Selasa, 29 Desember 2015

novel PULANG - Tere Liye

Cover Novel PULANG

Judul : Pulang
Penulis : Tere Liye
400 halaman
Penerbit : Republika
Cetakan I : September 2015

Membaca judul novel ini, yaitu PULANG terbayang di benak bahwa cerita yang akan tersaji di dalamnya adalah sudah pasti tentang pulangnya seseorang dari suatu perantauan yang panjang lebih dari selaruh usianya dengan latar belakang sebuah pedesaan dan kedua orang tua yang memanti kepulangan anaknya.

Ya, memang benar novel Pulang ini menceritakan tentang perantauan seseorang, namun bukan sekadar perantauan biasa yang hanya keluar dari desa tempat tinggal sebelumnya untuk mencari kehidupan yang lebih baik di sebuah kota. Tidak, novel ini memiliki cerita yang sangat berbeda tentang definisi pulang yang bahkan tidak terlintas di benak.

 Pulang disini menceritakan tentang seorang bujang yang direkrut dari sebuah desa di pedalamn Sumatra di usia yang masih remaja untuk menjadi anak angkat oleh seorang pemimpin kelompok shadow economy bernama keluarga Tong. Alur maju mundur tidak membuat bingung pembaca karena alur berjalan dengan sangat halus. Cerita saling berkaitan antara tokoh satu dengan yang lain, bahkan satu tokoh yang tidak disangka sangka akan menjadi seorang yang sangat penting di pertengahan cerita ketika sudah memasuki klimaks ceritanya.

Menurut saya, novel ini lebih ke genre action, semua digambarkan sangat detail di setiap adegan adegannya, tentang peperangan, baku tempak, kecerdikan  menyusun suatu rencana peperangan dalam perebutan suatu kekuasaan di dunia hitam. Darah, pembunuhan karena pengkhianatan tak luput dari deskripsi yang apik hingga seolah olah saya sedang menonton film action holywood dibintangi oleh aktor aktor keren. Senjata yang diceritakan disini tidak hanya menggunakan peralatan perang yang canggih seperti pistol, granat, tapi juga terdapat pedang samurai, shuriken atau bintang ninja, dan pedang.

Yang menarik dari novel ini adalah ciri khas Tere Liye (menurut saya setelah membaca beberapa bukunya) yang selalu menyelipkan kalimat kalimat bijak penuh makna. Dari setiap peristiwa yang dialami tokoh utama selalu dikaitkan dengan pelajaran pelajaran hidup yang membuat saya berfikir "Oh.. iya ya" 
Pun demikian, meskipun novel ini menceritakan tentang dunia gelap si tokoh utama tak lupa juga diselipkan cerita akan pentingnya suatu pendidikan. Bila perlu kejarlah ilmu setinggi langit, menyebrangi benua, ilmu pengetahuan itu sangatlah penting. Itulah yang dilakukan oleh Bujang, tokoh utama.

Novel Pulang ini menceritakan tentang makna dari pulang dalam arti yang luas  penuh perjuangan dan pembelajaran.

"Sungguh, sajauh apa pun kehidupan menyesatkan, segelap apa pun hitamnya jalan yang kutempuh, Tuhan selalu memanggil kami untuk pulang. Anakmu telah pulang"

- kutipan dari kata hati Bujang, di novel PULANG -

Jumat, 25 Desember 2015

One Day Escape - Part 3

Save the best for the last. Kalo kata orang-orang sih begitu dan syukurlah masih ada waktu (aslinya sih masih inget) di tengah libur panjang ini akhirnya bisa melanjutkan nulis part terakhir dari perjalanan sehari di Madura. Oke, mari lanjut.

Di part pertama dan kedua sudah dibahas tentang kerennya tebing kapur Arosbaya, lucunya berkejaran dengan monyet-monyet kecil di hutan Nepa, dan bagaimana menikmati panas terik di pantai Nepa yang bisa bikin kulit coklat ini semakin eksotis, hehehe :D

Well, setelah dari hutan dan pantai Nepa kami sebenarnya ingin melanjutkan perjalanan ke air terjun Toroan yang kata Eva sangat cantik dan masih alami, yaa memang sih kita pengen pemandangan yang hijau dan menyegarkan untuk menikmati senja sekalian menutup perjalanan kami di Madura. Tapi, berdasarkan usulan dari seorang bapak-bapa yang mai temui ketika kami sedang membeli minuman katanya ada sebuah waduk yang tak kalah cantik pemandangannya dengan air terjun dan letaknya sangat dekat dengan pantai ini. Hmm... okelah dengan saran dari bapak tersebut kami lanjut ke waduk itu.

Perjalanan ke waduk ternyata memang tidak terlalu jauh, keluar dari pantai dan menuju jalan raya kita belok kanan tidak begitu jauh terdapat petunjuk menuju ke waduk. Jalannya kecil dan cukup berliku, ada bukit sebelum waduk itu. Menjelang tiba di waduk ada sebuah pos penjagaan (yang tidak begitu resmi) dan harus bayar parkir sebesar Rp 10.000,-. Mengingat apa kata bapak-bapak tadi yang katanya waduknya bagus dalam hati saya menyesal karena batere handphone yang notabene sebagai sumber utama dalam mengabadikan momen habis sejak keluar dari pantai tadi, Aduh!! :( tapi untungnya masih ada kamera Eva, didit, Erwa, Febri, dan Ilmi dan beberapa foto disini hasil dari jepretan mereka. Terima kasih banyak :*

penampakan Waduk berpagar merah


Berpose dulu



Waduk ini dikelilingi tebing-tebing bebatuan. Suasana di siang hari sangat sepi,  hanya ada beberapa orang yang datang dengan menggunakan motor. Saat menengok ke dalam waduk juga tidak air setetes pun, hehe hanya pagar bercat merah yang tampak menarik, yang pada akhirnya kita memanfaatkan untuk foto-foto lumayaan daripada tidak ada dokumentasi sama sekali 😄

Wefie
Cukup lama kami mangambil beberapa foto disini, namun yang paling favorit adalah pose Didit kami sebut gaya Thor 2016 👏


Thor 2016

Thor with Jane :D

Hari sudah menjelang sore, kami memutuskan untuk lanjut ke destinasi terakhir yaitu air terjun Toroan agar bisa menikmati senja.
Perjalanan sore yang menenangkan, karena kami semua sudah cukup lelah setelah perjalanan dari satu tempat ke tempat yang lain. Berharap di tujuan terakhir bisa memberikan kesegaran sambil menikmati jingga di ufuk barat.

Air Terjun Toroan

Hwaaaa... air terjunnya cantik banget *-* jaraknya tidak begitu jauh dari tempat parkir kendaraan yang berada tepi jalan raya. Medannya jg tidak terlalu susah karena hanya melewati bebatuan tapi harus tetap hati-hati karena bebatuan tersebut cukup licin.

ladies


Jingga

Ketika Senja kami mulai beranjak

Suasana sore yang cerah membuat kami terbuai dengan angin sepoi, duduk di atas bebatuan menikmati indahnya suara gemericik air terjun, rasanya mendamaikan hati dan pikiran. Lelah seharian terbayar dengan indahnya jingga sore itu.

Berikut saya perkenalkan agen dalam perjalanan 25 Oktober 2015 kali ini.

-Erwa-

-Didit-
-Ilmi-
-Eva-
-Febriana-

-saya sendiri :)

Inilah secuil cerita dari pulau seberang. Terima kasih kepada teman-teman >> Ilmi, Erwa, Eva, Didit, Febriana yang telah mengajak saya mengunjungi tempat di Madura yang tidak terduga. Sampai jumpa di perjalanan selanjutnya. Bye :D





Kamis, 24 Desember 2015

Di Penghujung Desember

Penghujung Desember sebantar lagi datang yang artinya tahun di kalender ini akan segera berakhir. Hujan di bulan Desember pun semakin kerap menghampiri, tidak ada pelangi, hanya mendung yang tiap sore datang sehingga senja malu untuk menampakkan semburat jingganya di ufuk barat.

Sore ini, Kirana duduk termangu di tepian danau yang tak jauh dari rumahnya. Menatap senja tanpa cahaya, pikirannya melayang pada seseorang yang pernah selama dua tahun ini bersamanya, bukan karena ada hubungan khusus diantara mereka berdua, hanya sekadar sahabat. tapi, Kirana tahu kedekatan selama dua tahun ini mulai menumbuhkan rasa yang lebih dari rasa persahabatan belaka.

***

Ardhana, sahabat yang selama dua tahun ini ada bersama suka dan duka Kirana telah membuatnya menyadari bahwa rasa yang dimilikinya kepada Ardhana bukan lagi rasa sayang kepada sahabat tapi rasa kepada seeorang perempuan kepada laki-laki. Kirana juga yakin bahwa Ardhana tentu paham tentang hal itu, karena usia mereka sudah bukan remaja lagi.

Kirana mengerti bahwa Ardhana adalah pemuda yang baik hati, tidak banyak tingkahnya, dan tentunya dia sangat menjujung tinggi kekaguman pada seorang perempuan. itulah yang membuat dua tahun kebersamaannya dengan Ardhana semakin membuatnya merasa nyaman. Namun, perasaan tidak dapat dipaksa, setahun lalu ketika Kirana mengungkapkan kekaguman yang melebihi dari sekadar sahabat kepada Ardhana, dengan halus ditolaknya perasaan Kirana kepada dirinya. 

"Akan ada banyak cerita jika kita tetap seperti ini, Kiran" Ujar Ardhana yang langsung disambut dengan gelengan Kirana.

"Justru kamu salah, dengan hanya seperti ini cerita kita tidak akan berkembang banyak, bahkan bisa saja berhenti sampai di sini karena apa? karena pada akhirnya kamu dan aku masing-masing akan memiliki cerita berbeda dengan kehidupan kita!" Kirana dengan lembut meyakinkan pada Ardhana. Entah apa yang membuat Kirana berani menyatakan perasaannya kepada Ardhana, Kirana telah yakin bahwa laki-laki di depannya ini adalah yang terbaik.

"Memang cerita kita akan lebih panjang tapi aku tidak akan masuk pada cerita kehidupanmu karena pada akhirnya aku sebagai penonton yang hanya bisa melihat cerita kehidupanmu bersama yang lain, begitu juga kamu nantinya di cerita kehidupanku." Lanjutnya.

Ardhana menatap Kirana, "aku tahu jika nanti kita bersama cerita kita akan lebih indah karena masing-masing kita akan menjadi bagian penting dalam cerita kehidupan kita, tapi aku takut Kiran, aku takut jika nanti kamu bersamaku aku tidak bisa mewujudkan cerita indah itu, tidak bisa mewujudkan kebahagiaan apa yang kamu mimpikan. Maafkan aku!"

Kirana menyerah untuk meyakinkan perasaannya kepada Ardhana, karena Kirana yakin jika Ardhana sudah mengatakan maaf, itu berarti seorang Ardhana sudah tidak mampu lagi, sudah pada titik akhir.

"Jangan khawatir Kiran, sampai kapanpun aku akan menjadi sahabat terbaikmu!"

Ardhana tidak sadar bahwa perasaan itu bisa berubah secepat apa yang diingikan oleh yang Maha pembolak-balik hati. Apa yang dikatakan di pertemuan terakhir mereka itu tidak akan pernah terjadi karena lamanya kehadiran seseorang tidak menjamin sebuah perasaan yang sama dan abadi.

***
Kirana beranjak dari duduknya, lamunan akan masa-masa bersama Ardhana telah usai. Kirana berjalan memasuki rumahnya ketika gerimis mulai berjatuhan dari langit yang sedari tadi menahan dengan semakin gelapnya mendung sore ini.

"Kiran!" seseorang memanggilnya. Suara yang sangat dia kenal. Kirana menoleh, tampak seseorang berpayung merah datang menghampirinya. Kirana menyipitkan matanya mencoba mengenali seseorang dengan postur tubuh yang sangat dikenalnya. Ardhana.

"Apa kabar?" Ardhana mendekati Kirana berbagi payung dengannya karena hujan sudah benar-benar turun. 

Kirana tidak menjawab, dia menatap lekat wajah seseorang yang dulu sangat menenangkan baginya. Masih sama tidak berubah meskipun sejak kejadian itu selama enam bulan ini mereka tidak saling mengontak.

"Maafkan aku..." Ardhana kembali membuka suara setelah menyadari Kirana tidak membalas pertanyaannya. "Aku tidak tenang setelah kejadian itu, awalnya kukira rasa gundah hanya karena perasaan bersalah setelah menolak permintaanmu tapi beberapa bulan ini aku sadar bahwa aku juga memiliki perasaan yang sama denganmu Kiran, aku...."

"Maaf Ardhan" Kirana memotong perkataan Ardhana.

"Apa aku terlambat?" Jantung Ardhana berdebar begitu cepat. "Kenapa secepat ini kamu bisa melupakan aku? melupakan kenangan kita bersama selama dua tahun hanya dalam waktu enam bulan?" Mendadak pegangan payung ditangan Ardhana melemah. Payung itu lepas dari genggamannya. "Kiran, maafkan aku, aku akan melakukan apa saja agar kamu bisa memaafkanku, aku mohon" Kirana tahu Ardhana mulai mintikkan air mata meskipun tersamarkan dengan derasnya air hujan yang menerpa mereka berdua.

"Sebentar atau lama itu hanya masalah waktu dan perasaan bisa berubah seiring berjalannya waktu. Bahkan aku yang memiliki hati ini pun tidak berhak karena masih ada Sang Pemilik Hati yang bisa membolak-balikkan hati kapanpun Dia menghendakinya." Kiran berkata lembut hampir saja tidak terdengar karena hujan di tanggal menjelang Desember ini turun semakin derasnya.

"Kiran..... kenapa kamu bisa melakukan ini?"

"Kamu hadir dengan waktu yang cukup lama dalam hidupku, memberikan warna dan cerita tersendiri buatku, tapi itu tidak menjamin kamu akan tetap abadi dalam hatiku. Kamu tetap sahabatku seperti apa yang kamu katakan padaku waktu itu." Kirana tak kuasa menahan air mata.

"Jika kamu bertanya kenapa aku bisa melakukan ini akupun tidak tahu apa jawabannya, mungkin karena itu tadi, masih ada Sang Pemilik hati ini. Semua bisa berubah. Maafkan aku Ardhan"

Kita bisa meyakini bahwa hati kita tidak akan berubah, namun tidak ada yang bisa menjamin itu. Setiap yang datang di kehidupan kita pasti memiliki cerita dan warna tersendiri, Bahkan terkadang tidak harus dalam waktu yang lama seseorang bisa lebih memberi warna di kehidupan kita. Mereka berdua terdiam, berdiri mematung entah apa yang berada di pikiran mereka masing-masing. Seseorang laki-laki keluar dari rumah Kirana membawa payung.

"Sayang, ayo masuk!" Laki-laki itu memayungi Kirana dan menggandeng tangannya. "Loh, ada tamu kok nggak disuruh masuk? mari Mas masuk dulu" Laki-laki itu dengan ramah meminta Ardhana masuk ke dalam rumah.

"Terima kasih, tapi tidak perlu, saya tadi hanya tanya alamat sama Mbak ini. Saya permisi dulu"

****


Sabtu, 28 November 2015

Nyanyian Ibunda



Detak jarum jam yang kini tengah menunjukkan angka 10 malam terdengar begitu nyaring, hanya detak jantung Kinan yang bias menandingi kecepatan detak jarum jam tersebut. Kinan tak banyak berucap, dia hanya bergumam untuk dirinya sendiri. Matanya tak juga kunjung untuk menutup untuk menghapuskan lelah hari ini yang telah dilalui Kinan.
Kinan memiringkan kepalanya sedikit ke kanan. Mungkin kepalanya capek karena sudah lama menatap langit-langit kamar bercat putih ini, toh juga cicak-cicak yang biasanya menjadi teman dikala terjaga seperti ini sudah tidak ada lagi disekitar lampu. Semilir terdenga rsebuah senandung dari bibirnya. Alunan lagu yang tidak jelas namun memiliki irama tersendiri bagi Kinan, karena kakinya yang tertutup selimut terlihat bergerak-gerak seolah mengikuti irama lagu yang sedang dinyayikannya.
Di malam yang sama ditempat yang berbeda, Bunda juga masih terjaga. Bunda miring kekiri menjadikan lengannya sebagai alas dikepala menjadi pengganti bantal. Bukan karena tidak ada bantal, tapi karena Bunda sudah terlalu capek beberapa bulan terakhir ini sering tidak bias tidur karena memikirkan Kinan, menggulingkan badan ke kanan ke kiri, hingga akhinya menemukan posisi yang pas untuk memulai memejamkan mata meskipun pada akhirny ausaha itu masih gagal.
Sayup-sayup terdengar senandung dari kamar Bunda, awalnya perlahan namun lama lama terdengar juga oleh Ayah yang sedang tidur diluar.
"Hmm..laguini" gumam Ayah.
Mata Ayah berkaca-kaca mendengar senandung yang sedang dilantunkan Bunda. Pikiran Ayah melayang pada kejadian beberapabulanlalu.
***
"Kinan, tolong sini bantu Bunda Nak!" Panggil Bunda yang sedang mencuci baju. Bunda meminta tolong Kinan yang sedang bermain kelereng dengan Banyu, adiknya.
"Iya Bun, sebentar" sahutnya sambil membersihkan kedua tangannya yang penuh kotoran tanah, mengusapkannya pada celana pendek coklatnya.
Kinan berjalan sedikit berlari menghampiri Bunda, tanpa mengucapkan kata Bunda meminta tolong Kinan untuk mematikan air kran karena ember cucian Bunda sudah penuh. Kinan dengan sigap memutar kran air.
“Sudah Bun?” tanyanya, sekaligus memastikan jika Bunda tidak memerlukan bantuannya lagi dia segera kembali bermain dengan Banyu.
Bunda mengangguk. Tersenyum. Lalu bernyayi, mengalunkan sebuah lagu yang sangat indah dan membuat siapapun yang mendengarnya pasti akan mengangguk-anggukkan kepala atau menggerakkan kaki mengikuti irama. Kinan berbalik, memandang Bunda yang sedang asyik mencuci sambil bersenandung.
Kinan berjongkok di depan Bunda. “Bunda itu lagu apa sih? Kok setiap hari Bunda nyanyi itu dan tiap kami mau tidur juga Bunda menyanyikan lagu yang sama”
“Ini lagu dari nenek kamu, lagu yang sarat akan makna. Nanti kalau kamu sudah besar kamu akan tahu makna sebenarnya. Bahwa hidup itu memang tidak selalu mudah, bahkan lebih banyak susahnya tapi itulah hidup yang memang dituntut sebuah perjuangan demi kebahagiaan yang dipanen setelah mengalami beratnya perjuangan itu.”
Kinan hanya mengerutkan kening tidak mengerti apa yan diucapkan Bundanya. Wajar saja, usianya baru enam tahun dan Banyu adiknya berusia empat tahun. Mereka masih terlalu kecil untuk memahami penjelasan bunda.
“Maksudnya, kalau Mas Kinan dan Dek Banyu sedang mengalami kesusahan, jatuh dari sepeda, atau terpeleset ketika sedang main bola jangan menangis, bukan, kalian boleh menagis tapi hanya secukupnya, lalu bernyayilah, nanti rasa sakit itu akan hilang” Ayah datang memberikan penjelasan yang sepertinya membuat Kinan cukup mengerti.
“Ooh.. begitu, baiklah nanti Kinan dan Dek Banyu akan bernyanyi seperti apa yang Bunda nyanyikan...” baru saja Kinan menyelesaikan kata-katanya tiba-tiba terdengan Banyu menangis sambil memegangi tangannya. Kinan berlari menghampiri adik tersayangnya. Ayah dan Bunda menatapnya dari kejauhan dan mengembangkan senyumnannya ketika melihat Kinan mulai mengajari Banyu nyanyian untuk menghilangkan rasa sakit karena gigitan semut merah.
Kinan dan Banyu memang anak-anak Bunda yang cerdas. Rumah menjadi ramai ketika mereka berdua sedang bermain bersama. Tak masalah rumah menjadi kotor, bagi Bunda itu tandanya mereka juga sambil belajar.
Kinan saat ini duduk di banku TK B, sedangkan Banyu masih diikutkan Bunda untuk belajar di kelompok bermain di balai RW tempat mereka tinggal. Setiap pagi Bunda sendiri yang mengantar dan menjemput mereka yang kata tetangga terlihat seperti anak kembar karena postur tubuh mereka hampir sama. Kurus. Jadilah Bunda selalu membelikan baju dan celana yang ukurannya sama, kadang juga dengan warna yang sama karena tak jarang mereka berdua bertengkar berebut pakaian jika pakaian yang dibelikan tidak senada.
Tiap malam tiba, Ayah dan Bunda secara bergantian membacakan dongeng untuk mereka, guna meningkatkan daya imajinasi mereka.
“Aku mau jadi buto ijo nya Yah!” kata Kinan ketika Ayah mendongengkan cerita buto ijo.
“Aku mau jadi kancil!” Sahut Banyu tak mau kalah.
“Iya, nanti si kancil akan aku makan. Hauum!!” Kinan menggoda dengan seolah-olah akan menerkam adiknya.
“Aku nanti lari, biar nggak dimakan.” Jawab Banyu,
“Nanti tetap Buto Ijo yang menang, kan buto itu raksasa yang besar! Iya kan Yah?” Kinan meminta pembelaan dari Ayah.
Kalau sudah begitu maka malam-malam di rumah sederhana mereka akan ramai kembali, berebut siapa yang paling kuat antara Buto dan kancil.
Sementara Bunda lebih banyak menyanyikan lagu yang sama ketika meninabobokan mereka berdua, karena dengan nyanyian dari suara Bunda yang halus menentramkan hati.
Tersenyumlah..
Bernyanyilah...
Tak usah kau bersedih, mari berkumpul
Aku akan datang saat kegelapan bersamamu
Karena rembulan datang tanpa cahaya
Hanya malam yang mampu menatapnya
Penggalan lirik lagu yang dinyanyikan bunda membuat mereka segera terlelap.
***
            Tidak terasa air mata Ayah jatuh di pipi mengingat betapa cerianya kedua putranya. Keduanya begitu ceria dan sehat. Semangat mereka tiap pagi ketika berangkat sekolah pun selalu diingat Ayah. Beberapa bulan lalu Ayah masih mengingat betapa bahagianya Kinan, yang pagi itu berpamitan sekolah dengan senyum dan tangan melambai dengan riang. Banyak bercerita ketika naik sepeda di perjalanan menuju ke sekolahtanpa Ayah tahu bahwa itu adalah salam untuk yang terakhir kalinya.
Dokter memvonis Kinan terkena tumor di batang otaknya. Bagaikan disambar petir di siang bolong, kabar tersebut merenggut keceriaan Kinan seketika. Dua bulan sudah Kinan hanya bisa tergolek lemah di ICU dengan segala peralatan medis yang menempel di tubuh kecilnya.
"Mas Kinan kemana Bu?" Tanya Banyu yang hanya tahu bahwa Kinan sedang sakit tanpa tahu bahwa kakaknya akan istirahat cukup lama di rumah sakit.
"Mas Kinan kan sedang sakit, sayang.." jelas Bunda.
"Kapan pulangnya? Adek nggak bisa main kelereng lagi sama Mas Kinan kalau Mas Kinan tidak pulang."Ucapan Banyu semakin membuat Bunda ternyuh.
"Mas Kinan akan segera pulang, makanya Adek berdoa ya biar Mas Kinan cepat sembuh."
Bunda memeluk Banyu, lirih terdengar nyanyian Bunda yang membuat Banyu semakin erat mendekapnya. Entahlah, jika dibilang kuat Bunda juga tidak begitu yakin menghadapi cobaan yang sedang terjadi pada Kinan. Jika boleh, lebih baik Bunda yang menggantikan posisi Kinan saat ini. Namun bunda tahu, seperti lirik lagunya Karena rembulan datang tanpa cahaya. Hanya malam yang mampu menatapnya. Bahwa kita tidak akan pernah bisa melihat indahnya padang bulan tanpa adanya gelap malam, kita tidakakan merasakan indahnya kehidupan yang diaturNya tanpa adanya cobaan dariNya pula.
Ruangan putih dengan bau khas obat-obatan menyengat ketika memasukinya. Di ranjang paling ujung, terlihat Kinan sedang berbaring di hari tepat dua bulan dia tergolek di sini, terlentang, karena Kinan masih belum sepenuhnya bisa menggerakkan kaki ataupun tangannya, hanya gerakan-gerakan kecil di jari jemarinya. Meskipun selama dua bulan ini Kinan hanya bisa berkomunikasi melalui mata dan suara lirihnya yang hampir tidak terdengar, tapi semangat Kinan sangat luar biasa. Setiap malam ketika berkunjung, Bunda selalu menyanyikan lagu sambil memeluk erat anak sulung tercintanya hingga Kinan benar-benar tertidur pulas.Nyanyian Bunda memberikan semangat tambahan kepada Kinan.
"Bunda akan selalu di sini dengan nyanyian Bunda untuk memberikan semangat kepadamu Nak, Kinan juga jangan bersedih yaa.. ingat kata Ayah, kalau jatuh atau sakit kita boleh menangis secukupnya, tapi ingat kamu harus tetap berdoa dan bernyanyi untuk bisa menghilangkan rasa sakut itu." Bunda mencium kening Kinan yang bersih.
Malam ini langit-langit ruangan putih itu diramaikan oleh tiga ekor cicak yang sedang berkejaran. Kinan menatap binatang kecil itu sambil bersenandung lirih, lagu Bunda. Kinan tak kunjung bisa memejamkan mata, kakinya bergerak-gerak mengikuti irama lagu yang dinyanyikannya. Cukup lama, hingga Kinan pun terlelap.

Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Writing Project #DanBernyanyilah yang diselenggarakan oleh Musikimia, Nulisbuku.com dan Storial.co

Sabtu, 14 November 2015

One Day Escape -Part 2

Masih di Madura. Setelah hampir dua jam berkeliling menyusuri bukit kapur Arosbaya, kami berenam memutuskan untuk melanjutkan ke destinasi selanjutnya yaitu Hutan dan Pantai Nepa yang kurang lebih 30 menit perjalanan.

Jalanan di Bangkalan yang lurus dengan pemandangan rumah penduduk yang terlihat sepi di siang hari. Oh iya sepanjang perjalanan lurus ini banyak masjid megah yang cantik dibangun di sini.

Untuk menuju ke Pantai dan Hutan Nepa kami melewati perkampungan rumah warga, sebelum memasuki wilayah pantai terdapat petunjuk bahwa setiap pengunjung harus ijin terlebih dahulu kepada Juru Kunci. Akhirnya kami menemui si juru Kunci yang semula aku membayangkan si juru kunci adalah seorang bapak-bapak tua dengan surban dan pakaian putih. Tapi ternyata setelah kami memasuki halaman rumah yang megah dan besar, kami hanya bertemu seorang perempuan muda (yang mungkin anak atau salah satu kerabatnya). Ibu muda itu mengambil sebuah buku dan memintaku untuk mengisi daftar kunjungan ke pantai serta tujuan mengunjungi tempat itu, tak lupa kita memberi uang sebagai sumbangan setelah mengisi daftar kunjungan itu.
Tidak ada tiket masuk, hanya parkir mobil sebesar Rp. 10.000,-

jalan menuju Pantai Nepa
Siang hari yang sangat terik, serasa matahari tepat berada di ubun-ubun. Panasnya minta ampun. Tapi kami masih tetap semangat untuk berjalan menuju pantai dan semakin penasaran dengan hutan nepa yang katanya terdapat banyak kera di dalamnya. So, kami ingin membuktikannya, bukan untuk mencari saudara masing-masing dari kami, hahaha tapi untuk membuktikan sebanyak apa sih kera nya :D
Gerbang memasuki Hutan Nepa

mengaktifkan radar mencari saudaranya.. hehe :)
Kami mulai berjalan menyusuri hutan namun belum juga nampak penampakan kera-kera kecil hingga hampir setengah perjalanan hanya ada satu-dua ekor kera yang sedang 'nongkrong' di atas dahan pepohonan. Barulah menjelang ujung hutan ini ada banyak sekali kera-kera yang sedang asyik duduk dan menikmati camilan mereka di sebuah pendopo.

ini dia Didit yang sedang ulang tahun, senang bgt kayaknya ketemu saudara. Hehe :D

Setelah masing-masing dari kami puas bertemu dan berkejaran dengan dengan kera-kera kecil disana, kami berenam cuss ke Pantai Nepa yang letaknya tepat di depan gerbang masuk ke hutan kera ini tadi.

Pantai Nepa

Didit selalu eksis dengan senjatanya : Tongsis :)

Pantai Nepa. Captured by Eva


Karena panas Madura yang sangaaat... emmmm -.- akhirnya setelah dirasa cukup menikmati pantai dan mengabadikan beberapa momen kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan kembali. Niat awal kami ingin langsung ke air terjun yang letaknya tidak jauh dari Pantai ini. Tapi ada pendapat dari salah satu bapak yg duduk duduk di sekitar pantai, katanya ada waduk yang bagus dan jaraknya sangat dekat. Berhubung bapak tersebut meyakinkan bahwa waduk tersebut memang bagus, akhirnya kami pergi ke waduk itu.

Apakah waduk itu memang benar-benar bagus seperti apa kata bapak tersebut? Let's find out in One day escape-Part 3 ;)

One Day Escape part 1 -> shespebe.blogspot.co.id/2015/11/one-day-escape-madura-part-i.html?m=1