmanan kita memilih dan mengambil sendiri mulai dari nasi, lauk pauk yang tersedia kemudian nanti dibawa ke bagian kasir untuk dihitung jumlah yang harus dibayar. Menurut saya harga dan makanan di sini sebanding karena rasanya pas di mulut orang Surabaya seperti saya ini. Lalu sebagai bukti kalau pernah ke sini tak lupa membeli minuman rasa coklat original dan oleh-oleh beraneka macam coklat.

Pukul dua siang kami tiba di terminal Patria, sambil menunggu bus kami istirahat dan sholat di mushola terminal. Mushola cukup bersih dan dingin. Syukurlah bus yang dinantikan tiba tidak lama kemudian, dan beruntungnya lagi kami menjadi penumpang pertama yang naik sehingga bisa bebas memilih tempat duduk. Hehe :D Saatnya menikmati perjalanan sore kembali ke Surabaya.


**Part 1 bisa dibaca --> http://shespebe.blogspot.co.id/2016/11/dua-hari-keliling-blitar.html

Minggu, 06 November 2016

Dua Hari Keliling Blitar

Sabtu, 05 November 2016

Rencana dadakan untuk pergi ke Blitar (Sebenarnya niatan pergi ke Blitar untuk mengunjungi salah satu saudara yang tinggal di asrama Yonif 511 Blitar itu sudah lama, namun baru bulan ini bisa terrealisasikan :) itupun juga dadakan.. hehe ) akhirnya kesampaian juga. Ketika semua serba dadakan baik dalam hal pemesanan hotel maupun tiket kereta api, beruntungnya saya dan keluarga masih memperoleh kamar di Patria Plaza Hotel untuk penginapan satu malam. Namun, sayangnya untuk tiket kereta api berangkat kami hanya mendapatkan tiket tanpa tempat duduk, sementara untuk pulang malah tidak mendapatkan tiket sama sekali, hiks... kami memang ingin perjalanan kali ini tidak membawa kendaraan pribadi dengan alasan ingin menikmati perjalanan santai dengan menggunakan transportasi umum, yang menurut saya pribadi hanya bisa dicapai dengan kereta api :D baiklah untuk pulang kami memutuskan naik bus.

menunggu KA
kami menggunakan KA Penataran dengan jalur yang bawah
Dari riset awal dengan tanya kiri kanan kepada teman yang sering mendapatkan tiket kereta api tanpa tempat duduk, bahwa kita bisa duduk asal 'penghuni resmi' tempat duduk itu belum datang, jika sudah datang terpaksa kita harus mengalah, karena memang mereka pemegang tiket dengan nomor tempat duduk resminya. Kami berempat (saya, Ayah, Ibuk, dan satu sepupu) masih 'aman' dengan tempat duduk dari stasiun Gubeng Surabaya - stasiun Bangil. Karena dari stasiun Bangil naiklah rombongan murid TK yang akan wisata ke Malang, huhu... akhirnya kami berdiri hingga Blitar. Yasudah dinikmati saja deh :(

Sampai di Stasiun Blitar, kami langsung menuju ke hotel yang letaknya cukup jauh -jika ditempuh dengan berjalan kaki- tapi memang asyiknya di sini jika berpergian tanpa membawa kendaraan pribadi, kami berjalan menyusuri tepi jalan hingga ke aloon-aloon kota Blitar bak turis, hehe.... Kami berhenti sejenak untuk sholat di masjid besar seberang aloon-aloon, dan makan siang di warung sate, lalu melanjutkan perjalanan ke Patria Plaza Hotel di Jl. Kartini.








teras di lt. 2



Nomor kamar kami di lantai 2


suasana dalam kamar

Setelah check in di hotel jam 2 siang, kami istirahat sejenak sebelum berlanjut ke rumah saudara. Blitar memang bersih dan nyaman kotanya, hanya saja saya sempat bingung kenapa tidak ada transportasi umum sama sekali di sini seperti angkot atau taksi, apa mungkin karena di sekitar wilayah hotel ini adalah wilayah wisata sehingga yang banyak berkeliaran hanya becak dan andong. Okelah nggak masalah jika ingin naik becak, tapi jika jarak yang ditempuh cukup jauh apa masih memungkinkan naik becak? hmm... 

Ayah dan Ibuk
Sore harinya sebelum berangkat ke rumah saudara, kami memutuskan untuk berkunjung ke Makam Bung Karno sejenak, karena Ayah belum pernah kesana, sementara saya, Ibuk, dan kakak sepupu sudah pernah berkunjung ke sana beberapa tahun yang lalu.

Oh iya, selama di Blitar ini jalanan selalu penuh dengan komunitas motor dengan plat nomor dari berbagai daerah di Indonesia, ternyata mereka sedang ada acara tahunan di Blitar. Pantas saja sejak berjalan dari stasiun ke penginapan banyak sekali komunitas motor yang lalu lalang. Kami pun berjumpa kembali dengan mereka di Makam Bung Karno.

Karena tidak ada taksi atau angkutan umum, kami memutuskan naik becak ke asrama Yonif 511 yang menurut saya jaraknya cukup jauh. Tarif becak Rp 25.000,- untuk sekali angkut. Suasana Blitar gerimis sore itu. Pulangnya, terpaksa kami diantar dua per dua (karena hanya ada dua motor) untuk kembali ke hotel dan beristirahat.

*Cerita dua hari di Blitar akan dilanjut di part dua :)

Senin, 18 Juli 2016

Bangku Kosong di Tepi Danau

Bangku Kosong di tepi Danau : dok, pribadi

Siang hari yang cerah berhiaskan awan putih
Angin semilir, menggoyangkan ilalang dan tumbuhan di sekitar

Bangku kosong di tepi danau hanya bisa menatap 
Saat angin yang sedang bergurau dengan dedaunan,
membuatnya melepaskan diri dari tangkainya

"Jangan bersedih!" Sapa dedaunan
"Jangan pernah menunggu, yang telah berlalu tidak akan pernah kembali" Bisik angin
Bangku kosong merasakan ada sesuatu yang menyentuhnya kala sehelai lagi daun jatuh dipangkuannya.

"Aku tidak lagi menunggu yang telah pergi ataupun yang berlalu, 
namun aku tetap di sini hanya untuk yang akan datang, bukan yang kembali" Sahut Bangku kosong yang kemudian mengembangkan senyumnya.


Dari kejauhan tampak sosok berjalan ke arah bangku kosong,
yang kelak akan memberinya tawa lebih lebar lagi.

Minggu, 05 Juni 2016

Mampir Sebentar di Sedudo

Air terjun Sedudo
Hari Sabtu, 28 Mei 2016 lalu saya dan keluarga berangkat ke Caruban untuk mengunjungi keluarga di sana, karena salah satu saudara saya melahirkan, sekalian menjenguk anggota baru di keluarga Caruban.

Kami berangkat pukul enam pagi dari rumah di Surabaya, berniat nanti akan mampir sebentar ke air terjun Sedudo, Nganjuk. Karena meskipun hampir tiap tahun kami ke Caruban tapi belum pernah sekalipun ke air terjun Sedudo. Hehehehe.
Perjalanan Alhamdulillah cukup lancar, kira-kira pukul 9 kami sampai di lokasi. Jalanan menanjak dan udara dingin mulai menghampiri.


Foto ini diambil ketika perjalanan pulang, sudah berkabut
Ayah dan Ibu

Foto Budhe dan anaknya



Semakin siang, pengunjung di wisata air terjun ini juga semakin ramai, tapi suasana tidaklah menjadi panas, malah sebaliknya, kabut datang sedikit demi sedikit mulai menyelimuti langit siang ini. Kami memutuskan untuk menaiki tangga menuju ke warung yang menjual berbagai gorengan, lumayan bisa sedikit menambah kehangatan. Hehe

Mulai berkabut

Menikmati gorengan
Itulah secuil dari cerita perjalanan kali ini, kami tidak bisa berlama-lama karena harus segera meluncur ke Caruban. Sampai jumpa di cerita perjalanan berikutnya. :)

gerbang Kota Caruban






Sore

Pict by : @rich.artwork

Senja pertama di Ramadhan kali ini sudah separuh tenggelam di balik bukit, kilauan cahaya jingganya menghipnotis setiap mata untuk memandangnya hingga benar-benar sirna. Tampak seseorang semakin menambah kecepatan kayuhan sepeda tuanya menuju puncak bukit, dia tidak mau ketinggalan menyaksikan keindahan senja pertama ini begitu saja.

Matahari sore hanya tinggal segaris saja ketika Darwis, nama orang tersebut, berhasil mencapai puncak, dia seakan tidak peduli dengan nafas yang masih belum teratur, yang dia inginkan saat ini adalah menyaksikan senja itu. Dia tersenyum, merasakan angin semilir menampar halus kulit mukanya, senja pertama kali ini benar-benar indah.

“hh…. Syukurlah aku masih bisa mengantarmu pergi kali ini, Nak. Hh….. hampir saja Ayah terlambat.” Terengah-engah dia mengucapkan kalimat itu yang seolah ditujukan kepada seseorang, namun dia hanya sendiri di atas bukit hijau itu.

“Mungkin karena usia, hingga Ayah tidak bisa mengayuh sepeda sekencang dulu seperti saat Ayah mengantarmu ke sekolah,” dia kembali tersenyum, entah kepada siapa. “Juga si kumbang sering sakit-sakitan, bannya sering bocor padahal Ayah baru saja menggantinya dengan yang baru, remnya juga sedikit blong, hmm entah bagaimana nanti Ayah turun dari sini, mending Ayah tuntun saja sepedanya.” Dia menceritakan si kumbang sambil melihat ke arah sepeda tuanya. Sepeda yang mungkin seumuran dengan usianya saat ini. “Oh iya, sepertinya hari ini Ibumu tidak bisa datang, agak tidak enak badan.” Darwis sadar tidak ada siapapun di bukit ini selain dirinya.

Darwis duduk di atas rerumputan, menyelonjorkan kakinya yang dirasa sedikit kram karena berjuang mengayuh sepda itu dengan kekuatan penuh. Matahari kini hanya menyisakan semburat jingga di sebagian ufuk barat. Kali ini dia tertunduk, memejamkan mata, merasakan hangatnya cahaya yang menjalar ke tubuhnya, sedikit lagi akan berganti dengan dinginnya gelap malam.

“Sore…” lirih, dia mengucapkan kata itu dan air matanya pun jatuh tak tertahan.

“Maaf aku tidak bisa menemanimu mengantar senja hari ini.”

Tiba-tiba seorang perempuan duduk disampingnya dan merangkul pundaknya. Dia sangat mengenali suara lembut yang mendamaikan itu. Dia mengangkat wajah, melihat seseorang yang duduk disampingnya, hangat yang menjalar dari tubuhnya bukan lagi berasal dari cahaya senja yang sudah benar-benar hilang, akan tetapi berasal dari tangan halus yang berada di pundaknya kini.

“Kamu.. kamu seharusnya tidak di sini, kamu seharusnya sedang berada di rumah sakit dengan infus, kamu tidak boleh kena dinginnya udara malam, Sarah!” dipegangnya pundak yang lemah itu, ditatapnya lekat-lekat wajah yang sudah mulai kelihatan kerutan halus namun masih tetap ayu itu.

Sarah, nama perempuan yang hingga kini menjadi teman hidupnya, menghabiskan usia senja bersama.

“Aku tidak apa-apa, tadi pagi dokter sudah memperbolehkanku pulang, Mas. Aku sehat kok!” Sarah tersenyum. Senyum yang paling manis bagi Darwis, karena lesung pipi Sarah lah yang sangat disukainya.

Darwis beranjak, melepas jaketnya, lalu memasangkan ke Sarah yang juga sudah terdapat jaket di badannya. “Tetap saja kamu tidak boleh keluar malam-malam begini, dinginnya jahat, kamu bisa masuk rumah sakit lagi! Lagipula kan tadi aku sudah bilang bahwa kamu tidak perlu datang sore ini” Darwis sudah bersiap menggandeng tangngan Sarah, ingin mengajaknya turun dari bukit, namun Sarah menolak, dia menggenggam tangan Darwis.

“Duduklah di sini, aku tidak mau pulang, aku ingin kembali bersamamu seperti saat kita membesarkan anak kita bersama. Jangan khawator tentang kesehatanku, Mas” Sarah keukeuh, Darwis tahu istrinya kini sudah sering sakit, menginap beberapa hari di rumah sakit sudah menjadi rutinitas Sarah setahun terakhir. Akhirnya Darwis hanya bisa menuruti apa kemauan Sarah, dia kembali duduk disampingnya, memeluk pundak Sarah.

“Senja yang kamu lihat tadi adalah senja di ramadhan ke dua puluh. Aku tahu betul.” Sarah tak kuasa menahan air matanya. darwis yang sedari tadi menatap wajahnya kini memalingkan, dia tidak mau Sarah menyadari bahwa dia juga menangis. “Sore sudah berusia dua puluh tujuh tahun.” Tambahnya.

Wajah ayu Sarah, hidung mancungnya, semua tercetak jelas di wajah Sore, anak semata wayang mereka. Ya, nama anak yang telah meninggal dua puluh tahun yang lalu itu adalah Sore, tepatnya ketika usia Sore baru beranjak tujuh tahun. Bocah kecil yang tampan itu berkulit sawo matang khas kulit ayahnya.

Tepat ketika senja pertama di bulan Ramadhan tenggelam, Sore menghembuskan nafas terakhirnya setelah berjuang berbulan-bulan melawan kanker yang menggerogoti kesehatannya, menghapus sedikit demi sedikit keceriaan di wajahnya, dan mencuri indahnya masa kecilnya yang baru beberapa bulan menikmati masa sekolah dasar, namun tidak serta merta menyusutkan semangatnya untuk tetap bertahan semampunya.

“Sore meninggalkan kita tepat ketika matahari sore tenggelam, cahaya indah itu hilang di ufuk barat dan digantikan oleh malam. Kegelapan. Sore pergi dengan senyuman, sebuah cahaya yang indah ketika dia menutup mata.” Ucap Sarah.

Darwis dan Sarah tahu ini sangat tidak mudah, pernah mereka hampir menyerah, mengikhlaskan apapun yang akan terjadi pada Sore, karena mereka tidak tega melihat Sore yang masih tujuh tahun tergolek lemah di ranjang rumah sakit dengan berbagai alat yang dipasang di tubuhnya. Namun mereka harus kuat di depan Sore, memberikan semangat tiada henti, menjanjikan segala hal yang diinginkan Sore, yaitu bersepeda di atas bukit dengan ayahnya seharian penuh.

“Kamu tahu Sarah, Sore tidak benar-benar pergi meninggalkan kita selama ini, karena meskipun cahaya sore hilang dan digantikan oleh gelapnya malam, dia akan datang lagi, membawa cahaya dari gemintang di langit malam. Sore akan selalu ada bagi kita, Sarah. Lihatlah ke atas!” Pelukan darwis semakin erat, dinginnya malam itu juga semakin menusuk.

Sepasang orang tua itu menikmati malam bertaburkan bintang-bintang di atas bukit yang sayup-sayup terdengar suara lantunan ayat-ayat indah dari berbagai masjid yang tersebar di bawah bukit ini, bulan yang indah, Ramadhan. Sungguh menentramkan hati.

“Sore, Allah lebih menyayangimu, Dia yang memiliki kamu seutuhnya, kami akan tetap menyayangimu sampai kapanpun. Kami juga akan selalu datang kemari menikmati sore di Ramadhan setiap tahunnya, untuk mengenangmu, Nak!”

***

*Surabaya 5 Juni 2016
Setelah sholat tarawih pertama 


Jumat, 19 Februari 2016

Secangkir Cokelat Panas

Kau pernah ada, mengisi hampir seluruh waktuku
Masih jelas teringat saat kau edarkan harum semerbakmu
Menjangkau seluruh insan yang tergoda
Mencium dan mentapmu hingga terpana

Kepulan asap yang menari-nari
Melenggak-lenggok bak bidadari
Tak sadarkah kau bahwa aku memendam rasa?
Ah.. biarlah pada secangkir cokelat panas ini kutinggalkan cerita


-pebe, 19 Februari 2016-

Minggu, 24 Januari 2016

Perjalanan yang Dinanti



             Ruangan gelap ini seakan tak berdinding, namun dari tempat dimana Alfa berdiri saat ini tampak dua cahaya menentramkan yang membimbing Alfa untuk mendekat.
            “Apa dia sudah bangun?” Bisik Elektra.
            Bodhi terhenyak dari duduknya ketika tiba-tiba Alfa terbangun dari tidur 10 jamnya. Alfa menatap mereka berdua yang memang sangat asing baginya.
            “Akar dan Petir?” tanya Alfa pada mereka berdua
            Bodhi dan Elektra hanya bisa saling memandang.
       “Ya, benar kalian pasti Akar dan Petir. Perkenalkan...” Alfa yang semula mengulurkan tangannya mendadak menariknya kembali. “Ahh!! kita tidak punya banyak waktu, bersiaplah, sebentar lagi Bintang Jatuh akan menjemput kita!” Alfa bersiap untuk keluar rumah setelah memastikan batu-batu itu aman di sakunya. Dipegangya tangan Bodhi dan Elektra masing-masing. Bintang Jatuh sudah menantinya di luar.
            “Mau kemana? Dan kamu siapa?” Bodhi akhirnya membuka suara.
            “Aku Gelombang” sahut Alfa tanpa menoleh.
           “Kita adalah satu kesatuan, namun kita perlu mencari dua teman yang lain. Banyak orang di dimensi lain yang sudah tidak sabar menanti kedatangan kita, karena itu seseorang telah mengutus kita bersama-sama untuk segera memulai perjalanan panjang yang hebat ini.” Terang Bintang jatuh sesingkat-singkatnya.
            “Si.. siapa yang mengutus kita?” Elektra memberanikan diri bertanya.
                A smart and beautiful woman called Ibu Suri..”


Kamis, 21 Januari 2016

Jalan-Jalan di Ngawi

Lembaran tahun 2015 sudah ditutup, bnyak hal yang telah dilalui, baik suka maupun duka. Hanya bisa bersyukur atas apapun yang telah terjadi dan mengambil hikmah terhadap musibah selama tahun 2015. Semoga di tahun 2016 ini menjadi tahun yang membahagiakan. Amin. Selamat tahun baru 2016 :D

Tanggal 1 Januari 2016 ini, saya dan keluarga sedang mengunjungi Nenek yang rumahnya di Caruban, Madiun. Sebenarnya sekalian liburan juga ke tempat wisata di sekitaran Ngawi yang sebelumnya pernah browsing kalau di Ngawi ada benteng peninggalan Belanda namanya Benteng Van De Bosch atau biasa disebut Benteng Pendem.

Jarak lokasi TKP dari rumah nenek tidak begitu jauh, sekitar 26km kata peta sih begitu, hehe. Here's the map.


Saya dan keluarga berangkat sekitar pukul 07.30 WIB yang berdasarkan GPS perjalanan akan memakan waktu sekitar -/+ 40 menit. Sampailah kita disana jam 8 lebih. Jam buka wisata benteng dimulai dari jam 8 pagi. HTM Rp. 5.000,- /orang.

Dan berikut beberapa penampakan benteng pendem yang sempat saxa abadikan lewat jepretan ponsel.

Gerbang masuk Benteng



   
bersama keluarga





di bawah gambar Van De Bosch

Semakin siang, semakin ramai pengunjung yang datang. Cuaca di sini cukup panas, tapi tidak perlu khawatir ada penjual minuman dingin di dalam gedung ini. Setelah keluar dari Benteng, kami memutuskan untuk lanjut wisata ke perkebunan teh Jamus, masih di Ngawi juga dan letaknya ada di puncak gunung dengan perjalanan yang berkelok-kelok.

Perjalanan dari benteng menuju perkebunan teh kurang lebih satu setengah jam (masih tetap mengandalkan GPS, hehe). Jalan yang menanjak dan berkelok-kelok serta pemandangan yang adem memanjakan mata kami. Harta tiket masuk Rp 10.000/orang dewasa, ya hanya orang dewasa yang dikenakan tiket masuk yang nanti bukti tiket dapat ditukarkan untuk memperoleh sekotak teh khas Jamus. Namanya Teh rasa kopi. (setelah samapi di rumah dan mencobanya memang rasa kopi cukup terdetekdi di lidah saya). Karena berada di dataran tinggi, sampai di lokasi kami disambut dengan hujan yang tiba tiba turun dan cukup deras. huhuhu.....

inilah beberapa potret kami di kebuh teh Jamus Ngawi.

perkebunan teh Jamus


Ayah dan Ibu berpose

Suasana yang sejuk membuat kami betah berlama-lama menikmati pemandangan yang tidak bisa ditemukan di Surabaya, sambil menikmati wedhang rondhe hangat yang dijual oleh pedagang di kaki perkebunan ini. 
Satu hari jalan-jalan di Ngawi rasanya berakhir begitu cepat, karena hari sudah beranjak sore kami memutuskan kembali ke rumah mengingat medan menuju kesini sangat berliku, cukup bahaya jika ditempuh hingga malam hari.