Rabu, 17 Januari 2018

Jejak


photo by : Renna


Sebatang rokok yang terselip diantara telunjuk dan jari tengah itu masih utuh. Sama sekali belum tersentuh api. Gelang hitam berseling merah yang terbuat dari tali itu juga masih menemani pergelangan tangan yang kini mulai menghitam terbakar matahari. Sepatu converse buluk yang entah kini telah berubah warna antara kuning muda, abu, tidak jelas apa warnanya padahal sepatu itu dulu putih bersih. Sudah pasti sepatu itu telah menemani pemiliknya berjalan bertahun-tahun hingga rupa sepatu itu sungguh miris.

“Nih korek!” seseorang menyodorkan korek api  kepadanya.

“Terima kasih Mas, saya tidak sedang ingin merokok.” Jawabnya sopan.

“Terus? Ngapain daritadi rokok itu hanya kamu pegang, diputer-puter diantara jemari?”  tanya orang itu yang merupakan seorang penarik becak. Dia menyalakan api dari pemantiknya didekatkan pada sebatang rokok yang hendak dihisapnya.

“Nggak apa-apa Mas, iseng saja, hehe..” tawa yang garing. Memperhatikan tukang becak yang sebenarnya masih muda, paling hanya beberapa tahun di atasnya. Tapi garis wajah yang tegas sekilas membuat orang itu tampak lebih tua.

“Lagi ada masalah?” tanya orang itu lagi yang entah hanya iseng bertanya atau lama-lama merasa terganggu dengan tingkah pemuda disampingnya yang sedari tadi hanya memutar-mutar sebatang rokok di tangannya.

“Aku Joni, tukang becak di sini.. terminal ini sepi bus sudah jarang mampir paling sehari hanya ada satu bus, beberapa penumpang angkot yang biasanya nunggu juga semakin jarang lewat di sini.” Dia menyesap lagi rokoknya. Lalu mematikannya, merasa tidak enak berbicara dengan orang yang baru ditemuinya dengan berhiaskan kepulan asap rokok. “Panggil aja aku Bang Joni” lanjutnya.

Pemuda disampingnya tersenyum, tercetak dua lesung di pipinya. “Saya Jejak.” 

Joni menunggu lanjutan dari kata-kata Jejak. Namun hanya itu yang keluar dari mulutnya.

“Jejak? Kamu nunggu siapa di sini?” tanya Joni.

“Kenapa Abang di sini? Bukannya tadi Abang bilang kalau di sini sepi?” Jejak bali bertanya.

Joni tertawa, lalu beranjak ke toko penjual minuman yang berada di sebelah tempat mereka duduk. Tak berapa lama Joni kembali membawa dua buah botol minuman jeruk dingin. Mengulurkan satu untuk Jejak. Awalnya Jejak heran, memangnya raut mukanya terkesan sangat kehausan dan tidak sanggup membeli minuman? Oh, separah itukah wajahnya siang ini?

“Aku tahu kamu punya banyak uang, aku membelikan ini bukan karena mengasihanimu, tapi aku anggap kamu adalah tamu di sini.” Seolah Joni paham yang sedang dalam pikiran Jejak.

“Eh, iya, Makasih Bang.” Jejak membuka botol dan meneguk sedikit isinya. 

“Ah... segarnya.” Joni hampir menghabiskan satu botol dalam sekali tegukan. “Kamu tadi bertanya kenapa aku masih tetap menunggu penumpang di sini walaupun terminal ini sudah sepi?” Joni menoleh ke arah  Jejak.

Jejak mengangguk.

“Aku memang sedang tidak menunggu penumpang di sini, tapi aku sedang menunggu istriku. Dia pergi merantau tiga tahun lalu. Dia berkata akan pulang dua bulan sekali setiap hari pasar rame, kamu tahu, di daerah sini setiap dua bulan sekali akan ada pasar rame, pasar dimana penjual dan pengunjung berasal dari beberapa daerah dan berkumpul di balai desa. Ramai sekali. Istriku memintaku untuk menunggunya di tempat keberangkatannya dulu, yaitu di terminal ini...”

Jejak seksama mendengarkan cerita Joni.

“.....dia melakukannya di tahun pertama, mulai jarang di tahun kedua, dan hingga tahun ketiga ini dia tidak pernah datang.” Lanjutnya.

Jejak hanya menatap laki-laki disampingnya, bingung harus mengatakan apa.

“Jadi, karena aku telah berjanji kepadanya untuk selalu menjemputnya,  maka di sinilah aku sekarang, menunggunya dengan becak kesayanganku.”

“Tapi Bang, bagaimana kalau istri Abang tidak pernah datang?” tanya Jejak, yang langsung dibalas dengan tatapan dari Joni.

“Eh, maksud saya bukan seperti itu Bang.....” buru-buru Jejak meralat pertanyaannya.
Joni menepuk ringan bahu Jejak, seolah mereka adalah dua sahabat yang sudah lama akrab. “Ya, aku tahu maksud pertanyaanmu. Jangankan kamu yang baru bertemu denganku, di sini setiap hari, semua orang yang ada di terminal ini selalu menanyaiku bahkan mereka menganggapku laki-laki bodoh yang mau saja menunggu istrinya yang sampai saat ini satu suratpun tidak pernah kudapat.”

“Lalu....?”

“Lalu?” Joni mengulangi pertanyaan Jejak. “Lalu seperti yang kamu temui siang ini, aku masih di sini menunggunya. Karena aku telah berjanji, aku tidak bisa mengingkarinya.”
Jejak tiba-tiba teringat dia pernah berjanji pada seseorang.

“Jejak, kamu tahu hidup ini memang penuh dengan ketidakpastian, hanya sebuah kematianlah hal yang pasti. Tapi kamu akan menemukan suatu kepastian jika kamu menepati setiap perkataan yang telah kamu ucapkan.”

Jejak pernah berjanji kepada seseorang untuk kembali.

“Aku telah berjanji pada istriku untuk menunggunya, maka sebisa mungkin aku menepatinya hingga aku mendapat suatu kepastian, meskipun kepastian itu adalah untuk selalu menunggu. Aku tidak bisa menyalahkan istriku yang telah melupakan janjinya hingga membuat kepulangannya seolah-olah tidak pasti untukku, karena hal itu biarlah menjadi urusannya yang terpenting aku akan tetap di sini untuk menunggunya.” Joni menyilangkan kakinya

“Kamu tahu, jangan pernah mengubah dirimu hanya untuk dicintai oleh orang lain, cukup perbaiki apa yang ada di dalam diri kamu sehingga jika suatu saat nanti orang yang pergi darimu itu kembali, kamu masih menjadi orang yang sama dimatanya.” Joni mengedarkan pandangan. “Karena tidak selamanya menunggu itu membosankan, kadang terselip pula satu titik kebahagiaan yaitu KEMBALI. Dimana kembalinya kita sangat dinanti-nantikan oleh semua orang yang menunggu kita.” Lanjutnya.

Mata Joni tampak berbinar, dari kejauhan tampak seorang perempuan turun dari sebuah bus antar kota kemudian berjalan menuju ke arahnya. 

Jejak turut beranjak, menyambut kehadiran istri Joni. Setelah berbasa basi singkat Jejak melangkahkan kembali kakainya, menuju ke rumah yang telah dua tahun ini hanya ada dalam angan-angannya saja, seseorang yang mungkin masih tetap sama menunggunya untuk pulang seperti apa yang dilakukan Bang Joni terhadap istrinya.
***
Rumah penuh tanaman itu masih sama seperti dua tahun lalu, rindang dengan mawar yang tetap cantik.

Senin, 08 Januari 2018

Sore dan Aroma Kopi

photo by : Richard Nando

Sore ini, di sebuah kedai kopi. Aku duduk di kursi yang berhadapan langsung dengan sinar matahari menerobos masuk melalui jendela-jendela di atas pintu. Aku suka duduk menatap sinar yang jatuh berwarna jingga ini.

Secangkir kopi kupesan, bukan untukku karena aku tidak begitu suka dengan kopi. Aku hanya akan meminumnya jika benar-benar membutuhkannya untuk  sekadar membantuku menunda rasa kantuk yang datang, sewaktu lembur mengerjakan laporan misalnya. Aku lebih menyukai aromanya, ya tidak dipungkiri aroma kopi sangatlah menggoda, bahkan lebih membuat candu daripada secangkir kopi itu sendiri. Dan sore ini aroma kopi yang dihidangkan di mejaku sangat pas dinikmati sambil menunggumu datang.

Aku menatap sekeliling, dimana belum banyak pengunjung sore ini ke kedai. Baru tiga meja yang sudah diduduki oleh pelanggan, ehm... empat dengan mejaku. Kuperhatikan bunga di mejaku yang tampak sedikit kering, tampak dari ujung daunnya yang mulai berwarna kekuningan. Oh, mungkin mereka lupa mengganti segenggam bunga ini. Atau, mereka memang sengaja membiarkan bunga kering itu sebagai seni. Tapi tidak masalah buatku, aku justru menyukainya. Seolah aku berada di tempat yang sudah memasuki musim gugur.

Kulirik jam dinding bergambar dedaunan. Klasik. Jarumnya menunjuk angka 4 lewat 29 menit. Kamu terlambat datang. Aku yakin itu. Tapi ternyata aku salah, kamu tepat berdiri di pintu masuk saat jarum panjang tepat di angka enam.

Aku melihatmu berjalan ke arahku. 

"Terima kasih telah menungguku, jangan beranjak. Tetaplah duduk bersamaku, aku akan berbagi cerita tentang rasa ini bersamamu" Katamu sambil menyesap kopi yang mungkin aromanya sudah tidak harum lagi.

***
*Cerita fiksi ini terinspirasi dari sebuah foto di atas.