Selasa, 09 Oktober 2018

Cerita Pendaki Senja

gambar dok.pribadi (hanya untuk ilustrasi)


Akar tidak habis pikir mengapa ada orang yang senang berjalan jauh menghabiskan tenaga untuk mendaki ribuan meter di atas permukaan laut hanya untuk melihat matahari terbit. Menurut Akar itu tidak hanya akan menghabiskan tenaga tapi juga waktu, apalagi harus tidur di dalam tenda dengan cuaca yang dingin, ah.. itu semua tidak ada dalam daftar keinginan Akar sejak dulu. Sebodoh amat dengan pendapat teman-temannya bahwa dia tidak mencintai alam. Akar tetap mencintai alam dengan caranya sendiri.


***


Akar memiliki istri yang sangat cantik.  Lentera namanya. Rambutnya hitam, hidungnya mancung, pipinya yang berlesung semakin menambah ayu di wajah itu. Mereka berdua menggilai senja. Sejak menikah tidak pernah sekalipun mereka melewatkan senja. Hamparan oranye di langit barat selalu mejadi pertanda dimulainya hari-hari mereka. Bukan pagi. Ya, hari-hari Akar dan Lentera dimulai sejak sore datang, ketika keduanya telah selesai menyelesaikan pekerjaan masing-masing mereka akan pulang dengan bergandengan tangan, menyusuri jembatan dengan latar langit jingga. Memulai cerita tentang apa saja, tentang yang terjadi pada mereka di pekerjaan, tentang masa depan. Bercerita sambil menatap senja, bercengkrama hingga petang menyapa.

Bagi keduanya, hari-hari tidak dimulai di saat pagi, karena pagi mereka tidak seperti pagi bagi orang-orang pada umumnya. Mereka jarang bertemu di pagi hari, sibuk dengan persiapan ini-itu, tuntutan pekerjaan di pagi hari membuat mereka jarang menikmati obrolan hangat yang disajikan bersama sepiring nasi goreng untuk dinikmati bersama. Akar harus berangkat sebelum matahari terbit, sementara Lentera baru berangkat  ketika jam menunjukkan pukul delapan pagi. Untungnya jam pulang mereka bersamaan.


***


Mendaki gunung tidak pernah ada dalam wishlist Akar seumur hidup. Akar yakin itu. Jangankan menulisnya dalam wishlist, terbersit dalam pikiranpun tidak.


***
Hari Minggu ini Akar sengaja meluangkan waktunya untuk berlibur, bukan apa-apa hari ini adalah hari ulang tahun Lentera.

"Hiking tipis-tipis yuk! Sesekali lihat matahari terbit gitu lah.." ajak istrinya.
Raut wajah Akar mendadak berubah. 
"Kamu kan tahu aku tidak pernah suka naik gunung, ke pantai sajalah seperti biasa."
Maka pergilah mereka ke pantai di ujung selatan. Tempat pertama kali Akar melamar Lentera, dengan deburan ombak sebagai efek suara pendukung dan dengan lembayung senja sebagai latar lamaran Akar sore itu.

Kebahagiaan bagi mereka adalah bisa menikmati senja bersama hingga berusia senja.


***

Kalau tidak salah ingat, sejak awal menikah Akar sudah pernah menyampaikan pada Lentera bahwa dia tidak suka naik gunung. Akar lebih menyukai panasnya pantai daripada harus berlelah-lelah naik gunung. Tapi sekarang Akar tidak tahu kenapa bisa tersesat di sini. Di toko peralatan pendakian.

"Jadi, satu tas carrier 80 liter, satu sleeping bag, satu tenda, satu......"
"Hmm, begini deh Mas saya tidak pernah tahu barang-barang apa yang saya butuhkan untuk mendaki. Jadi, saya percayakan semua saja pada Mas barang-barang yang lengkap sesuai dengan keadaan yang saya ceritakan tadi" potong Akar ketika pramuniaga yang membantu Akar ingin mengonfirmasi barang-barang yang dibutuhkan Akar.

Pramuniaga yang berusia awal dua puluhan itu tersenyum, lalu menyiapkan semua peralatan yang dibutuhkan oleh Akar. Tidak sampai satu jam semua barang yang dibutuhkan sudah siap di meja.


"Bapak mau naik gunung mana?" Tanya Pramuniaga.

Akar bingung, dia sendiri juga sebenarnya tidak tahu akan naik ke gunung mana.

"Saya Agil Pak, kalau Bapak tidak keberatan minggu depan saya mau ke Semeru sama dua teman saya, barangkali Bapak mau bergabung dengan kami"

Wajah Akar berubah seketika. "Saya Akar, boleh saya bergabung? Apa nanti tidak menghambat jalan kalian?"

"Tidak Pak, sama sekali tidak. Kami juga sudah lama kok tidak muncak, jadi pelan-pelan saja" Agil dengan ramah kemudian melanjutkan obrolan dan mengatur semua perlengkapan. Beruntungnya Akar bertemu dengan Agil siang itu.


***

Pendakian dimulai sekitar pukul sepuluh pagi, berjalan setapak demi setapak nafas Akar mulai sedikit sesak. Akar tidak enak jika rombongan pemuda itu sedikit-sedikit harus berhenti karenanya.

"Bapak, kita istirahat dulu yuk!" Ajak Agil yang sejak tadi memperhatikannya tanpa sepengetahuan Akar. Agil tahu kalau sebenarnya Akar butuh lebih banyak istirahat.

"Lanjut sajalah" Akar kembali mengatur nafas pendeknya. "Lagian kan baru lima menit lalu kita berhenti"

"Sini Pak, duduk dulu, atur nafas dulu" kata salah seorang teman Agil.

"Sebenarnya ini bukan pendakian pertama kami Pak, mungkin sudah yang ke empat kalinya kami naik ke puncak Mahameru. Jadi tidak masalah kalaupun sampai di Ranukumbolo nanti sudah petang" Agil menyodorkan sesachet madu sebagai penambah stamina.

Keempat kalinya? Akar tidak habis pikir, belum setengah jalan begini saja tenaganya sudah habis terkuras, sementara anak-anak muda ini sudah keempat kalinya? Akar hanya bisa geleng-geleng.

"Kita jalan pelan-pelan saja Pak, jangan sungkan untuk bilang istirahat kalau memang sudah lelah." Satu lagi teman Agil memberikan semangat pada Akar.

Lima jam berjalan, sampai juga mereka di pos dua. Bagi Akar ini sudah pencapaian yang luar biasa. Kali ini istirahatnya cukup lama. Untung saja Agil dan teman-temannya sabar menemaninya.


***

"Kupikir-pikir selama ini kita tidak pernah menikmati pagi bersama.." ucapan Lentera menggantung.

"Tidak perlu dipikir, memang kita tidak pernah melihat matahari terbit bersama" Akar menyuapkan sesendok bubur pada Lentera.

"Kata orang-orang melihat matahari terbit yang paling indah adalah di puncak gunung. Saat kamu bersusah payah mendaki, ada kepuasan sendiri ketika kamu menyaksikan langsung terbitnya sang fajar." Lentera menyeruput sedikit teh hangatnya. "Tapi itu kata orang-orang sih. Aku sendiri juga tidak tahu, kan kamu tidak pernah mau kalau aku ajak naik gunung." 

Akar paham jika Lentera sedang menyindirnya. Diambilnya lagi sesendok bubur untuk Lentera.

"Kalau aku ingin lihat langsung matahari terbit di puncak gunung, kamu mau menemani tidak?" Lentera masih mencoba merayu Akar.

"Buat apa sih? Lihat di balkon rumah kan juga sama saja? Kenapa harus ribet naik gunung segala?"

Lentera sudah menduga, Akar pasti langsung menolaknya.

"Kan tadi aku sudah bilang, kata orang-orang yang pernah naik gunung, matahari terbit di sana itu indah sekali, tidak kalah dengan senja yang selalu kita lihat setiap hari itu" Lentera pura-pura menolah suapan Akar. "Ke Bromo aja yuk, kan nggak perlu naik tinggi-tinggi."

"Tidak mau!"

"Yaudah, aku nggak mau makan lagi!" Terpaksa Lentera memggunmeng jurus anak kecil ketika menginginkan sesuatu.


***

"Jadi, berapa pos lagi setelah ini?" Napas Akar sudah kembang kempis. Akar meneguk air mineralnya.

"Ini sudah pos tiga, kurang satu pos lagi kok Pak! Masih semangat kan? Hehehe " goda Agil.

Dalam perjalanannya bersama empat anak muda ini  berulang kali Akat dibuat terkesan oleh mereka. Pertama, mereka berempat sangat memperhatikannya apa yang sedang dibutuhkannya sebagai seorang pendaki pemula. Kedua, rasa toleransi tiap anggota sangat tinggi, ramahnya juga luar biasa, setiap perjalanan ketika berpapasan dengan pendaki lain pun mereka tak segan bertegur sapa, yang Akar tahu bahwa mereka belum pernah kenal sebelumnya. Lalu kali ini di pos tiga. Memang, mereka sudah berulang kali naik gunung ini, tentunya mereka mempunyai banyak teman yang sehobi, tapi di sini mereka bebas tertawa dan bercerita tentang apa saja, bahkan dengan bapak penjual di pos tiga ini. Akar hanya menikmati obrolan hangat mereka dari tempat duduk di bawah pohon sambil sesekali menatap langit yang mulai gelap setelah sesaat sebelumnya cahaya senja masih menembus dedaunan. Bukannya Akar tidak mau bergabung, hanya tenaganya benar-benar habis. Akar butuh tidur sejenak.


***

"Jadi kamu ke Bromo?" 
Lentera mengangguk. "Eh, tapi kata si Ranja matahari terbit yang paling cantik ada di Ranukumbolo, danau yang di Semeru itu"

Oh apa lagi ini? Pikir Akar. "Udah deh ke Bromo saja, tapi tunggu kamu sehat dulu yaa"

"Sekalian ke Semeru saja kenapa? Kan belum tentu kamu mau naik gunung lagi? Jadi mumpung kamu mau, yaudah sekalian. Ya.. ya... " Lentera memanjakan senyumnya yang sudah manis. "Anggap saja ini permintaan terakhirku, paling tidak sekali seumur hidup kita harus mencoba mendaki gunung. Oke. Deal!" Lentera memutuskan sendiri tanpa menunggu persetujuan Akar.


***

Akar terperanjat ketika melihat arlojinya. Sudah jam tujuh malam dan mereka masih di pos tiga. Dengan rasa tidak enak Akar meminta maaf.

"Seharusnya tadi saya dibangunkan saja, kalau gini kan jadi tidak enak." Akar sungguh merasa bersalah. Mereka juga pasti capek, eeh.. dirinya malah tidur dengan pulasnya.

Agil tersenyum, dan senyum itu adalah senyuman yang tulus. Tidak ada raut dongkol di wajah anak ganteng itu.

"Bapak tidurnya nyenyak dan capek juga pastinya. Jadi saya memutuskan untuk menemani Bapak di sini. Maaf kedua teman saya sudah naik duluan, biar mereka menyiapkan tenda dan makan malam. Jadi, pas sampai ranukumbolo nanti Bapak bisa langsung makan dan istirahat."

Akar semakin merasa bersalah. Dikumpulkannya lagi semangatnya dan untuk mengurangi rasa bersalahnya Akar berjanji dalam perjalanan nanti dia akan mengurangi istirahatnya.

Hampir pukul sepuluh malam, Akar dan Agil tiba di tenda. Akar terpesona dengan pemandangan di sana. Langit yang bertabur bintang, bulan yang sedang cantik, Akar yakin jika Lentera melihat pemandangan ini pastinya Lentera akan minta camping lebih lama lagi.

Setelah beberes, Akar makan malam bersama Agil dan ketiga temannya. Tak ketinggalan kopi panas tersaji semakin menambah kehangatan di luar tenda mereka. Satu hal lagi yang berhasil dicatat Akar dalam ingatan alasan bagi mereka yang gemar mendaki gunung, obrolan malam bersama teman-teman baru seperti ini benar-benar menghangatkan di tengah udara yang dingin. Dan Akar sangat menyetujui hal ini.


***

Lesung pipi itu masih cantik seperti dulu, meski sudah separuh dari barisan gigi-gigi rapi itu yang tersisa. Rambut itu masih halus meskipun kini telah berubah warna menjadi putih sepenuhnya.

"Maaf yaa, aku tidak bisa menemanimu dalam pendakian pertamamu. Tapi kamu sudah janji yaa akan melihat sendiri matahari terbit di gunung dan akan menceritakannya padaku saat kembali?" tangan yang tengah memegang erat tangan Akar itu masih sama halusnya ketika Akar memasangkan cincin di jari manis itu, meskipun kulit-kulit di tangan itu sudah lama mengendur.

Akar membalas genggaman Lentera. "Jangan khawatir, aku pasti akan memberikan sunrise tercantik untukmu. Tunggu aku yaa..."

Ini pertama kalinya Akar meninggalkan istrinya semenjak dirawat intensif di rumah sakit sebulan yang lalu karena kanker paru-paru yang dideritanya.

Alar tidak sampai hati melihat istrinya terbaring lemah, namun demi keinginan terakhir istrinya Akar bersedia melakukan pendakian pertamanya di usia senja.




***

"Cerita yang sangat luar biasa. Jadi ini pendakian pertama Bapak?" Agil tak kuasa menahan air mata yang menetes saat mendengarkan cerita Akar. Tentang dia dan istrinya.

"Ya, ini adalah pendakian pertama saya. Tahun ini usia saya menginjak 63 tahun. Tenaga saya sudah jauh berbeda dengan kalian." Akar tertawa. "Untung saja kalian tidak mundur dengan rekan mendaki kakek-kakek seperti saya."

"Bapak sudah berhasil mewujudkan impian istri Bapak." Agil menatap partner pendakiannya kali ini. Wajah itu masih terlihat tampan meskipun sudah keriput, rambut itu masih berbelah rapi walau sudah sepenuhnya memutih. "Lihat, itulah sunrise tercantik dari Ranukumbolo" lanjut Agil.

Lentera tidak berbohong, bukan, Ranja yang tidak lain adalah anaknya lah yang tidak berbohong. Dulu Ranja pernah mengajaknya naik gunung, tapi ditolak mentah-mentah oleh Akar. 

Matahari terbit di gunung seperti ini benar-benar indah. Akar akan menceritakan semuanya pada Lentera tanpa ada yang tertinggal satupun. 


****