Sabtu, 02 Februari 2013

Kembang Gula


Episode #1         

          Pagi yang basah. Genangan air juga masih tampak di beberapa tepi jalan, bekas hujan semalam. Hujan turun sejak subuh tadi membuat sebagian orang malas untuk keluar. Untung ini hari Minggu, sekolah, kerja, atau kuliah libur, jadi lebih baik menghabiskan hari di atas tempat tidur, menyembunyikan diri dalam pelukan selimut yang hangat. Jalanan hanya ramai oleh beberapa pekerja proyek gorong-gorong komplek yang sedang berlalu lalang memeriksa pekerjaannya, juga ibu-ibu yang sedang memaksakan diri keluar belanja untuk santapan sarapan keluarganya.
            Kamar tidur itu masih terkunci rapat. Bukan karena penghuninya masih tidur, hanya masih malas keluar saja. Seluruh tubuhnya kecuali kepala memang masih terbungkus selimut hangat, sejak tadi dia menatap rintik hujan di balik jendelanya di lantai dua. Kembang memang gemar melihat rinai hujan. Menikmati setiap tetesannya, beberapa kali dia menuliskan kata-kata di jendelanya yang tertutup embun.
            “Kembang” Pertama-taman ditulis namanya sendiri, lalu beralih sedikit di bawahnya.
            “Cinta”. Dia menggambar sebuah lambang hati.
            “Bhima” Nama itu ditulis di bawah lambang hati.
            Dia menatap tulisan itu sejenak. Lalu dihapusnya. Ganti dia menulis nama-nama keluarganya. Mulai Ibu, bapak, kakak, dan adiknya.
            “Bhima” kembali dia menuliskan kata itu. Lalu dihapusnya sekali lagi.
            “Kenapa aku memikirkan dia sih? Dia saja belum tentu memikirkan aku!”
          Dia mengalihkan pandangan ke bawah, tampak ibunya yang sedang berbelanja di gerobak Pak Hamid, penjual sayuran keliling di kompleksnya. Dia terperanjat, tepat di belakang Ibunya tampak sosok yang sangat dia rindukan, Bhima. Sedang apa dia disana? Pikirnya, ah seandainya dia bisa turun dan menyapa Bhima saat itu juga.
            Dia beranjak duduk dan memperhatikan pemuda itu. Ingatannya melayang pada saat pertama kali bertemu dengan Maru.
***
            “Kalau jalan hati-hati, perhatikan jalannya, jangan malah memperhatikan HPnya” Pemuda itu menolong Kembang sekaligus sepedanya. Bunga-bunga yang Kembang ambil dari taman turut jatuh berserakkan. Pun demikian dengan kembang gula yang masih terbungkus rapi turut jatuh ke tanah.
            “Untung kamu tidak masuk selokan itu, dan untung yang kamu tabrak itu aku, coba kalau seorang nenek-nenek, kan kasihan!” Pemuda itu jongkok mengambil beberapa bunganya yang masih bisa diselamatkan. Kembang masih terpaku melihat pemuda itu.
            “Ini HP kamu, lain kali jangan terlalu asyik ya?” Pemuda itu menyodorkan HP Kembang, lalu mengusap sekilas puncak kepala Kembang, dan pergi, bahkan sebelum Kembang sempat mengucapkan terima kasih. Kembang masih berdiri ditempatnya terjatuh tadi, menatap punggung pemuda itu hingga masuk ke sebuah rumah yang tidak jauh dari tempatnya berdiri saat ini. Seolah-olah baru tersadar bahwa sudah cukup lama dia mematung disini, dia bergegas menaiki sepedanya dan pulang.
            Sudah dapat dipastikan, keesokan harinya Kembang menunggu pemuda itu ditempat dia terjatuh tempo hari. Setiap hari sepulang sekolah seperti biasanya, juga dengan bunga dan kembang gula yang menghiasi keranjang sepedanya. Awalnya Kembang hanya berniat untuk mengucapkan permintaan maaf sekaligus terima kasih kepada pemuda itu. Kembang sudah menyiapkan dua bungkus besar kembang gula untuk pemuda itu. tapi nanti kalau mau diajak kenalan, berarti hari ini memang rejeki Kembang.
            “Jangan-jangan dia sudah pulang?” Kembang memanjangkan kepalanya, mencari-cari sosok pemuda itu.
            “Kamu habis jatuh lagi?” suara itu mengagetkan Kembang. Sontak Kembang menoleh. Apa yang dilihatnya siang ini seakan hasil dari berjam-jam dia menunggu. Dia menghembuskan nafas lega.
            “Aku tanya, apa kamu habis jatuh lagi disini?”
            “Ah, tidak, aku tadi hanya emm...hanya kebetulan lewat sini saja emmm...”
            “Oh, syukurlah kalau begitu.” pemuda itu bersiap untuk melangkahkan kakinya sebelum ditepuk oleh Kembang.
            “Tunggu! Apa kamu warga baru di sini?” Rasa ingin berkenalan sudah tidak dapat ditahan lagi.
            “Tidak, kedua orang tuaku sudah lama di sini, kenapa? Apa aku sangat asing bagimu?”
            Kembang mengangguk.”Oh iya, waktu itu aku belum sempat minta maaf dan mengucapkan terima kasih padamu. Terima kasih ya sudah menolongku dan maaf aku sudah menabrakmu waktu itu.” Kembang menjulurkan tangannya. Memberikan satu kantong kembang gula berwarna merah muda, setelah itu dia kembali menjulurkan tangannya untuk kenalan. “Namaku Kembang, tinggal beberapa blok dari sini, kamu?”
            Kembang sudah menyangka bahwa pemuda ini baik hati.
            “Aku Bhima, tetangga baru kamu. Eh ini apa? Ini bukannya kembang gula ya? Kamu suka jajanan ini?” Tanya Bhima sambil memutar-mutar ujung bungkus kembang gula. Mungkin dia heran, masih ada juga ternyata jajanan masa kecil seperti ini.

== bersambung ==

Tidak ada komentar: