Kamis, 22 November 2012

Tidurlah Sayang


Tidurlah sayang.
Ibu akan selalu di sini mendampingimu.
Jangan takut sayang.
Ibu tidak akan pernah beranjak untuk meninggalkanmu.

Aku memeluk erat bayi mungilku yang baru lima bulan yang lalu aku lahirkan. Bayiku tidak meminta untuk dipeluk, hanya saja aku ingin memberikan pelukan hangatku kepadanya, agar dia bias tidur nyenyak mala mini.

Dalam remang cahaya lampu, aku memandangi wajahnya yang cantik. Hidung dan matanya adalah milik Mas Dhani, suamiku. Sementara bibir dan pipinya yang tembem persis punyaku. Aku mengelus pipinya, memandanginya sekali lagi, bayiku tetap diam tidak menangis. Kupegang dahinya, ah sepertinya suhu tubuhnya panas. Jangan-jangan bayiku sakit. Kuperhatikan lagi wajahnya, benar dia sedikit pucat. Aku kembali merengkuhnya, aku tidak tahu harus minta tolong kepada siapa karena Mas Dhani belum juga datang kemari.
Bayiku tidak menagis sedikitpun. Ah, dia anak yang pintar tidak mau menyusahkan ibunya. 
Entah mengapa Mas Dhani yang biasanya datang kemari ketika hari beranjak gelap kali ini tidak kunjung datang untuk menjemputku. Dia mengatakan setiap hari bahwa akan membawaku pulang, tapi sampai saat ini selalu saja ada alas an untuk kembali membuatku tidur di tempat asing ini.

Ruangan ini tidak begitu luas, etahlah aku juga tidak dapat mengira-ngira hanya saja ruangan ini lebih mirip dengan ruangan di salah satu rumah sakit. Hanya ada aku seorang, meskipun terkadang ada beberapa perempuan yang tidak aku kenal menyambangiku dan menanyakan keadaanku, seperti malam ini aku rasa ada seorang perempuan yang sedari tadi melihatku. Peduli sekali mereka, pikirku. Tapi aku tidak peduli, meski hanya sendirian yang terpenting aku bisa bersama dengan bayiku, itu sudah cukup.
***
Esok harinya…
Aku tidak tahu kapan datangnya tiba-tiba Mas  Dhani sudah berdiri di sebelah ranjangku. Aku bangun seketika dan menyapanya. Dia tersenyum seperti biasa, sangat tampan.

“Maaf, kemarin aku tidak bisa datang kemari, ada rapat di kantor.” Katanya membuka pagiku.

Aku hanya tersenyum. Lalu aku lihat Mas Dhani sedang menatapu lekat-lekat. Anehnya dengan 
tatapan iba. Lalu dia memeluk dan mencium keningku. Setelah itu dia menoleh ke belakang pada seorang peempuan cantik berbaju putih, sepertinya aku pernah melihat perempuan itu di sini, tapi entah kapan.

Mas Dhani berjalan mendekati perempuan itu.

“Maafkan saya Pak Dhani, saya turut berduka cita atas apa yang menimpa istri Anda.”

“Justru saya yang harus minta maaf pada Bu Dokter karena selama hamper tiga minggu ini harus meluangkan waktu ekstra untuk menjaga istri saya.”

“Tidak masalah, Pak. Saya tahu ujian yang sedang dijalani istri Anda tidaklah mudah, meski saya belum pernah mengalaminya, tapi sebagai perempuan saya paham bagaimana terguncangnya persaan istri Anda ketika harus menerima kenyataan bahwa bayi yang baru lima bulan dilahirkannya meninggal dunia, apalagi setahu saya Anda telah menunggu selama hamper tujuh tahun untuk bisa memiliki keturunan. Jagalah istri Anda sebaik mungkin, saya yakin perlahan-lahan istri Anda akan sembuh.”

“Terima kasih, Dok.”

Aku mencoba menebak-nebak apa gerangan yang sedang dibicarakan suamiku dengan perempuan cantik itu, tapi tidak satu kata pun yang berhasil kudengar. Mas Dhani kembali menghampiriku. Dia mengambil bayiku secara perlahan, mungkin Mas Dhani kangen.

“Perempuan itu ingin mengajak bayi kita berjalan-jalan. Udara pagi di luar sangat segar. Kamu tidak perlu khawatir dia orang yang baik. Boleh kan?”

Aku tersenyum mengangguk.

Mas Dhani menggendong bayi kami, dia tampak senang sekali lalu diberikannya kepada perempuan itu. Perempuan cantik itu lantas menoleh kepadaku, tersenyum.

“Dok, maaf saya boleh minta tolong?”

Seakan-akan dokter cantik itu paham apa yang diminta Dhani.

“Saya akan mengganti guling yang sudah kotor ini dengan yang baru.”

Sabtu, 03 November 2012

Cinta untuk Kasih -#FF2in1 Adera-Terlambat-


Pagi ini jam sudah menunjukkan angka delapan, itu berarti seharusnya aku sudah berada di kelas untuk kuliah jam pertama. Tapi kenyataannya, saat ini aku masih terpaku di depan cermin. Aku memandang wajahku sendiri sambil terus menarik nafas panjang-panjang. Jantung ini rasanya tak mau barang sedikit saja menurunkan kecepatannya.

“Kasih, aku mencintaimu, hmm.. sebenarnya sudah sejak pertama kali kita bertemu dulu….” Aku kembali mengacak-acak rambutku.

“Aahh!! Kok jadi puitis begini sih! Hmm, gimana ya caranya biar cara mengungkapkannya tidak terlalu mellow.” Kali ini aku mengusap wajahku. Akhirnya aku putuskan biar saja nanti mengalir apa adanya yang penting hari ini aku harus nembak Kasih. Apapun yang terjadi, aku akan berusaha sekuat tenaga untuk mengungkapkannya.

Segera kuambil tas dan kunci motorku. Kukenakan jaket dan helm, lalu kupacu motor kesayangan ini dengan kecepatan sedang sembari komat-kamit sendiri seolah-olah Kasih, gadis yang sangat aku cintai telah duduk manis dibelakang sambil memeluk mesra pinggang ini. Ah seandainya.
***
“Ja, Jadi semalam Robby dan kamu sudah…”

Kasih mengangguk ragu, sepertinya dia tidak nyaman memberitahuku dengan cara seperti ini.

“Maaf Jarot, bukan aku tidak menyukaimu hanya saja Robby..”

Seketika itu juga sebuah panah tepat menusuk jantungku. Bahkan bongkahan es juga ikut luruh dan jatuh tepat di kepalaku. Bayang-bayang Kasih yang duduk manis di boncengan motorku seraya memeluk erat pinggangku lantas sirna. 

“Jarot, kamu tidak apa-apa? Ma, maafkan aku ya? Sungguh sebenarnya aku tahu tentang perasaanmu padaku, tentang semua perhatian yang kamu curahkan kepadaku selama ini. Hanya saja..” dia menunduk. 

“Hanya saja aku tidak menyangka kamu akan mengatakannya saat ini, sudah lama aku menanti kata-kata ini darimu, Jarot. Karena sebelum Robby menyatakan cintanya semalam, aku masih menyimpan rasa cinta itu untukmu.” Lanjutnya, aku tidak begitu mendengarkan bukan karena aku marah padanya tapi entahlah rasanya seluruh saraf dan inderaku tidak berfungsi dengan baik saat itu. 

“Maafkan aku Kasih.” Hanya itu yang dapat kuucapkan, aku berbalik dan berjalan gontai meninggalkannya. Air mata ini menetes tanpa  kutahan.