Kamis, 22 November 2012

Tidurlah Sayang


Tidurlah sayang.
Ibu akan selalu di sini mendampingimu.
Jangan takut sayang.
Ibu tidak akan pernah beranjak untuk meninggalkanmu.

Aku memeluk erat bayi mungilku yang baru lima bulan yang lalu aku lahirkan. Bayiku tidak meminta untuk dipeluk, hanya saja aku ingin memberikan pelukan hangatku kepadanya, agar dia bias tidur nyenyak mala mini.

Dalam remang cahaya lampu, aku memandangi wajahnya yang cantik. Hidung dan matanya adalah milik Mas Dhani, suamiku. Sementara bibir dan pipinya yang tembem persis punyaku. Aku mengelus pipinya, memandanginya sekali lagi, bayiku tetap diam tidak menangis. Kupegang dahinya, ah sepertinya suhu tubuhnya panas. Jangan-jangan bayiku sakit. Kuperhatikan lagi wajahnya, benar dia sedikit pucat. Aku kembali merengkuhnya, aku tidak tahu harus minta tolong kepada siapa karena Mas Dhani belum juga datang kemari.
Bayiku tidak menagis sedikitpun. Ah, dia anak yang pintar tidak mau menyusahkan ibunya. 
Entah mengapa Mas Dhani yang biasanya datang kemari ketika hari beranjak gelap kali ini tidak kunjung datang untuk menjemputku. Dia mengatakan setiap hari bahwa akan membawaku pulang, tapi sampai saat ini selalu saja ada alas an untuk kembali membuatku tidur di tempat asing ini.

Ruangan ini tidak begitu luas, etahlah aku juga tidak dapat mengira-ngira hanya saja ruangan ini lebih mirip dengan ruangan di salah satu rumah sakit. Hanya ada aku seorang, meskipun terkadang ada beberapa perempuan yang tidak aku kenal menyambangiku dan menanyakan keadaanku, seperti malam ini aku rasa ada seorang perempuan yang sedari tadi melihatku. Peduli sekali mereka, pikirku. Tapi aku tidak peduli, meski hanya sendirian yang terpenting aku bisa bersama dengan bayiku, itu sudah cukup.
***
Esok harinya…
Aku tidak tahu kapan datangnya tiba-tiba Mas  Dhani sudah berdiri di sebelah ranjangku. Aku bangun seketika dan menyapanya. Dia tersenyum seperti biasa, sangat tampan.

“Maaf, kemarin aku tidak bisa datang kemari, ada rapat di kantor.” Katanya membuka pagiku.

Aku hanya tersenyum. Lalu aku lihat Mas Dhani sedang menatapu lekat-lekat. Anehnya dengan 
tatapan iba. Lalu dia memeluk dan mencium keningku. Setelah itu dia menoleh ke belakang pada seorang peempuan cantik berbaju putih, sepertinya aku pernah melihat perempuan itu di sini, tapi entah kapan.

Mas Dhani berjalan mendekati perempuan itu.

“Maafkan saya Pak Dhani, saya turut berduka cita atas apa yang menimpa istri Anda.”

“Justru saya yang harus minta maaf pada Bu Dokter karena selama hamper tiga minggu ini harus meluangkan waktu ekstra untuk menjaga istri saya.”

“Tidak masalah, Pak. Saya tahu ujian yang sedang dijalani istri Anda tidaklah mudah, meski saya belum pernah mengalaminya, tapi sebagai perempuan saya paham bagaimana terguncangnya persaan istri Anda ketika harus menerima kenyataan bahwa bayi yang baru lima bulan dilahirkannya meninggal dunia, apalagi setahu saya Anda telah menunggu selama hamper tujuh tahun untuk bisa memiliki keturunan. Jagalah istri Anda sebaik mungkin, saya yakin perlahan-lahan istri Anda akan sembuh.”

“Terima kasih, Dok.”

Aku mencoba menebak-nebak apa gerangan yang sedang dibicarakan suamiku dengan perempuan cantik itu, tapi tidak satu kata pun yang berhasil kudengar. Mas Dhani kembali menghampiriku. Dia mengambil bayiku secara perlahan, mungkin Mas Dhani kangen.

“Perempuan itu ingin mengajak bayi kita berjalan-jalan. Udara pagi di luar sangat segar. Kamu tidak perlu khawatir dia orang yang baik. Boleh kan?”

Aku tersenyum mengangguk.

Mas Dhani menggendong bayi kami, dia tampak senang sekali lalu diberikannya kepada perempuan itu. Perempuan cantik itu lantas menoleh kepadaku, tersenyum.

“Dok, maaf saya boleh minta tolong?”

Seakan-akan dokter cantik itu paham apa yang diminta Dhani.

“Saya akan mengganti guling yang sudah kotor ini dengan yang baru.”

Sabtu, 03 November 2012

Cinta untuk Kasih -#FF2in1 Adera-Terlambat-


Pagi ini jam sudah menunjukkan angka delapan, itu berarti seharusnya aku sudah berada di kelas untuk kuliah jam pertama. Tapi kenyataannya, saat ini aku masih terpaku di depan cermin. Aku memandang wajahku sendiri sambil terus menarik nafas panjang-panjang. Jantung ini rasanya tak mau barang sedikit saja menurunkan kecepatannya.

“Kasih, aku mencintaimu, hmm.. sebenarnya sudah sejak pertama kali kita bertemu dulu….” Aku kembali mengacak-acak rambutku.

“Aahh!! Kok jadi puitis begini sih! Hmm, gimana ya caranya biar cara mengungkapkannya tidak terlalu mellow.” Kali ini aku mengusap wajahku. Akhirnya aku putuskan biar saja nanti mengalir apa adanya yang penting hari ini aku harus nembak Kasih. Apapun yang terjadi, aku akan berusaha sekuat tenaga untuk mengungkapkannya.

Segera kuambil tas dan kunci motorku. Kukenakan jaket dan helm, lalu kupacu motor kesayangan ini dengan kecepatan sedang sembari komat-kamit sendiri seolah-olah Kasih, gadis yang sangat aku cintai telah duduk manis dibelakang sambil memeluk mesra pinggang ini. Ah seandainya.
***
“Ja, Jadi semalam Robby dan kamu sudah…”

Kasih mengangguk ragu, sepertinya dia tidak nyaman memberitahuku dengan cara seperti ini.

“Maaf Jarot, bukan aku tidak menyukaimu hanya saja Robby..”

Seketika itu juga sebuah panah tepat menusuk jantungku. Bahkan bongkahan es juga ikut luruh dan jatuh tepat di kepalaku. Bayang-bayang Kasih yang duduk manis di boncengan motorku seraya memeluk erat pinggangku lantas sirna. 

“Jarot, kamu tidak apa-apa? Ma, maafkan aku ya? Sungguh sebenarnya aku tahu tentang perasaanmu padaku, tentang semua perhatian yang kamu curahkan kepadaku selama ini. Hanya saja..” dia menunduk. 

“Hanya saja aku tidak menyangka kamu akan mengatakannya saat ini, sudah lama aku menanti kata-kata ini darimu, Jarot. Karena sebelum Robby menyatakan cintanya semalam, aku masih menyimpan rasa cinta itu untukmu.” Lanjutnya, aku tidak begitu mendengarkan bukan karena aku marah padanya tapi entahlah rasanya seluruh saraf dan inderaku tidak berfungsi dengan baik saat itu. 

“Maafkan aku Kasih.” Hanya itu yang dapat kuucapkan, aku berbalik dan berjalan gontai meninggalkannya. Air mata ini menetes tanpa  kutahan.


Sabtu, 27 Oktober 2012

Resep 'Mini Cookies'

Beberapa waktu lalu, tepatnya menjelang lebaran aku menemukan beberapa resep kue yang aku dapatkan dari sebuah tabloid. Kalau tidak salah tabloid NOVA, tapi aku lupa edisi ke berapa. Pokoknya melihat gambar-gambarnya lucu makanya aku jadi tertarik. Padahal aku pribadi hanya bisa memasak sayur yang simple-simple saja seperti sayur asem, sayur bening, tapi entah untuk bikin kue rasanya kok ada "chemistry" tersendiri dalam memasak kue. Jadi meski tidak bisa memasak (dalam hal ini memasak menu makanan sehari-hari yang rumit-rumit, seperti sayur lodeh, semur, gule, dll) aku mencoba membuat kue untuk lebaran nanti. Yaitu sebuah Mini Cookies, yang resep dasarnya aku dapat dari tabloid NOVA sementara hiasannya aku kreasikan sendiri sesuka hati.

Ini dia resep 'Mini Cookies'-ku
1. Vanilla Cookies, bahan-bahan :
    - 150 gr Mentega
    - 75 gr gula halus
    - 1 butir telor sedang
    - 1 sdm maizena
    - 1 sdm susu bubuk (kalo susu ini aku pakai susu Dancow yang sachetan)
    - 375 gr terigu (aku pakai terigu segitiga biru)

How to make??
- kocok rata mentega dan gula halus
- masukkan telor, aduk dengan spatula (mikser)
- masukkan tepung maizena & susu bubuk, aduk hingga rata
-masukkan terigu sedikit demi sedikit, hentikan penambahan terigu jika adonan sudah kalis
-giling adonan, cetak sesuai selera, lalu panggang dalam oven.

Hiasan :
-lelehkan dark chocolate
-celupkan permukaan cookies secara perlahan
-taburi dengan kacang/sprinkle\
-diamkan hingga coklat beku
-tata dalam toples.

Nah, itulah resep dasar pembuatan cookies, lalu untuk hiasan disini aku membuat cookies choco star dan choco nut.
Cookies choco star dan choco nut pada dasarnya sama, yaitu dengan menyelupkan bagian permukaan atas cookies pada coklat yang telah dilelehkan sebelumnya, lalu ditaburi dengan sprinkle (disini aku menyebutnya dengan star), dan sebagian ditaburi dengan kacang yang telah ditumbuk terlebih dahulu.


Selamat mencoba! :))

Cookies choco nut
Cookies choco star



Di Sudut Mata Ini


               Di sini, di ujung jalan yang biasa kita lewati berdua ini, aku berdiri di depanmu. Kau menatapku dengan tatapan tajammu.
           “Maaf, aku harus pergi. Aku tidak membawamu turut serta.” Kamu mengucapkannya dengan mantap, tanpa memerdulikan perasaanku.
                “Tapi…”
                “Arin, mereka orang tuaku, aku tidak bisa menolak perjodohan ini!”
                “Apa kamu masih mencintaiku?”
                Arman perlahan mengangguk. Perjodohan dengan gadis pilihan kedua orang tuanya. Sebenarnya dia pernah mengatakan hal ini sewaktu dia menolak mentah-mentah perjodohan itu. Tapi, sejak papanya mengancam akan ‘membuangnya’ ke luar negeri dia tidak bisa berbuat apa-apa, dalam hatinya lebih baik menerima perjodohan itu daripada harus hidup di negeri orang dan jauh dariku. Itulah alasannya dulu. Tapi seiring berjalannya waktu, aku tahu secara perlahan dia telah mencintai gadis itu melebihi cintanya kepadaku. Aku tidak bisa berbuat apa-apa, selain menangis.
                Aku mengenalnya bukan baru kali ini, sudah lima tahun kami menjalani hari-hari bersama, suka duka, bahkan ketika dia diusir dari rumahnya karena mabuk, aku pun masih menerimanya dengan lapang dada.
                Arman, dia balik badan dan berjalan menjauhiku. Di ujung jalan ini aku menatap punggungnya yang bergerak semaikn jauh hingga hilang di tikungan. Arman, di sudut mata ini mengalir sebuah tanda cintaku untukmu yang tidak bisa kubendung lagi.

Rabu, 10 Oktober 2012

Antologi ke #9 -Karena Surga di Bawah Telapak Kaki Ibu-

Cover Buku Karena Surga di bawah Telapak Kaki Ibu



Judul: Karena Surga di Bawah Telapak Kaki Ibu
Penulis: Okti Li, Endang Ssn, dkk.
Penerbit Smart-Writing
Tebal: 164 hlm
Ukuran: 14x21 cm
Terbit: September 2012
ISBN: 978-602-18845-2-2
Harga Pre-Order: Rp 36 ribu (belum masuk ongkos kirim)

SMS: "Order Buku Ibu" kirim ke 085763208009


Diskon:

*Diskon 20% minimal order 5 eksemplar dan gratis ongkos kirim.


Sinopsis:


Dekapan cinta Ibu selalu tersedia setiap waktu untukku. Namun, cara Ibu mendekapkulah yang berbeda dari waktu ke waktu. Ketika aku belajar berjalan, Ibu selalu ada untuk membimbingku, memberiku semangat. Ketika aku belum fasih berjalan dan sesekali terjatuh seketika Ibu langsung menggendong dan mendekapku dengan penuh kehangatan. Dalam dekapan cintanya, Ibu memberikan aku semangat untuk terus belajar berjalan. Hingga tepat usiaku menginjak satu tahun, aku bisa berjalan ke sana kemari dengan tak sesekali jatuh lagi. Terima kasih Ibu.

Dapatkah aku menggambarkan keelokan wajah Ibu? Eloknya lebih indah dari matahari dan bulan. Bulatan hitam bola mata yang begitu pekat menawan, sentuhan jemari tangan yang halus melebihi halusnya sutra, tutur katanya lembut dan penuh kasih sayang. Jika aku membayangkan kesempurnaan seorang bidadari maka bidadari itu Ibu. 

Kisah-kisah tentang cinta dan bakti kepada Ibu tersusun manis dan inspiratif dalam buku ini. Setiap kita lahir dari rahim Ibu, tumbuh dan besar karena cinta kasih sayangnya tanpa pamrih. Masing-masing kita mempunyai kisah yang tak terlupakan dengan bidadari penuh cinta yang kita panggil Ibu. Dalam buku ini, semuanya tersusun indah, menawan, dan mengharuh-biru kenangan tak terlupa tentang sosok Ibu.


Kontributor:

1) Anak Kangen Ibu: Generasi Babu oleh Okti Li
2) Berkaca pada Mama oleh Ade Tuti Turistiati
3) Bidadari itu Mama oleh Sherlly Ken Anaqah Hamidah
4) Bila Ibu Tersenyum oleh Salma Keant
5) Cepat Sembuh Mama oleh Ritsa Mahyasari
6) Cermin Jiwa Teristimewa oleh Prima Sagita
7) Binarnya Ibu Harunya Pendidikan oleh Rezka Gustya Sari
8) Dalam Perjamuan Rindu oleh Abdullah Saiful Azzam
9) Dekapan Cinta Ibu oleh Festia Gaby
10) Dia Sempurna di Mataku oleh Eva Riyanty Lubis
11) Dialog Hati oleh Asni Ahmad Sueb
12) Dimensi Rindu oleh Riri Maretta R.
13) Derita = Cinta Nyata oleh Nur Habibah
14) Tetesan Air Mata Cinta oleh Eko Apriansyah
15) Ibuku Pahlawanku oleh Nurul Sufitri
16) Lebaran Tanpa Ibu oleh Alin You
17) Terima Kasih Ibu oleh Annisa Hilda Adliany
18) Ayam Goreng Kakek Kriuk oleh Windi Widiastuty
19) Dongeng Ibu Sebelum Tidur oleh Purba Sari
20) Tentang Ibu oleh Ematul Hasanah
21) Hikmah di Balik Titah Sang Bunda oleh Chinglai Li
22) Ibu dalam Kenanganku oleh Yathi Hasta
23) Ibu dan Hujan Sahabatku oleh Mamiek Kamil
24) Ibu Pahlawan Sejatiku oleh Hengki Kumayandi
25) Ibuku Wonder Women oleh Diewan Wulan Ai
26) Kado Tak Sampai oleh Nurlaili Sembiring
27) Karena Cintanya Memang Berbeda oleh Elang Biru 
28) Kasihnya Memang Hangat oleh Rurin Kurniati
29) Kenangan yang Tak Kan Putus oleh Sjahrijati Yati Rachmat
30) Kepada yang Terindu, Ibu oleh Juwita Purnamasari
31) Kidung Rindu untuk Emak oleh Awiek Libra
32) Sayap Putih oleh Ali Syafrudin
33) Medali untuk Ibu oleh Kang Mishbach
34) My Mom, My Hero oleh Cellia Cordhitta
35) Malaikat Senja oleh Ikha Alfhatunnisa
36) Ibuku, Asa yang tak Pernah padam oleh Maya Uspasari
37) Mencium Tangan Ibu oleh Ady Azzumar
38) Pelampung dan Rumah Impian oleh Sofia Orlando
39) Rembulan dari Bunda oleh J. Hanniraya
40) Rindu Ka’bah Bersama Mamak oleh Raudah Abu Hanifah
41) Rumah Mande (Ibu) oleh Irhayati Harun
42) Sebelum Mengekalkan Waktu oleh AD Rusmianto
43) Sehari Sebelum Pernikahan oleh Dian Nafi
44) Selembut Kasih Bunda oleh Eramayawati
45) Seputih Kasih Mama oleh Zahra Qomara
46) Skizofrenia oleh Endah Wahyuni
47) Terima Kasih Ibu oleh Ai Nuryati
48) Tetap Kuat di Kala Senja oleh Elys Zamany
49) Senyuman Ketegaran Ibu oleh Annisa Sofia Wardah
50) Ramadhan Istimewa oleh Apriliana Wakhidah
51) Dewi Kuntiku oleh Arista Dewi
52) Dalam Dekapan Ibu oleh Darmawan Budi
53) Impianku dan Doa Ibu oleh Dewi Syafrina
54) Perempuanku oleh Endang SSN
55) Ibu, Cintaku Tetap Utuh oleh Erpin Leader
56) Ibu, Cintamu Abadi Bersemayam di Hatiku oleh Fath WS
57) Pendonor Daging oleh Sandza
58) 20 Syurga untukmu Mah... Bahkan Lebih oleh Kicaka Alangkara 
59) Gadis Pemanjat Atap oleh Okti Li
60) Teknisi yang Andal oleh Mustika Wildasari
61) Masa Kecil dengan Sepatu Roda oleh Nenny Makmun
62) Aku Ingin Dekat Denganmu oleh Nita Sweet
63) Rebahku di Pangkuan oleh Opik Hidayat
64) Katering Ibu Entin oleh Petra Shandi
65) Bolu Kukus oleh Wangi Kesturi
66) Hari Ini Tanpa Mama oleh Riezqy Ananda Syurgawi
67) Dalam Tidak Sadarmu, Ada Namaku oleh Riskaninda Maharani
68) Ibuku, Cinta dan Kesabaran oleh Sucianik Ayda Divi
69) Now I Know oleh Sugiarti Ahmad
70) Menjadi Bolang di Semarang oleh Tha Artha
71) Terima Kasih Bu Bidanku oleh Thera Chibonk
72) Mentari di Balik Awan oleh Tommy Alexander Tambunan
73) Aku, Hujan, dan Ibu oleh Vita Sophia Dini
74) Kenangan Kita, Bu oleh Wery Astuti
75) Hidayah Mama oleh Yulina Trihaningsih
76) Emak dengan Sekantung Jamur Merang oleh Zuifa Sanashalaufa

Selasa, 09 Oktober 2012

Tangan Jono tidak Panjang Lagi


Hari Senin ini adalah hari pertama Jono masuk kembali ke sekolah setelah liburan kenaikan kelas. Jono sengaja berangkat lebih pagi karena ada upacara bendera yang wajib diikuti oleh semua siswa-siswi di SMP Perdamaian. Jono tidak mau terlambat seperti Senin sebelum-sebelumnya dimana Jono masih menjadi anak yang bandel dan suka membohongi kedua orang tuanya.
“Pak, Bu, Jono berangkat dulu ya? Assalamualaikum.” Pamit Jono seraya mencium kedua tangan orang tuanya.
“Waalaikumsalam. Hati-hati di jalan ya Nak, jangan lupa selalu bersikap baik dan sopan kepada Bu Guru dan teman-teman di sekolah.” Pesan Ibunya yang dijawab dengan anggukan kepala Jono.
Jono yang sekarang telah berbeda dengan Jono setahun sebelumnya. Dimana waktu masih duduk di kelas tujuh atau setara kelas satu SMP Jono suka berbohong kepada orang tuanya. Dia mengambil sebagian dari uang SPP dan buku yang diberikan untuk jajan dan main playstation bersama teman-temannya.
***
Pagi itu di rumah Jono…
“Pak, hari ini kata Bu Guru harus melunasi SPP sama uang buku.” Kata Jono, dia baru saja menyelesaikan kegiatan Masa Orientasi Siswa bagi siswa baru di SMP Perdamaian.
“Berapa totalnya, Le?” Tanya Bapak Jono.
Bapak Jono bekerja sebagai tukang tambal panci yang berkeliling dari kampung satu ke kampung yang lain. Tidak banyak penghasilan yang diperolehnya setiap hari, namun bapak selalu berusaha untuk menabung setiap hari guna keperluan sekolah Jono, seperti SPP dan uang buku ini.
“Tiga ratus ribu rupiah, Pak.” Jono menjawabnya enteng.
Bapak yang semula sedang menambal panci ibu menoleh seketika ke arah Jono. “Loh, lah kok mahal toh Le? Bukannya SPP kamu tiap bulan lima puluh ribu saja?” sebenarnya Bapak tidak pernah berat hati mengeluarkan uang demi biaya sekolah Jono, tapi kali ini biaya itu dirasa sangat besar dimana SPP Jono sebulan hanya lima puluh ribu rupiah saja.
“Kan tadi Jono sudah bilang Pak, itu uang SPP sama uang buku! Kata Bu Guru kalau besok tidak dibayar Jono tidak boleh mengikuti pelajaran selama satu minggu, Pak?!” Jelas Jono.
Bapak lantas masuk ke dalam kamar dan membuka celengannya. Ada uang Rp 350.000,- di dalam celengan bapak. Lalu diberikannya Rp 300.000,- kepada Jono, sementara Rp 50.000,- dimasukkan kembali ke dalam celengan bapak yaitu kaleng bekas biskuit.
“Ini tiga ratus ribu, hati-hati membawanya jangan samapi hilang ya?” Bapak memberikan uang itu kepada Jono.
“Baik Pak, terima kasih.” Ucap Jono. Hati kecilnya bersorak gembira. Bagaimana tidak sebenarnya uang buku hanya sebesar Rp 100.000,- saja jadi total yang seharusnya dibayar Rp 150.000,- tapi Jono malah minta uang dua kali lipat kepada bapak.
Pagi ini Jono bangun kesiangan, alhasil dia telat dan tidak mengikuti upacara bendera di sekolah. Dia mendapat hukuman dari gurunya, yaitu lari lima putaran mengelilingi lapangan sekolah. Hari Senin berikutnya, Jono malah sengaja datang telat dan kembali tidak mengikuti upacara bendera.
Sepulang sekolah Jono mampir ke rental playstation bersama kedua temannya, Radit dan Gilang. Mereka bertiga main playstation hingga menjelang adzan maghrib. Biaya sewa semua ditanggung oleh Jono dari sisa uang yang diberikan bapaknya.
Begitulah kegiatan Jono sepulang sekolah setiap harinya. Hal ini lama-lama membuat orang tuanya bingung karena Jono selalu pulang terlambat.
“Kamu dari mana saja Nak? Kok jam segini baru pulang, bukannya sekola bubarnya sudah sejak jam satu siang tadi?” Tanya Ibunya.
“Iya Bu, tapi Jono dihukum karena uang buku ternyata kurang!” Sahutnya.
 “Kamu bilang kemarin uang SPP dan buku hanya tiga ratus ribu?”
“Iya, tapi ternyata bukunya ditambah makanya uangnya kurang dua ratus ribu! Kalau lusa tidak dibayar, Jono tidak boleh mengikuti pelajaran selama satu bulan Pak!”
Bapak dan Ibu hanya mengelus dada. Kedua orang tua Jono hanyalah orang biasa yang tidak mengetahui apa benar atau tidak yang dikatakan oleh Jono, bagi mereka uang bisa dicari asal Jono bisa melanjutkan sekolah.
Karena uang tabungan yang tersisa tidak mencukupi, akhirnya bapak seharian harus berkeliling mencari pelanggan agar mendapatkan tambahan penghasilan. Hingga larut bapak belum juga pulang. Ibu dan Jono khawatir hingga pukul dua dinihari bapak belum juga tiba di rumah.
“Assalamualaikum, Bu Marni!! Bu!!” Ada seseorang yang mengetok pintu dengan tergesa-gesa.
Ibu yang masih terjaga menunggu bapak pulang membukakan pintu, yang ternyata Ahmad, tetangga mereka.
“Ada apa, Mad?”
“Anu Bu, Pak Guntur kecelakaan di jembatan sana. Katanya tadi ditabrak mobil, tapi mobilnya melarikan diri.” Suara Ahmad bergetar menyampaikan berita buruk itu.
“Astaghfirullah, sekarang dimana Pak Guntur Mad?”
Ahmad mengantarkan Jono dan ibunya ke rumah sakit tempat bapak dirawat. Bapak terluka ringan di kepala, namun kakinya patah sehingga kaki bapak harus di gips.
“Masya Allah Pak, kenapa Bapak jadi begini?” Ibu sudah meraung menangis dalam pelukan Bapak. Sementara Jono yang semula takut belum berani mendekat.
“Bapak tidak apa-apa, Bu. Mana Jono?” Bapak celingukan mencari Jono yang dari tadi masih berdiri di pojok ruangan. Dia menangis.
“Sini Le, ini Bapak sudah dapat uang dua ratus ribu. Besok segera kamu bayarkan ya? Biar kamu diijinkan mengikuti pelajaran lagi.” Bapak mengulurkan lembaran uang yang sudah lusuh kepada Jono.
Jono semakin terisak. Tidak menyangka akibat perbuatannya bapak harus mengalami semua ini. Dia tidak mau kehilangan bapak. Jono mendekat dan memeluk bapaknya.
“Maafkan Jono Pak, sebenarnya Jono berbohong kepada Bapak dan Ibu. Tidak ada kekurangan dalam pembayaran di sekolah Pak. Jono.. Jono menggunakan uang itu untuk main dan bersenang-senang dengan teman-teman. Maafkan Jono Pak?!” bapak sempat kaget dengan pengakuan Jono, namun bapak tahu Jono telah jujur dan mengakui kesalahannya.
“Jangan diulangi lagi ya Nak, lihat bapakmu. Bapak sudah bekerja keras memenuhi kebutuhan sekolahmu. Kamu janji pada Ibu tidak akan berbohong lagi.” Ibu memeluk anak semata wayangnya itu.
Air mata Jono mengalir semakin deras. “Iya, Bu. Jono janji tidak akan pernah lagi mengulangi perbuatan tercela itu lagi. Dan jono janji tangan Jono tidak akan panjang lagi dengan mencuri uang SPP dan buku.” Jono memeluk Ibu dan Bapaknya.
***
            Jono menepati janjinya dengan menjadi anak yang baik. Kenaikan kelas dua Jono meraih peringkat tiga. Dia telah mendapatkan pelajaran yang berharga setelah kecelakaan yang menimpa bapaknya. Dan kini Jono menjadi anak yang penurut dan sering membantu pekerjaan bapak di rumah. Jono juga suka mengajak teman-temannya untuk selalu jujur dan berbuat baik kepada siapa saja, terutama kepada orang tua.

Jumat, 24 Agustus 2012

Lebaran Ketupat


Lebaran ketupat adalah salah satu tradisi di sini, di Surabaya yang biasanya dilaksanakan satu minggu setelah lebaran. Disebut lebaran ketupat karena warga disini membuat ketupat pada hari itu juga. Semua warga sudah berbondong-bondong sejak pagi menuju ke pasar untuk membeli janur kuning dan kelapa yang telah diparut. Janur-jenur kuning tersebut kemudian akan dibentuk ketupat, lalau diisi beras dan dimasak hingga matang.

Warga disini menyebutnya dengan lebaran ketupat, yang dilaksanakan tepat satu minggu setelah lebaran. Di lebaran ketupat ini yang paling gembira adalah anak-anak kecil. Pagi hari mereka sudah bersiap membawa tas keresek masing-masing. Berkumpul dan secara bergiliran mereka mengunjungi satu per satu rumah warga untuk mendapatkan sedikit bagian ketupat yang akan mereka kumpulkan menjadi satu dalam tas keresek mereka masing-masing. Biasanya di tiap satu rumah mereka mendapat satu bagian ketupat. Kegembiraan terpancar dari wajah anak-anak kecil, kadang mereka berlomba siapa yang dapat mengumpulkan lebih banyak ketupat.

Itulah secuil kenangan masa kecil ketika lebaran ketupat. Pagi-pagi buta sudah ribut mencari tas keresek yang lebih besar. Bahkan, ada diantara mereka yang hanya mencuci mukanya tanpa mandi takut kalau sudah ditinggal temannya berkeliling.

Sabtu, 18 Agustus 2012

Rindu Malam Takbir Semasa Kecil

“Allahuakbar.. Allahuakbar… Walillahilham” Malam ini diiringi bunyi petasan takbir berkumandang di seluruh penjuru negeri menyambut datangnya hari kemenangan esok pagi. Bocah-bocah kecil berlarian membawa serta sarung dan peci mereka menuju ke masjid. Gadis-gadis kecil pun tak ketinggalan mengambil acak kerudung mereka.

“Mak, aku berangkat takbiran ke masjid ya? Assalamualakum?!” Pamit Alia ke Emaknya.

“Iya, waalaikumsalam.” Jawab Emak sambil menata berbagai kue lebaran di atas meja.

“O iya Mak, nanti kacang metenya jangan dikeluarkan dulu ya, nanti habs duluan!” Alia yang sudah keluar dari pintu rumah mendadak berbalik.

Emak mengangguk lantas tertawa, memang anak satu-satunya itu paling suka makan kacang mete, meskpun kacang itu hanya bsa dibeli dan disajikan pada waktu lebaran saja.

“Iya, sudah kamu berangkat dulu sana, Mimin dan Wati sudah menunggu daritadi.”

Alia melangkahkan kaki dengan semangat. Tiga gadis kecil itu saling bergandengan tangan bersama menuju ke masjid yang letaknya tidak jauh dari rumah. Hati Alia berbunga-bunga menyambut lebaran esok hari. Selain sudah dibelikan baju baru oleh Emak dan Bapaknya, takbiran menjelang hari raya esok hari nilah yang juga ditunggu-tunggu oleh Alia. Dia sangat menikmati suasana takbiran. Secara bergantian para santriawan dan santriwati itu mengucap takbir. tak jarang mereka berebut mikrofon yang biasa digunakan untuk bertakbir. Kadang juga berkeliling kampung membawa obor sambil mengumandangkan takbir. Canda tawa khas anak-anak menghiasi wajah mereka.
***
Alia menitikkan airmata mengenang masa kecilnya sewaktu di kampung dulu. Kini usianya sudah menginjak 25 tahun. Tinggal dan bekerja di Ibukota membuat Alia jauh dari Emak dan Bapaknya. Sudah lama dia tidak mengumandangkan takbir di malam takbiran seperti ini. Kenangan akan masa kecilnya berkelebat dalam benaknya. Besok siang setelah sholat Ied dia akan pulang kampung bersilaturahmi dan mengunjungi orang tuanya di kampung.

“Assalamualaikum Mbak Alia?” sapa seorang gadis kecil yang kebetulan lewat di depan kontrakkannya.

“Waalakumsalam, Dewi mau ke masjid ya? Mau takbiran?” Alia menghampiri gadis kecil yang masih 
duduk di bangku TK itu.

Dewi mengangguk. “Iya, tapi saya mau ke rumah Fira dulu biar barengan berangkatnya, Mbak?!” wajah Dewi terlihat sumringah sekali. “Mbak Alia mau ikut?” Tanyanya kemudian.

Alia sontak kaget. Tidak dibayangkan melihat Dewi di depannya saat ini teringat kembali sewaktu Mimin dan Wati, kedua sahabatnya semasa kecil menyusulnya ke rumah untuk berangkat ke masjid bersama-sama. Tidak disangka di kota ini masih ada kegembiraan menyambut lebaran.

“Gimana Mbak, mau ikut tidak? Jangan khawatir, di masjid juga banyak ustadzah kok!”

“Oh, Eh, iya Mbak Alia ikut. Ayo masuk dulu tunggu mbak Alia ganti baju dulu ya?”
Ala menggandeng Dewi masuk. Tak sampai lima menit Alia sudah siap dengan baju muslimnya. Alia menggandeng Dewi.

“Dimana rumah teman kamu tadi? Siapa namanya?”

“Fira. Rumahnya diujung jalan itu mbak, yang Bapaknya jualan gorengan untuk takjil selama puasa kemarin.”

Alia ber’Oh’ ria mendengar celoteh gadis kecil di sebelahnya ini. Apalagi setelah bertambah dengan Fira. Kedua gadis kecil ini semangat sekali menceritakan pengalaman puasa ‘bedug’nya.

Sesampainya di masjid suasanya tak kalah semaraknya. Di sisi kanan masjid tampak bocah kecil berpeci dan bersarung duduk rapi membentuk sebuah lingkaran besar. Sementara di sisi kiri gadis-gadis kecil juga membentuk formasi yang sama. Dan di tengah-tengah duduk para ustadzah yang 
mengawasi santri dan santriwatinya, Alia menghampiri kemudian duduk disampingnya.

Hati Alia tiba-tiba merasa bahagia melihat semangat mengumandangkan takbir malam ini, persis seperti masa kecilnya dulu. Alia tidak menyangka sejak tiga tahun yang lalu tinggal di kontrakkan ini, baru kali ini dia merasakan kenyamanan yang luar biasa, seakan-akan ada Emak di sini yang sedang menata kue lebaran.

Kerinduan akan malam takbir masa kecilnya, akhirnya terbayar juga. Alia lalu mengambil ponselnya untuk menelepon Emak.

“Halo, Assalamualaikum.” Terdengar suara di seberang.

“Waalaikumsalam, Emak besok setelah sholat Ied Alia pulang. Jangan lupa sisakan kacang metenya ya Mak?!” Alia tak kuasa menahan rindu pada Emaknya. Terdengar tawa Emak di seberang.
****

Jumat, 17 Agustus 2012

Sang Merah Putih untuk Kakek



“MERDEKA ATAU MATI!!” Terdengar seruan dari para pahlawan Indonesia ketika memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Dari semua golongan, tanpa membeda-bedakan pangkat semua bersatu demi mewujudkan kemerdekaan. Tak hanya seruan tersebut yang terdengar, tapi juga bunyi senjata dan bunyi bom-bom dari tentara sekutu.

“DUARR!!” Bunyi tembakan kembali terdengar. Entah itu sudah bunyi yang ke berapa, dan sudah berapa banyak pahlawan kita yang  mati akibat tembakan-tembakan yang membabi buta, namun itu semua tak membuat rakyat Indonesia gentar, mereka tetap berjuang sampai titik darah penghabisan.
Semuanya terasa begitu kejam, serbuan tentara sekutu hampir meluluh lantakkan semangat para pejuang. Hingga pada akhirnya pada tanggal 17 Agustus 1945 Soekarno mengumandangkan Proklamasi kemerdekaan Indonesia.

“PROKLAMASI… KAMI BANGSA INDONESIA DENGAN INI MENYATAKAN KEMERDEKAAN INDONESIA…… ” Begitulah isi proklamasi yang dikumandangkan oleh Soekarno. Yang akhirnya di setiap tahun tanggal 17 Agustus diperingati sebagai Hari Kemerdekaan Indonesia.

***

“Kek, Kakek bangun sudah siang!” aku membangunkan kakekku yang tertidur pulas setelah mendengar siaran memperingati hari Kemerdekaan yang jatuh hari ini melalui radio butut yang sudah bertahun-tahun memberi hiburan keluargaku.

Kakek menggeliat, dia bangun, lalu menatapku.

“Tadi Kakek tidur sambil mendengarkan siaran kemerdekaan di radio. Sekarang sudah jam tujuh Kek, katanya Kakek ingin melihat upacara kemerdekaan di sekolah sebelah?” Kataku pada kakek.

Kakekku dulu adalah salah seorang pejuang Indonesia dalam memperebutkan Kemerdekaan, kakek juga salah seorang dari sebagian kecil pejuang yang masih hidup. Kakek sangat menanti-nanti datangnya hari kemerdekaan kali ini, maklum umurnya sudah lanjut, dan beliau takut kalau tidak akan dapat menjumpai lagi tahun depan. Pada kemerdekaan kali ini kakek ingin sekali melihat bendera merah putih menghiasi depan rumah kami, tapi apa daya walaupun hanya selembar benderapun kami tak punya. Tapi aku akan berusaha untuk mendapatkan bendera merah putih untuk kakek.

***
Tole, Kakek pergi dulu ke sekolah sebelah untuk melihat upacara ya? Kamu ndak ikut?” Tanya kakek sekaligus berpamitan.

“Iya kek, tapi Kakek berangkat saja dulu, soalnya Deni masih harus menyiapkan sarapan untuk Kakek, nanti Deni menyusul, kakek tidak makan dulu?” Ujarku.

“Tidak, sarapannya nanti saja, nanti upacaranya keburu dimulai.” Kata kakek.

Aku tinggal hanya bersama kakekku di rumah tua peninggalan kedua orang tuaku yang pergi entah kemana meninggalkanku sejak aku kecil. Aku tidak sekolah karena tidak ada biaya, dan untuk menunjang kehidupanku, aku menjadi pengamen di terminal bus kota sedangkan kakek kadang-kadang menjadi pengumpul barang bekas yang kemudian dijual untuk mendapatkan uang. Sempat aku berpikir kasihan juga kakek, di usianya yang sudah begitu tua dia masih terlihat kuat, dan aku merasa sedih karena sebagian orang menyebut kakek seorang pemulung ataupun pengemis, padahal mereka tidak tahu siapa kakek sebenarnya.

Kakek adalah seorang pejuang yang dulu pernah mempertaruhkan nyawa demi kemerdekaan Indonesia, ya meskipun nama kakek tidak terkenal seperti nama- nama pahlawan lainnya, tapi aku tetap menganggap kakekku adalah pahlawan sejati.

Aku cucu laki-laki satu-satunya dan aku berharap bisa menjadi yang terbaik buat kakek suatu saat nanti. Aku tidak menyalahkan kakek karena aku tidak disekolahkan, aku hanya menyesal kepada orang tuaku, kenapa mereka tega meninggalkanku sejak kecil, tapi untungnya ada kakek yang dengan sekuat tenaganya membesarkanku. Meskipun aku tidak sekolah aku tetap rajin mengikuti les pendidikan bagi anak yang tidak mampu di kampungku yang diadakan oleh sebuah lembaga untuk membantu anak yang tidak mampu. Sehingga aku bisa baca tulis, bahkan kata guru pengajarku yang rata-rata masih kuliah, aku adalah muridnya yang paling pintar, tak jarang aku mendapatkan nilai seratus di pelajaran matematika yang mereka ajarkan. Aku senang sekali karena aku mendapatkan hadiah sebuah buku sejarah, sejarah Indonesia tepatnya. Aku menceritakannya kepada kakek.

***
Aku berangkat menyusul kakek untuk melihat upacara bendera di sekolah sebelah. Sesampainya di sana aku takjub akan hikmatnya semua murid-murid dan guru-guru dalam mengikuti upacara bendera, hingga aku membayangkan seandainya aku ada di sana bersama murid lainnya, menggunakan seragam merah putih, tapi ah…sudahlah.

Tujuh belas Agustus tahun empat lima, itulah hari kemerdekaan kita… hari merdeka nusa dan bangsa, hari lahirnya bangsa Indonesia, Merdeka!” begitulah lagu kemerdekaan dengan hikmat dikumandangkan pada waktu pengibaran sang merah putih, aku yakin lagu ini pasti dinyanyikan di seluruh pelosok negeri dalam upacara kemerdekaan setiap tahunnya.

Dari kejauhan aku melihat wajah kakek yang berseri-seri sambil mengangkat tangan kanan yang hormat ketika sang merah putih dinaikkan. Aku tersenyum melihat kakek bahagia. Setiap tahun kakek diam-diam selalu mengikuti upacara bendera di luar sekolah ini, sampai-sampai pedagang jajanan sekolah heran melihatnya.

Sepulang dari melihat upacara bendera aku teringat akan keinginan kakek yaitu sebuah bendera merah putih. Akhirnya aku putuskan untuk mencari sebuah toko yang menjual bandera, tapi sebelumnya aku berpamitan kepada kakek yang sudah pulang duluan.

“Kek, aku mau pergi sebentar kek, aku mau membelikan kakek sebuah bendera.” Pamitku sesampainya di rumah.

“Uhuk, uhuk.” Terdengar suara kakek terbatuk-batuk.

“Kek, astaga Kakek kenapa? Kakek tidak apa-apa? Pasti itu karena Kakek terlalu lama berdiri waktu upacara tadi.” Kataku kaget katika melihat kakek terbatuk-batuk, ada sedikit darah keluar bersamaan dengan batuknya.

“Sudah, kamu berangkat saja mencari benderanya, kakek tidak apa-apa kok tadi cuma tersedak saja! Lagipula kakek senang karena tahun ini masih bisa mengikuti upacara bendera, kan belum tentu tahun depan kakek masih bisa menemui hari kemerdekaan ini.” Balas kakek. Aku tidak tahu apa yang dikatakan kakek itu benar atau salah, tapi yang jelas aku sangat mengkhawatirkan keadaan kakek.

“Kakek kok ngomong begitu? Baiklah kalau begitu, Deni berangkat dulu Kakek tunggu di rumah. Assalamu’alaikum!” pamitku.

“Wa’alaikumsalam.” balas kakek.

Dengan rasa khawatir terhadap keadaan kakek akhirnya aku berangkat, mudah-mudahan aku cepat mendapatkan uang, karena aku harus mengamen dulu di terminal sebelum membeli bendera itu, tapi ini kan hari libur pasti terminal lagi sepi.

***
Biar saja ku tak sehebat matahari, tapi slalu ku coba tuk menghangatkanmu, biar saja ku tak seharum bunga mawar, tapi slalu kucoba tuk mengharumkanmu, biar saja ku tak setegar batu karang,tapi slalu kucoba tuk melindungimu, merah putih teruslah kau berkibar, ku akan slalu menjagamu….” Itulah sepenggal lagu yang aku nyayikan di atas bus kota, sepenggal lagu dari grup band papan atas Indonesia. Dan semoga dengan lagu itu aku mendapatkan uang lebih untuk membelikan bendera kakekku tercinta.

Sekitar dua jam aku baru mengumpulkan uang yang aku perlukan, tapi aku merasakan hal yang aneh, tiba-tiba kaleng uang yang aku pegang jatuh sehingga uang receh yang aku kumpulkan jatuh berserakan. Jangan-jangan kakek, aku segera mengumpulkan uang itu kembali dan berlari untuk membeli bendera. Semoga itu hanya perasaanku saja.

Aku berlari sekuat tenaga untuk segera sampai di rumah, karena entah mengapa aku merasakan sesuatu yang buruk terjadi. Dengan nafas tersengal-sengal aku sampai di rumah, dan di rumahku banyak orang berkumpul, aku segera masuk ke dalam dan ini tidak mimpi. Aku melihat sekujur tubuh kaku kakek yang dibalut kain putih dan dikerubungi banyak orang.

“TIDAAAAKK!!!!!!” Jeritku sambil memeluk tubuh kurus kakek. “KAKEK JANGAN TINGGALKAN DENI KEK!! BANGUN KEK!!” Aku menjerit sambil menangis. Sementara para tetangga sedang mengerubungiku dan menguatkanku.

“Kek, kenapa kakek pergi begitu cepat, kenapa kakek tidak menunggu Deni kek, ini bendera yang kakek inginkan, Deni akan pasang ini semua di depan rumah kek!” Aku menangis sambil meletakkan beberapa bendera kecil di atas tubuh kakek.

“Sudahlah nak, ini memang takdir Tuhan, pasti kakek kamu akan berada di sisinya dengan damai, karena kakekmu adalah pahlawan untuk semua, untuk kamu, dan untuk kita, tadi sebelum kakek kamu menghembuskan nafas terakhir kakek kamu berpesan pada kita untuk tetap menjagamu, dengan menitipkan ini” kata salah satu tetanggaku sambil memberikan secarik kertas yang berisikan sejarah Indonesia beserta foto kakek bersama Presiden Soekarno.

Aku tidak menyangka kakek akan meninggalkanku di saat Indonesia sedang merdeka, di saat semua orang merasakan kebahagiaan atas ulang tahun Indonesia. Dan aku bersedih pada hari bahagia ini.

Aku meletakkan rangkaian bendera  di atas pemakaman kakek.

“Kek, ini adalah bendera untuk Kakek, aku harap kakek senang. Aku berjanji tidak akan mengecewakanmu kek, dan kakek adalah pahlawanku seumur hidup. Semoga kakek bahagia di sana.”

Akhirnya setelah ditinggal oleh kakek aku diangkat sebagai anak asuh oleh seorang yang baik hati, dan aku disekolahkan hingga lulus dan setelah lulus aku disekolahkan militer. Aku menjadi tentara.

***
“Kek, sekarang Deni sudah menjadi tentara Republik Indonesia. Aku berjanji aku akan berbuat seperti kakek dulu, yaitu membela tanah air. Ini semua buatmu Kek.” Kataku dalam hati waktu aku mengunjugi makam kakek yang sudah lama aku tinggalkan, karena aku harus menjalani pendidikan di luar kota. Dan sekarang setelah 10 tahun aku kembali dengan membawa anak dan istriku untuk mengunjungi makam kakekku tercinta.

“Semoga kakek bangga padaku.” Do’aku dalam hati.

*selesai*


Senin, 06 Agustus 2012

Resensi Novel Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah



Judul               : Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah
Pengarang       : Tere Liye
Tahun Terbit    : 2012
Tebal               : 512 halaman
Penerbit           : Gramedia Pustaka Utama


Asmara di Sepit Borneo

“Cinta adalah perbuatan.Kata-kata dan tulisan indah adalah omong kosong”.
            Secuil kalimat mutiara yang dilontarkan seorang Pak Tua kepada dua bujang, Borno dan Andi.Borno, seorang bujang sederhana dengan kisah asmaranya yang sederhana pula yang bersemi di sepit ‘Borneo’.
            Adalah  angpau merah yang mengawali pertemuan pertama Borno dengan gadis yang kelak akan selalu hadir di dalam mimpi-mimpinya, dalam setiap lamunan bayangan itu selalu muncul. Gadis yang kelak juga akan membuat hati Borno merasakan jatuh cinta untuk yang pertama kalinya. Jatuh cinta dengan sederhana.
            Sepak terjang Borno menjadi pengemudi sepit tidak lain karena dia sudah menyerah dengan berbagai pekerjaan yang sebelumnya dia lakoni tidak cocok dengannya. Awalnya Borno bekerja di pabrik pengolahan karet yang manimbulkan bau menyengat di tubuhnya hingga menjadi bahan ledekan seluruh warga kampung.Lalu berganti menjadi pegawai penarik karcis di sebuah pelampung.Akan tetapi pekerjaan yang satu ini menjadikannya sebagai ‘buronan’ warga setempat yang sebagian menjadi pengemudi sepit.Bagaimana tidak, pelampung telah menjadi musuh terbesar mereka karena ancaman pelampung dapat mengurangi penghasilan mereka sebagai pengemudi sepit.Akibatnya poster Borno tersebar dimana-mana. Bang Togar, pengemudi sepit senior yang paling getol memprovokasi semua pengemudi sepit agar tidak memberikan tumpangan kepada Borno selama dia masih bekerja di pelampung itu.
            Dengan segala pertimbangan, mengingat kakek Borno dulu adalah juga seorang pengemudi sepit yang baik hati, akhirnya Borno memutuskan keluar dari pekerjaan barunya.Walaupun Bang Togar dan kawanan pengemudi sepit lainnya telah bersuka cita mendengar kabar keluarnya Borno dari pelampung tersebut, namun kegelisahan tetap bersarang di hati Borno.Satu pertanyaan besar muncul.Selanjutnya, apa yang akan dia kerjakan? Borno tidak dapat membayangkan dirinya hanya menjadi bujang luntang-lantung yang tidak mempunyai pekerjaan. Lagi-lagi Pak Tua, seorang pengemudi sepit yang telah menganggap Borno sebagai anaknya sendiri yang selalu memberikan wejangan-wejangan tentang arti hidup. Borno dengan segala kerendahan hatinya memutuskan menjadi seorang pengemudi sepit.
            Sepit nan gagah pemberian dari pengemudi sepit lain hasil dari patungan itu di beri nama ‘Borneo’. Sepit inilah yang nantinya akan menjadi alat penghasil uang bagi Borno. Tidak terkira bahagianya Bujang itu, walaupun sesungguhnya tidak pernah terlintas di pikirannya menjadi seorang pengemudi sepit.Namun, itulah hidup yang selalu penuh misteri. Dan di setiap kejadian yang terjadi dalam hidup ini akan selalu membawa hikmah tersendiri.
            Sepucuk angpau merah itu terselip di bangku sepit Borno.Tidak disangka angpau merah itulah yang membawanya bertemu dengan seorang gadis dan mengalirlah kisah pergulatan hati Borno tentang perasaannya kepada tersebut yang merupakan seorang guru magang di yayasan di daerah dermaga seberang.Itulah mengapa setiap hari gadis sendu menawan ituselalu naik sepit setiap pagi dengan payung terkembang yang menghiasi sepit Borno di tengah Kapuas. Betapa kagumnya Borno kepada gadis itu meskipun selalu kikuk setiap kali menjumpainya di pagi hari, bahkan saking nervousnya Borno tidak berani barang menanyakan siapa nama gadis sendu menawan itu.
            Ketika kita merasakan jatuh cinta atau kekaguman kepada seseorang kita bahkan bisa melakukan hal gila yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya.Disinilah Tere Liye menuliskan berbagai tingkah konyol bujang Borno.Digambarkan bagaimana danapasesungguhnya rasa yang bersemayam di hatinya hingga selalu terkenang akan wajah ayu si gadis sendu menawan tersebut. Setiap hari bertemu walau hanya selepas mata memandang membuat Borno hafal jadwal keberangkatan gadis itu.Setiap pagi Borno menunggu di antrian sepit menunggu timing yang pas sehingga sepitnya bisa dinaiki oleh gadis itu.Susah tidur demi menunggu datangnya hari esok dan tidak menyia-nyiakan waktu dan mengatur keberangkatannya setiap pagi agar sampai di dermaga pas di antrian sepit nomor tiga belas, dimana antrian yang berpeluang besar agar gadis sendu menawan tersebut bisa naik di sepitnya. Walaupun Borno masih belum berani menanyakan siapa gerangan nama yang disandang gadis ayu tersebut.
            “Kamu tahu, Pak Tua bahkan punya kenalan dengan dua belas anak, namanya mulai dari Januari, Februari, Maret hingga November, Desember.Ada-ada saja.”Begitulah Borno bercanda, lantas tertawa.Salah satu adegan diceritakan yang membuat Borno salah tingkah karena gadis ini ternyata bernama Mei. “Namaku Mei, Abang.”Begitulah jawab si gadis, yang sontak membuat Borno tidak enak hati karena telah melontarkan guyonan tentang nama tersebut.
            Bujang Borno disini digambarkan dengan sangat sederhana.Dia tidak hidup mewah dengan gelimangan harta, namun dia cukup bahagia hidup dengan Ibunya, dan dengan sepit Borneo yang dimilikinya saat ini.Sepit yang membawa rezeki, menemani Borno mencari nafkah setiap harinya.Sebenarnya dalam hati kecil Borno masih terdapat cita-cita yang kelak dia berharap bisa mewujudkannya.Dia tidak ingin menghabiskan masa mudanya hanya sebagai pengemudi sepit.Walaupun dia tahu saat ini tidak ada lagi yang bisa dia kerjakan selain hanya menjadi pengemudi sepit.Dan salah satu cita-citanya yaitu memiliki sebuah bengkel.
            Borno mengetahui segala keterbatasannya, terutama dalam hal keuangan yang tidak memungkinkan baginya untuk membuka sebuah bengkel.Akan tetapi sebuah keterbatasan tersebut tidak pernah membuat Borno memupuskan harapan itu.Dia belajar banyak tentang mesin dari Pak Tua, dari buku yang diberikan oleh gadis pujaannya, Mei.Borno juga mulai belajar tentang mesin dengan terjun langsung di bengkel orang tua sahabat sejak kecilnya, Andi. Dari bengkel kecil itulah sedikit demi sedikit Borno paham bahkan menjadi montir andalan di sana.
            Cita-cita untuk memiliki bengkel itu kian tergambar jelas, sejelas rasa rindunya kepada Mei yang telah meninggalkannya untuk kembali ke Surabaya. Bayangan Mei juga tidak pernah absen hadir di benaknya, sama seperti bayangan akan memiliki sebuah bengkel hasil dari kerja sama dengan bapak Andi. Mereka akan patungan untuk membeli sebuah bengkel besar dan pindah dari bengkel kecil tempat belajar Borno dulu, meskipun itu harus dibayar mahal dalam arti yang sesungguhnya. Ya, untuk membayar modal patungan pembelian bengkel itu Borno dengan berat hati dan dengan pertimbangan bersama para pengemudi sepit terpaksa menjual sepit Borneo.
            Lalu apakah cita-cita Borno sudah benar-benar dapat dia capai?Ternyata tidak semudah itu.Ujian masih harus dilaluinya karena ternyata transaksi jual beli bengkel yang telah menguras habis segala aset Borno dan bapak Andi hanyalah sebuah penipuan belaka.Butuh perjuangan keras mulai dari nol lagi bagi Borno untuk mengembalikan keadaan ini menjadi normal seperti sedia kala.Disini juga diceritakan bagaimana keteguhan hati dan ketekunan dapat menyelesaikan suatu masalah.
Di awal-awal kisah ini akandiceritakan bagaimana Borno kehilangan bapaknya kala usia Borno menginjak 12 tahun. Bapak yang telah menyumbangkan salah satu organ tubuhnya kepada seseorang di rumah sakit yang tengah membutuhkannya.Ya, jantung bapaknya telah didonorkan kepada seorang pasien gagal jantung yang tengah terkulai lemah. Kenangan tentang meninggalnya sang bapak memang tidak pernah bisa dia lupakan, bahkan pada waktu itu Borno sangat yakin bahwa sesungguhnya sang bapak belum betul-betul meninggal.
            Dan ditengah-tengah kisah ini diceritakan bagaimana kenangan akan bapaknya itu muncul kembali seiring munculnya seorang gadis ayu pemilik mata indah yang berbinar. Sarah, seorang dokter gigi yang secara tidak sengaja hadir di saat hati Borno gundah gulana karena kepergian Mei, gadis yang sesungguhnya amat dia sukai ke Surabaya dalam waktu yang dia tidak pernah tahu. Kehadiran Sarah di hari-hari Borno berikutnya kembali membuka memori keluarga akan meninggalnya sang bapak. Bagaimana tidak Sarah adalah putri dari seseorang yang telah menerima donor jantung dari bapak Borno.Alangkah terkejutnya Borno bertemu dengan seseorang yang ternyata pernah dia temui belasan tahun silam. Sebaliknya dokter gigi nan ayu tersebut sangat bahagia kembali menemukan Borno, baginya keluarga Borno telah menjadi anggota keluarganya sejak jantung bapak Borno ditanamkan pada tubuh bapak Sarah. Baginya, Borno dan keluarganya adalah malaikat penyelamat yang dikirim Tuhan.
            Bagaimana selanjutnya perasaan Borno?Apakah dia juga mengakui bahwa Sarah memiliki wajah yang sama-sama cantik dengan Mei?Apakah hatinya akan berpaling pada dokter gigi muda yang cantik ini? Dan apakah Borno akan selamanya menjadi pengemudi sepit?
            Borno, bujang sederhana dengan hati lurus sepanjang tepian Kapuas ini hanya memiliki satu perasaan yang kelak hanya dia berikan kepada gadis pujaannya, tak lain adalah Mei.Gadis sendu menawan yang membuatnya tidak bisa tidur di sepanjang malam.Baginya Sarah memanglah cantik, memiliki mata yang berbinar indah. Bahkan sejak mengetahui rumah Borno dan keluarganya, Sarah selalu menyempatkan diri untuk datang berkunjung dengan membawa banyak hadiah untuk Borno dan keluarganya..Namun bagi Borno Sarah adalah teman baik.Teman yang bisa menjadi tempat untuk bercerita.Begitu pula sebaliknya dengan Sarah yang menganggap Borno sebagai teman baik, walaupun tak jarang Pak Tua menggoda bahwa mereka berdua sangatlah serasi.
            Kisah cinta Borno yang sederhana ini tertulis mengalir di setiap halamannya.Bagaimana Borno memendam perasaannya, mengutuk dirinya sendiri ketika gagal mengutaraan kerinduannya terhadap Mei.Borno tidak pernah mengatakannya, tidak pernah mengungkapkan perasaannya, tapi semua orang tahu bahwa Borno menyukainya dengan cara yang sederhana. Bahkan disaat-saat Mei menolak untuk menemui Borno lagi karena satu rahasia. Sebuah rahasia besar yang tersimpan manis dalam sepucuk angpau merah yang ditemukan Borno di hari pertama mereka bertemu.
            Rahasia besar yang ada dalamsepucuk angpau merah tersebut adalah sebuah peristiwa pahit tentang kematian bapak Borno.Rahasia yang semestinya dapat mengubah perasaannya pada Mei.Namun, lagi-lagi dia adalah Borno, bujang sederhana dengan hati lurus sepanjang tepian Kapuas.
            Disinilah letak keunikan novel khas Tere Liye yang selalu membawa cerita maju dan mundur secara teratur.Sehingga hubungan antar peristiwa yang tidak dapat dipisahkan.
****