Minggu, 17 Februari 2013

Kembang Gula

Episode #5


           “Makan kembang gula lebih enak jika diremas-remas terlebih dahulu, karena akan lebih keras dan lebih lama juga melumernya.”
            Kata-kata Kembang masih terngiang-ngiang di kepala Bhima. Dia tersenyum sendiri memengingat bagaimana Kembang mempraktekkan cara makan kembang gula. Di tempat yang berbeda pemandangan juga tampak sama. Kembang bahkan masih memegang plastik kembang gula yang dimakan Bhima tadi.
            Belum pernah Kembang meerasakan perasaan yang membuat hatinya bergetar hebat seperti ini. Bahkan senbelumnya dia tidak pernah suka mendengar teman-temannya bercerita tentang pacarnya masing-masing tentang bagaimana mereka menghabiskan waktu bersama, berbagi cerita suka maupun duka, saling mengerti, dan saling menyayangi, saling member semangat jika waktu ulangan tiba. Bagi Kembang itu semua berlebihan, tapi sekarang Kembang sedang merasakannya sendiri, rasanya dia ingin bercerita kepada setiap orang sepanjang waktu bahwa dia sedang jatuh cinta.
            Keesokkan harinya ketika Kembang sudah bersiap dengan sepedanya untuk berangkat sekolah tiba-tiba Bhima sudah ada di depan pagar rumah. Tampaknya Bhima juga sudah bersiap dengan baju kantorannya.
            “Mas Bhima!!” panggil Kembang meskipun dia tahu Bhima berdiri di sana sambil menatap ke arahnya.
             Bhima tersenyum sambil melambaikan tangannya. Lalu Kembang buru-buru mengambil sepedanya dan berjalan kea rah Bhima.
            “Mau berangkat kerja? Tumben lewat depan rumah?”
            “Lagi pengin aja, oh iya berangkat bareng yuk!”
            Hah, berangkat bareng? Nggak salah ini Mas Bhima? bukannya sudah jelas dia membawa sepedanya sementara Bhima hanya berjalan kaki. Batinnya.
            “Ah, maksudku kamu nggak keberatan kan menemani aku berjalan dari ujung gang depan, sampai ke terminal angkot sana, aku lagi pengin jalan-jalan sambil ngobrol nih!”
            “Oh, “ Kembang baru ngeh maksud Bhima. “Boleh, kebetulan hari ini bukan jadwal aku piket, jadi nggak perlu terburu-buru berangkatnya.”
            “Oke, sini aku yang bawain sepeda kamu.”
            Mereka berdua berjalan beriringan. Kembang sesekali menatap laki-laki disampingnya, hatinya semakin berdesir kala Bhima balas menatapnya.
            “Kenapa Mas Bhima nggak bonceng aku saja? Kan biar cepat sampai di terminal?”
            “Ah, tidak mau nanti cepat berkeringat dong!” balas Bhima lalu tertawa.
            “Oh iya Kembang, waktu kita pertama kali bertemu dan makan bareng kamu pernah bilang kan kalau kamu mau kuliah akuntansi seperti aku dan aku tidak melarangmu? Ingat tidak?”
            Kembang mengerutkan kening, pura-pura mengingatnya. Padahal tentu saja Kembang tidaka akan pernah melupakan saat-saat pertama kali mereka bertemu.
            “Hmm, iya ingat kenapa?”
            “Nggak apa-apa sih, cuma menurut aku lebih baik kamu kuliah di kedokteran.” Lalu Bhima mendekati Kembang dan berbisik, “aku suka sekali seorang perempuan yang berprofesi menjadi dokter. Perempuan itu selalu tampak cantik dengan baju putihnya. Ssst, ini rahasia loh jangan beritahu siapa-siapa ya? Takutnya semua perempuan di kompleks ini jadi dokter semua demi aku, haha.”
            Kembang diam, lalu menoleh ke arah Bhima yang kini sedang memandang lurus ke depan. Jantungnya berdegup semakin kencang.
            “Oh iya satu lagi, aku memang suka melihat perempuan yang menjadi dokter, tapi aku tidak menyukai rumah sakit Kembang, tidak suka!” Bhima menoleh secara tiba-tiba ke arahnya, Kembang gelagapan dibuatnya.
            “Kok gitu? Darimana kamu bisa menyukai seorang dokter jika kamu benci rumah sakit?”
            “Aku bisa memanggil dokter itu ke rumah! Ah, sudah sampai terima kasih ya Kembang sudah menemaniku memulai hari pagi ini, kamu hati-hati ya berangat ke sekolah. belajar yang rajin, dan ingat kamu pantas jadi dokter, daaah….” Bhima melambaikan tangannya, lalu berjalan menuju salah satu angkot yang biasa dinaikinya tanpa lupa meninggalkan senyum manisnya.
            Kembang menggaruk kepalanya yang tidak gatal, dia bingung dan tidak mengerti maksud Bhima saat ini. Dia membalas lambaian tangan Bhima, entah ada sihir macam apa hingga pagi itu, tepat di depan terminal janji dia menemukan semangat baru untuk belajar dan akan berusaha masuk ke universitas kedokteran terbaik di kota ini.
            Kembang tidak main-main akan janjinya untuk menjadi seorang dokter. Hari-hari berikutnya dia menghabiskan waktu di kamar untuk belajar. Dua bulan lagi dia akan menghadapi ujian akhir nasional. Belum lagi untuk mengikuti tes masuk kedokteran di sebuah universitas terbaik di kota ini. Dia perlu mempersiapkan itu semua jauh-jauh hari.
            Hanya dia kahir pekan Kembang sedikit memotong waktu belajarnya karena Bhima selalu berkunjung ke rumahnya. Kembang memang menginginkan dapat menjalin suatu hubungan yang lebih dari persahabatan dengan Bhima, tapi dia tidak mau memaksakan biarlah hubungan ini berjalan apa adanya. Bhima juga tidak pernah mengajaknya keluar untuk sekadar jalan-jalan tapi dia tetap bahagia ketika Bhima datang untuk berkunjung ke rumahnya.
            Sabtu ini seperti biasanya Bhima datang berkunjung ke rumah Kembang. Namun ada sesuatu yang aneh, Bhima datang dengan membawa dua plastik kembang gula. Tidak biasanya memang, karena Kembanglah yang biasa menyediakan kembang gula untuk merea berdua.
            “Haa, tumben Mas Bhima bawain aku kembang gula? Haha, jadi sekarang Mas Bhima juga suka kembang gula ya?”
            “Pengin aja buat kejutan kecil untuk kamu, kamu terkejut nggak?”
            “Ah, bisa saja Mas Bhima ini. Ayo masuk!”
            Malam ini sepertinya langit sedikit mendung, tidak ada bintang-bintang bertaburan yang menghiasi langit. Bagi Kembang yang gemar memandang langit tentunya dia paham mendung ini sebagai pertanda akan terjadi sesuatu. Karena Kembang suka melihat langit di kala malam membungkus bumi, jika langit cerah berbintang maka akan ada hal baik yang terjadi dalam waktu dekat, begitu juga sebaliknya. Tidak pasti sebenarnya, namun Kembang selalu mempercayainya.
            “Kembang, kamu tentu ingat kan tempo hari aku mengatakan kalau kamu harus jadi dokter? Aku minta maaf ya, aku memang bukan siapa-siapa kamu yang sebenarnya tidak berhak mengatur hidup kamu nantinya mau jadi apa, tapi entah kenapa perasaanku mengatakan bahwa kamu memang layak menjadi seorang dokter.” Obrolan malam ini menjadi sedikit lebih serius dari malam-malam sebelumnya.
            Kembang menyimak dengan seksama. Kalau dipikir-pikir benar juga siapa Bhima yang berhak mengatur hidupnya, menyuruh-nyuruhnya menjadi dokter, bahkan kedua orang tuanya tidak pernah memaksakan akan menjadi apa dia kelak. 
            “Tapi kamu tidak keberatan kan dengan permintaanku?”
          Kembang tersenyum. Sebenarnya untuk bosa berada didekatnya seperti ini Kembang tidak keberatan untuk melakukan apa saja untuk membahagiakannya. Kembang menggeleng.
            “Maka Kembang, mulai saat ini aku minta kamu berusaha untuk mewujudkannya, aku tahu kamu pasti bisa, aku akan membantumu melalui doa-doa yang selalu aku panjatkan. Tapi,”
            Mimik Kembang  berubah seketika, “tapi apa? Mas Bhima akan selalu berada di sampingku untuk memberikan semangat untukku kan? Mas Bhima akan selalu ada disaat aku berjuang kan? Mas Bhima,” Kembang tidak dapat melanjutkan kata-katanya ketika Bhima mulai memegang tangannya.
            “Justru aku datang ke sini untuk mengucapkan selamat tinggal sementara kepada kamu Kembang. Aku minta maaf,”

==bersambung==

Tidak ada komentar: