Kamis, 23 Februari 2017

Secangkir Teh





Ting.. ting.. ting..

Dentingan sendok yang beradu dengan cangkir terdengar saat aku menggoyangkan sendok ke kanan ke kiri mengaduk seduhan teh pagi ini.

Aku baru saja membuka mata saat sinar matahari sudah mulai menyembul dari balik tirai jendela kamar. Bangun kesiangan. Semalam aku tidak bisa tidur. Entah mengapa bayangan tentangmu tiba-tiba hadir. Jadilah aku menghabiskan malam untuk menamatkan satu seri pendek drama korea hanya agar terbebas dari ingatan tentangmu.

Hari ini adalah pagi yang ke tiga puluh sejak aku menuangkan teh manis hangat yang terakhir kalinya untukmu. Aku duduk di dekat jendela, menyesap sedikit teh manis yang kemudian kembali menerbangkan lamunanku padamu. 

"Kenapa teh bikinan kamu selalu pas, tidak terlalu manis pun tidak tawar." Katamu waktu itu.
Kamu adalah orang pertama yang aku sajikan teh setiap paginya. Belum pernah aku membuatkan secangkir teh untuk orang lain, selain dirimu. Dan kamu sangat menyukainya.

"Ada yang bilang kalau bikin janji itu sama kayak bikin teh, jangan terlalu manis.” Aku menuangkan teh pada cangkir merah favoritmu. Kebiasaanmu adalah tidak langsung menyesapnya meskipun teh itu hangat, tapi kamu selalu memejamkan mata dan menghirup dalam aroma asli teh itu.

Makanya kamu jangan terlalu banyak janji-janji manis padaku, nanti ketika janji manis itu tidak terpenuhi, seketika semua hal menjadi pahit." Ujarku, sesekali menyindirmu. Kamu tersenyum. Lalu menyesap sedikit teh itu.


Bukan tanpa alasan aku menyidirmu seperti itu, karena akhir-akhir ini kamu memang tampak berbeda tidak seperti biasanya dan perbedaan itu entah mengapa sangat lekat dengan kecurigaanku padamu. Tapi, aku masih meyakini bahwa itu kamu, Sore, seseorang yang telah memberiku kenyamanan dan akan seperti itu untuk selamanya, seseorang yang selalu menepati janji.

“Kamu tidak percaya semua janji manisku? Haha.. padahal sebagian besar sudah menjadi kenyataan kan?” Kamu mengusap rambut panjangku. Mengecup ringan puncaknya

Mungkin kamu memang menepati hampir semua janji manis yang pernah kamu buat, hanya satu janji yang meleset, yaitu janji yang dulu pernah kamu ikrarkan untuk hidup menua bersamaku.

Dan pagi itu akan adalah senyum terakhirmu untukku. Karena kini kamu bukan lagi penikmat teh manis buatanku, kamu beralih menjadi pecandu secangkir kopi pahit di tempat lain. 
Begitu juga teh yang sedang kuminum pagi ini, rasanya tidak semanis ketika aku menikmatinya bersamamu, Sore.

Senin, 20 Februari 2017

Pantulan Kaca






Sore ini mendung yang menggantung. Aku baru saja memperhatikannya setelah sejak dua jam yang lalu aku duduk di sini menikmati dunia khayalku, membiarkannya menjelajah hingga jauh tak terjangkau. Dua jam lamanya, entah mengapa ide-ide itu muncul dengan sangat derasnya padahal hujan sore ini pun belum sempat turun walaupun awan sudah gelap. Aku berbahagia, karena tangan ini bisa dengan lincahnya mengutarakan apa yang hendak dikatakan oleh pikiran.

Tarian jemari di atas keyboard laptop putih ini terhenti saat kilatan cahaya langit menembus jendela. Jepretan alam.

Dan akhirnya
rintik hujan mulai turun. Awan sudah tak mampu lagi menampung ribuan liter buliran air.

Aku
menghentikan semua aktivitas dan hanya menatap jalanan melalui kaca jendela yang mulai mengembun, tertutup bulir-bulir air hujan. Aku melihat wajahku yang terpantul melalui kaca jendela.

Oh, tidak hanya wajahku saja yang nampak, tapi sekeliling pengunjung kedai yang ada di belakangku juga
nampak di sana, melalui pantulan kaca jendela. .

Dari pantulan kaca jendela di kedai ini pula terlihat beberapa orang yang datang dan pergi, ada yang sejenak sekadar menghabiskan semangkuk es krim, ada yang sedikit lebih lama ditemani secangkir teh dan sebungkus roti, bahkan ada pula yang tinggal cukup lama dengan secangkir kopi, kentang goreng, beberapa biskuit dan obrolan hangat.

Aku tersenyum, seolah aku melihat masa lalu melalui pantulan kaca itu dimana banyak orang yang hadir dan pergi di kehidupan kita. Ada yang sebentar, ada juga yang lama.

Yang lama, di saat seseorang itu selalu ada di setiap kali kejadian hidup kita, bahagia, sedih, si pencinta, pemberi perhatian, pengumbar janji yang hingga pergi pun janji itu tak kunjung ditepati. Padahal dia adalah salah satu pemberi kenyamanan selain kenyamanan dalam pelukan ibu. Sialnya aku telah berharap banyak padanya. Namun, tanpa sepatah kata pamit dia menghilang.

Yang sebentar, seseorang tiba-tiba datang tanpa disangka-sangka. Ah, apa ini namanya kejutan dari Tuhan? dia, yang hadir tanpa janji-janji manis namun dengan segala kemampuannya berusaha membahagiakanku dengan caranya yang sederhana. Dan aku menyukainya. Namun Tuhan memang Maha Perencana yang Baik yang kemudian menyandingkanku dengannya meskipun tak lama kemudian dia harus berpulang kembali pada-Nya.

Perkaranya bukan seberapa lama mereka ada di kehidupan kita, tapi seberapa banyak warna yang telah dilukiskan di cerita hidup kita. Itulah yang nantinya akan membekas sebagai sebuah kenangan.

Kuseruput lagi cokelat panas di mejaku, sebelum akhirnya kulanjutkan lagi cerita yang belum pernah usai. Cerita tentang kamu, Sore.

***

Note :
ditulis untuk #30HariBercerita di Instagram beberapa waktu lalu