Selasa, 09 Oktober 2012

Tangan Jono tidak Panjang Lagi


Hari Senin ini adalah hari pertama Jono masuk kembali ke sekolah setelah liburan kenaikan kelas. Jono sengaja berangkat lebih pagi karena ada upacara bendera yang wajib diikuti oleh semua siswa-siswi di SMP Perdamaian. Jono tidak mau terlambat seperti Senin sebelum-sebelumnya dimana Jono masih menjadi anak yang bandel dan suka membohongi kedua orang tuanya.
“Pak, Bu, Jono berangkat dulu ya? Assalamualaikum.” Pamit Jono seraya mencium kedua tangan orang tuanya.
“Waalaikumsalam. Hati-hati di jalan ya Nak, jangan lupa selalu bersikap baik dan sopan kepada Bu Guru dan teman-teman di sekolah.” Pesan Ibunya yang dijawab dengan anggukan kepala Jono.
Jono yang sekarang telah berbeda dengan Jono setahun sebelumnya. Dimana waktu masih duduk di kelas tujuh atau setara kelas satu SMP Jono suka berbohong kepada orang tuanya. Dia mengambil sebagian dari uang SPP dan buku yang diberikan untuk jajan dan main playstation bersama teman-temannya.
***
Pagi itu di rumah Jono…
“Pak, hari ini kata Bu Guru harus melunasi SPP sama uang buku.” Kata Jono, dia baru saja menyelesaikan kegiatan Masa Orientasi Siswa bagi siswa baru di SMP Perdamaian.
“Berapa totalnya, Le?” Tanya Bapak Jono.
Bapak Jono bekerja sebagai tukang tambal panci yang berkeliling dari kampung satu ke kampung yang lain. Tidak banyak penghasilan yang diperolehnya setiap hari, namun bapak selalu berusaha untuk menabung setiap hari guna keperluan sekolah Jono, seperti SPP dan uang buku ini.
“Tiga ratus ribu rupiah, Pak.” Jono menjawabnya enteng.
Bapak yang semula sedang menambal panci ibu menoleh seketika ke arah Jono. “Loh, lah kok mahal toh Le? Bukannya SPP kamu tiap bulan lima puluh ribu saja?” sebenarnya Bapak tidak pernah berat hati mengeluarkan uang demi biaya sekolah Jono, tapi kali ini biaya itu dirasa sangat besar dimana SPP Jono sebulan hanya lima puluh ribu rupiah saja.
“Kan tadi Jono sudah bilang Pak, itu uang SPP sama uang buku! Kata Bu Guru kalau besok tidak dibayar Jono tidak boleh mengikuti pelajaran selama satu minggu, Pak?!” Jelas Jono.
Bapak lantas masuk ke dalam kamar dan membuka celengannya. Ada uang Rp 350.000,- di dalam celengan bapak. Lalu diberikannya Rp 300.000,- kepada Jono, sementara Rp 50.000,- dimasukkan kembali ke dalam celengan bapak yaitu kaleng bekas biskuit.
“Ini tiga ratus ribu, hati-hati membawanya jangan samapi hilang ya?” Bapak memberikan uang itu kepada Jono.
“Baik Pak, terima kasih.” Ucap Jono. Hati kecilnya bersorak gembira. Bagaimana tidak sebenarnya uang buku hanya sebesar Rp 100.000,- saja jadi total yang seharusnya dibayar Rp 150.000,- tapi Jono malah minta uang dua kali lipat kepada bapak.
Pagi ini Jono bangun kesiangan, alhasil dia telat dan tidak mengikuti upacara bendera di sekolah. Dia mendapat hukuman dari gurunya, yaitu lari lima putaran mengelilingi lapangan sekolah. Hari Senin berikutnya, Jono malah sengaja datang telat dan kembali tidak mengikuti upacara bendera.
Sepulang sekolah Jono mampir ke rental playstation bersama kedua temannya, Radit dan Gilang. Mereka bertiga main playstation hingga menjelang adzan maghrib. Biaya sewa semua ditanggung oleh Jono dari sisa uang yang diberikan bapaknya.
Begitulah kegiatan Jono sepulang sekolah setiap harinya. Hal ini lama-lama membuat orang tuanya bingung karena Jono selalu pulang terlambat.
“Kamu dari mana saja Nak? Kok jam segini baru pulang, bukannya sekola bubarnya sudah sejak jam satu siang tadi?” Tanya Ibunya.
“Iya Bu, tapi Jono dihukum karena uang buku ternyata kurang!” Sahutnya.
 “Kamu bilang kemarin uang SPP dan buku hanya tiga ratus ribu?”
“Iya, tapi ternyata bukunya ditambah makanya uangnya kurang dua ratus ribu! Kalau lusa tidak dibayar, Jono tidak boleh mengikuti pelajaran selama satu bulan Pak!”
Bapak dan Ibu hanya mengelus dada. Kedua orang tua Jono hanyalah orang biasa yang tidak mengetahui apa benar atau tidak yang dikatakan oleh Jono, bagi mereka uang bisa dicari asal Jono bisa melanjutkan sekolah.
Karena uang tabungan yang tersisa tidak mencukupi, akhirnya bapak seharian harus berkeliling mencari pelanggan agar mendapatkan tambahan penghasilan. Hingga larut bapak belum juga pulang. Ibu dan Jono khawatir hingga pukul dua dinihari bapak belum juga tiba di rumah.
“Assalamualaikum, Bu Marni!! Bu!!” Ada seseorang yang mengetok pintu dengan tergesa-gesa.
Ibu yang masih terjaga menunggu bapak pulang membukakan pintu, yang ternyata Ahmad, tetangga mereka.
“Ada apa, Mad?”
“Anu Bu, Pak Guntur kecelakaan di jembatan sana. Katanya tadi ditabrak mobil, tapi mobilnya melarikan diri.” Suara Ahmad bergetar menyampaikan berita buruk itu.
“Astaghfirullah, sekarang dimana Pak Guntur Mad?”
Ahmad mengantarkan Jono dan ibunya ke rumah sakit tempat bapak dirawat. Bapak terluka ringan di kepala, namun kakinya patah sehingga kaki bapak harus di gips.
“Masya Allah Pak, kenapa Bapak jadi begini?” Ibu sudah meraung menangis dalam pelukan Bapak. Sementara Jono yang semula takut belum berani mendekat.
“Bapak tidak apa-apa, Bu. Mana Jono?” Bapak celingukan mencari Jono yang dari tadi masih berdiri di pojok ruangan. Dia menangis.
“Sini Le, ini Bapak sudah dapat uang dua ratus ribu. Besok segera kamu bayarkan ya? Biar kamu diijinkan mengikuti pelajaran lagi.” Bapak mengulurkan lembaran uang yang sudah lusuh kepada Jono.
Jono semakin terisak. Tidak menyangka akibat perbuatannya bapak harus mengalami semua ini. Dia tidak mau kehilangan bapak. Jono mendekat dan memeluk bapaknya.
“Maafkan Jono Pak, sebenarnya Jono berbohong kepada Bapak dan Ibu. Tidak ada kekurangan dalam pembayaran di sekolah Pak. Jono.. Jono menggunakan uang itu untuk main dan bersenang-senang dengan teman-teman. Maafkan Jono Pak?!” bapak sempat kaget dengan pengakuan Jono, namun bapak tahu Jono telah jujur dan mengakui kesalahannya.
“Jangan diulangi lagi ya Nak, lihat bapakmu. Bapak sudah bekerja keras memenuhi kebutuhan sekolahmu. Kamu janji pada Ibu tidak akan berbohong lagi.” Ibu memeluk anak semata wayangnya itu.
Air mata Jono mengalir semakin deras. “Iya, Bu. Jono janji tidak akan pernah lagi mengulangi perbuatan tercela itu lagi. Dan jono janji tangan Jono tidak akan panjang lagi dengan mencuri uang SPP dan buku.” Jono memeluk Ibu dan Bapaknya.
***
            Jono menepati janjinya dengan menjadi anak yang baik. Kenaikan kelas dua Jono meraih peringkat tiga. Dia telah mendapatkan pelajaran yang berharga setelah kecelakaan yang menimpa bapaknya. Dan kini Jono menjadi anak yang penurut dan sering membantu pekerjaan bapak di rumah. Jono juga suka mengajak teman-temannya untuk selalu jujur dan berbuat baik kepada siapa saja, terutama kepada orang tua.

Tidak ada komentar: