Sabtu, 27 Oktober 2012

Di Sudut Mata Ini


               Di sini, di ujung jalan yang biasa kita lewati berdua ini, aku berdiri di depanmu. Kau menatapku dengan tatapan tajammu.
           “Maaf, aku harus pergi. Aku tidak membawamu turut serta.” Kamu mengucapkannya dengan mantap, tanpa memerdulikan perasaanku.
                “Tapi…”
                “Arin, mereka orang tuaku, aku tidak bisa menolak perjodohan ini!”
                “Apa kamu masih mencintaiku?”
                Arman perlahan mengangguk. Perjodohan dengan gadis pilihan kedua orang tuanya. Sebenarnya dia pernah mengatakan hal ini sewaktu dia menolak mentah-mentah perjodohan itu. Tapi, sejak papanya mengancam akan ‘membuangnya’ ke luar negeri dia tidak bisa berbuat apa-apa, dalam hatinya lebih baik menerima perjodohan itu daripada harus hidup di negeri orang dan jauh dariku. Itulah alasannya dulu. Tapi seiring berjalannya waktu, aku tahu secara perlahan dia telah mencintai gadis itu melebihi cintanya kepadaku. Aku tidak bisa berbuat apa-apa, selain menangis.
                Aku mengenalnya bukan baru kali ini, sudah lima tahun kami menjalani hari-hari bersama, suka duka, bahkan ketika dia diusir dari rumahnya karena mabuk, aku pun masih menerimanya dengan lapang dada.
                Arman, dia balik badan dan berjalan menjauhiku. Di ujung jalan ini aku menatap punggungnya yang bergerak semaikn jauh hingga hilang di tikungan. Arman, di sudut mata ini mengalir sebuah tanda cintaku untukmu yang tidak bisa kubendung lagi.

Tidak ada komentar: