Minggu, 05 Juni 2016

Mampir Sebentar di Sedudo

Air terjun Sedudo
Hari Sabtu, 28 Mei 2016 lalu saya dan keluarga berangkat ke Caruban untuk mengunjungi keluarga di sana, karena salah satu saudara saya melahirkan, sekalian menjenguk anggota baru di keluarga Caruban.

Kami berangkat pukul enam pagi dari rumah di Surabaya, berniat nanti akan mampir sebentar ke air terjun Sedudo, Nganjuk. Karena meskipun hampir tiap tahun kami ke Caruban tapi belum pernah sekalipun ke air terjun Sedudo. Hehehehe.
Perjalanan Alhamdulillah cukup lancar, kira-kira pukul 9 kami sampai di lokasi. Jalanan menanjak dan udara dingin mulai menghampiri.


Foto ini diambil ketika perjalanan pulang, sudah berkabut
Ayah dan Ibu

Foto Budhe dan anaknya



Semakin siang, pengunjung di wisata air terjun ini juga semakin ramai, tapi suasana tidaklah menjadi panas, malah sebaliknya, kabut datang sedikit demi sedikit mulai menyelimuti langit siang ini. Kami memutuskan untuk menaiki tangga menuju ke warung yang menjual berbagai gorengan, lumayan bisa sedikit menambah kehangatan. Hehe

Mulai berkabut

Menikmati gorengan
Itulah secuil dari cerita perjalanan kali ini, kami tidak bisa berlama-lama karena harus segera meluncur ke Caruban. Sampai jumpa di cerita perjalanan berikutnya. :)

gerbang Kota Caruban






Sore

Pict by : @rich.artwork

Senja pertama di Ramadhan kali ini sudah separuh tenggelam di balik bukit, kilauan cahaya jingganya menghipnotis setiap mata untuk memandangnya hingga benar-benar sirna. Tampak seseorang semakin menambah kecepatan kayuhan sepeda tuanya menuju puncak bukit, dia tidak mau ketinggalan menyaksikan keindahan senja pertama ini begitu saja.

Matahari sore hanya tinggal segaris saja ketika Darwis, nama orang tersebut, berhasil mencapai puncak, dia seakan tidak peduli dengan nafas yang masih belum teratur, yang dia inginkan saat ini adalah menyaksikan senja itu. Dia tersenyum, merasakan angin semilir menampar halus kulit mukanya, senja pertama kali ini benar-benar indah.

“hh…. Syukurlah aku masih bisa mengantarmu pergi kali ini, Nak. Hh….. hampir saja Ayah terlambat.” Terengah-engah dia mengucapkan kalimat itu yang seolah ditujukan kepada seseorang, namun dia hanya sendiri di atas bukit hijau itu.

“Mungkin karena usia, hingga Ayah tidak bisa mengayuh sepeda sekencang dulu seperti saat Ayah mengantarmu ke sekolah,” dia kembali tersenyum, entah kepada siapa. “Juga si kumbang sering sakit-sakitan, bannya sering bocor padahal Ayah baru saja menggantinya dengan yang baru, remnya juga sedikit blong, hmm entah bagaimana nanti Ayah turun dari sini, mending Ayah tuntun saja sepedanya.” Dia menceritakan si kumbang sambil melihat ke arah sepeda tuanya. Sepeda yang mungkin seumuran dengan usianya saat ini. “Oh iya, sepertinya hari ini Ibumu tidak bisa datang, agak tidak enak badan.” Darwis sadar tidak ada siapapun di bukit ini selain dirinya.

Darwis duduk di atas rerumputan, menyelonjorkan kakinya yang dirasa sedikit kram karena berjuang mengayuh sepda itu dengan kekuatan penuh. Matahari kini hanya menyisakan semburat jingga di sebagian ufuk barat. Kali ini dia tertunduk, memejamkan mata, merasakan hangatnya cahaya yang menjalar ke tubuhnya, sedikit lagi akan berganti dengan dinginnya gelap malam.

“Sore…” lirih, dia mengucapkan kata itu dan air matanya pun jatuh tak tertahan.

“Maaf aku tidak bisa menemanimu mengantar senja hari ini.”

Tiba-tiba seorang perempuan duduk disampingnya dan merangkul pundaknya. Dia sangat mengenali suara lembut yang mendamaikan itu. Dia mengangkat wajah, melihat seseorang yang duduk disampingnya, hangat yang menjalar dari tubuhnya bukan lagi berasal dari cahaya senja yang sudah benar-benar hilang, akan tetapi berasal dari tangan halus yang berada di pundaknya kini.

“Kamu.. kamu seharusnya tidak di sini, kamu seharusnya sedang berada di rumah sakit dengan infus, kamu tidak boleh kena dinginnya udara malam, Sarah!” dipegangnya pundak yang lemah itu, ditatapnya lekat-lekat wajah yang sudah mulai kelihatan kerutan halus namun masih tetap ayu itu.

Sarah, nama perempuan yang hingga kini menjadi teman hidupnya, menghabiskan usia senja bersama.

“Aku tidak apa-apa, tadi pagi dokter sudah memperbolehkanku pulang, Mas. Aku sehat kok!” Sarah tersenyum. Senyum yang paling manis bagi Darwis, karena lesung pipi Sarah lah yang sangat disukainya.

Darwis beranjak, melepas jaketnya, lalu memasangkan ke Sarah yang juga sudah terdapat jaket di badannya. “Tetap saja kamu tidak boleh keluar malam-malam begini, dinginnya jahat, kamu bisa masuk rumah sakit lagi! Lagipula kan tadi aku sudah bilang bahwa kamu tidak perlu datang sore ini” Darwis sudah bersiap menggandeng tangngan Sarah, ingin mengajaknya turun dari bukit, namun Sarah menolak, dia menggenggam tangan Darwis.

“Duduklah di sini, aku tidak mau pulang, aku ingin kembali bersamamu seperti saat kita membesarkan anak kita bersama. Jangan khawator tentang kesehatanku, Mas” Sarah keukeuh, Darwis tahu istrinya kini sudah sering sakit, menginap beberapa hari di rumah sakit sudah menjadi rutinitas Sarah setahun terakhir. Akhirnya Darwis hanya bisa menuruti apa kemauan Sarah, dia kembali duduk disampingnya, memeluk pundak Sarah.

“Senja yang kamu lihat tadi adalah senja di ramadhan ke dua puluh. Aku tahu betul.” Sarah tak kuasa menahan air matanya. darwis yang sedari tadi menatap wajahnya kini memalingkan, dia tidak mau Sarah menyadari bahwa dia juga menangis. “Sore sudah berusia dua puluh tujuh tahun.” Tambahnya.

Wajah ayu Sarah, hidung mancungnya, semua tercetak jelas di wajah Sore, anak semata wayang mereka. Ya, nama anak yang telah meninggal dua puluh tahun yang lalu itu adalah Sore, tepatnya ketika usia Sore baru beranjak tujuh tahun. Bocah kecil yang tampan itu berkulit sawo matang khas kulit ayahnya.

Tepat ketika senja pertama di bulan Ramadhan tenggelam, Sore menghembuskan nafas terakhirnya setelah berjuang berbulan-bulan melawan kanker yang menggerogoti kesehatannya, menghapus sedikit demi sedikit keceriaan di wajahnya, dan mencuri indahnya masa kecilnya yang baru beberapa bulan menikmati masa sekolah dasar, namun tidak serta merta menyusutkan semangatnya untuk tetap bertahan semampunya.

“Sore meninggalkan kita tepat ketika matahari sore tenggelam, cahaya indah itu hilang di ufuk barat dan digantikan oleh malam. Kegelapan. Sore pergi dengan senyuman, sebuah cahaya yang indah ketika dia menutup mata.” Ucap Sarah.

Darwis dan Sarah tahu ini sangat tidak mudah, pernah mereka hampir menyerah, mengikhlaskan apapun yang akan terjadi pada Sore, karena mereka tidak tega melihat Sore yang masih tujuh tahun tergolek lemah di ranjang rumah sakit dengan berbagai alat yang dipasang di tubuhnya. Namun mereka harus kuat di depan Sore, memberikan semangat tiada henti, menjanjikan segala hal yang diinginkan Sore, yaitu bersepeda di atas bukit dengan ayahnya seharian penuh.

“Kamu tahu Sarah, Sore tidak benar-benar pergi meninggalkan kita selama ini, karena meskipun cahaya sore hilang dan digantikan oleh gelapnya malam, dia akan datang lagi, membawa cahaya dari gemintang di langit malam. Sore akan selalu ada bagi kita, Sarah. Lihatlah ke atas!” Pelukan darwis semakin erat, dinginnya malam itu juga semakin menusuk.

Sepasang orang tua itu menikmati malam bertaburkan bintang-bintang di atas bukit yang sayup-sayup terdengar suara lantunan ayat-ayat indah dari berbagai masjid yang tersebar di bawah bukit ini, bulan yang indah, Ramadhan. Sungguh menentramkan hati.

“Sore, Allah lebih menyayangimu, Dia yang memiliki kamu seutuhnya, kami akan tetap menyayangimu sampai kapanpun. Kami juga akan selalu datang kemari menikmati sore di Ramadhan setiap tahunnya, untuk mengenangmu, Nak!”

***

*Surabaya 5 Juni 2016
Setelah sholat tarawih pertama