Sabtu, 28 November 2015

Nyanyian Ibunda



Detak jarum jam yang kini tengah menunjukkan angka 10 malam terdengar begitu nyaring, hanya detak jantung Kinan yang bias menandingi kecepatan detak jarum jam tersebut. Kinan tak banyak berucap, dia hanya bergumam untuk dirinya sendiri. Matanya tak juga kunjung untuk menutup untuk menghapuskan lelah hari ini yang telah dilalui Kinan.
Kinan memiringkan kepalanya sedikit ke kanan. Mungkin kepalanya capek karena sudah lama menatap langit-langit kamar bercat putih ini, toh juga cicak-cicak yang biasanya menjadi teman dikala terjaga seperti ini sudah tidak ada lagi disekitar lampu. Semilir terdenga rsebuah senandung dari bibirnya. Alunan lagu yang tidak jelas namun memiliki irama tersendiri bagi Kinan, karena kakinya yang tertutup selimut terlihat bergerak-gerak seolah mengikuti irama lagu yang sedang dinyayikannya.
Di malam yang sama ditempat yang berbeda, Bunda juga masih terjaga. Bunda miring kekiri menjadikan lengannya sebagai alas dikepala menjadi pengganti bantal. Bukan karena tidak ada bantal, tapi karena Bunda sudah terlalu capek beberapa bulan terakhir ini sering tidak bias tidur karena memikirkan Kinan, menggulingkan badan ke kanan ke kiri, hingga akhinya menemukan posisi yang pas untuk memulai memejamkan mata meskipun pada akhirny ausaha itu masih gagal.
Sayup-sayup terdengar senandung dari kamar Bunda, awalnya perlahan namun lama lama terdengar juga oleh Ayah yang sedang tidur diluar.
"Hmm..laguini" gumam Ayah.
Mata Ayah berkaca-kaca mendengar senandung yang sedang dilantunkan Bunda. Pikiran Ayah melayang pada kejadian beberapabulanlalu.
***
"Kinan, tolong sini bantu Bunda Nak!" Panggil Bunda yang sedang mencuci baju. Bunda meminta tolong Kinan yang sedang bermain kelereng dengan Banyu, adiknya.
"Iya Bun, sebentar" sahutnya sambil membersihkan kedua tangannya yang penuh kotoran tanah, mengusapkannya pada celana pendek coklatnya.
Kinan berjalan sedikit berlari menghampiri Bunda, tanpa mengucapkan kata Bunda meminta tolong Kinan untuk mematikan air kran karena ember cucian Bunda sudah penuh. Kinan dengan sigap memutar kran air.
“Sudah Bun?” tanyanya, sekaligus memastikan jika Bunda tidak memerlukan bantuannya lagi dia segera kembali bermain dengan Banyu.
Bunda mengangguk. Tersenyum. Lalu bernyayi, mengalunkan sebuah lagu yang sangat indah dan membuat siapapun yang mendengarnya pasti akan mengangguk-anggukkan kepala atau menggerakkan kaki mengikuti irama. Kinan berbalik, memandang Bunda yang sedang asyik mencuci sambil bersenandung.
Kinan berjongkok di depan Bunda. “Bunda itu lagu apa sih? Kok setiap hari Bunda nyanyi itu dan tiap kami mau tidur juga Bunda menyanyikan lagu yang sama”
“Ini lagu dari nenek kamu, lagu yang sarat akan makna. Nanti kalau kamu sudah besar kamu akan tahu makna sebenarnya. Bahwa hidup itu memang tidak selalu mudah, bahkan lebih banyak susahnya tapi itulah hidup yang memang dituntut sebuah perjuangan demi kebahagiaan yang dipanen setelah mengalami beratnya perjuangan itu.”
Kinan hanya mengerutkan kening tidak mengerti apa yan diucapkan Bundanya. Wajar saja, usianya baru enam tahun dan Banyu adiknya berusia empat tahun. Mereka masih terlalu kecil untuk memahami penjelasan bunda.
“Maksudnya, kalau Mas Kinan dan Dek Banyu sedang mengalami kesusahan, jatuh dari sepeda, atau terpeleset ketika sedang main bola jangan menangis, bukan, kalian boleh menagis tapi hanya secukupnya, lalu bernyayilah, nanti rasa sakit itu akan hilang” Ayah datang memberikan penjelasan yang sepertinya membuat Kinan cukup mengerti.
“Ooh.. begitu, baiklah nanti Kinan dan Dek Banyu akan bernyanyi seperti apa yang Bunda nyanyikan...” baru saja Kinan menyelesaikan kata-katanya tiba-tiba terdengan Banyu menangis sambil memegangi tangannya. Kinan berlari menghampiri adik tersayangnya. Ayah dan Bunda menatapnya dari kejauhan dan mengembangkan senyumnannya ketika melihat Kinan mulai mengajari Banyu nyanyian untuk menghilangkan rasa sakit karena gigitan semut merah.
Kinan dan Banyu memang anak-anak Bunda yang cerdas. Rumah menjadi ramai ketika mereka berdua sedang bermain bersama. Tak masalah rumah menjadi kotor, bagi Bunda itu tandanya mereka juga sambil belajar.
Kinan saat ini duduk di banku TK B, sedangkan Banyu masih diikutkan Bunda untuk belajar di kelompok bermain di balai RW tempat mereka tinggal. Setiap pagi Bunda sendiri yang mengantar dan menjemput mereka yang kata tetangga terlihat seperti anak kembar karena postur tubuh mereka hampir sama. Kurus. Jadilah Bunda selalu membelikan baju dan celana yang ukurannya sama, kadang juga dengan warna yang sama karena tak jarang mereka berdua bertengkar berebut pakaian jika pakaian yang dibelikan tidak senada.
Tiap malam tiba, Ayah dan Bunda secara bergantian membacakan dongeng untuk mereka, guna meningkatkan daya imajinasi mereka.
“Aku mau jadi buto ijo nya Yah!” kata Kinan ketika Ayah mendongengkan cerita buto ijo.
“Aku mau jadi kancil!” Sahut Banyu tak mau kalah.
“Iya, nanti si kancil akan aku makan. Hauum!!” Kinan menggoda dengan seolah-olah akan menerkam adiknya.
“Aku nanti lari, biar nggak dimakan.” Jawab Banyu,
“Nanti tetap Buto Ijo yang menang, kan buto itu raksasa yang besar! Iya kan Yah?” Kinan meminta pembelaan dari Ayah.
Kalau sudah begitu maka malam-malam di rumah sederhana mereka akan ramai kembali, berebut siapa yang paling kuat antara Buto dan kancil.
Sementara Bunda lebih banyak menyanyikan lagu yang sama ketika meninabobokan mereka berdua, karena dengan nyanyian dari suara Bunda yang halus menentramkan hati.
Tersenyumlah..
Bernyanyilah...
Tak usah kau bersedih, mari berkumpul
Aku akan datang saat kegelapan bersamamu
Karena rembulan datang tanpa cahaya
Hanya malam yang mampu menatapnya
Penggalan lirik lagu yang dinyanyikan bunda membuat mereka segera terlelap.
***
            Tidak terasa air mata Ayah jatuh di pipi mengingat betapa cerianya kedua putranya. Keduanya begitu ceria dan sehat. Semangat mereka tiap pagi ketika berangkat sekolah pun selalu diingat Ayah. Beberapa bulan lalu Ayah masih mengingat betapa bahagianya Kinan, yang pagi itu berpamitan sekolah dengan senyum dan tangan melambai dengan riang. Banyak bercerita ketika naik sepeda di perjalanan menuju ke sekolahtanpa Ayah tahu bahwa itu adalah salam untuk yang terakhir kalinya.
Dokter memvonis Kinan terkena tumor di batang otaknya. Bagaikan disambar petir di siang bolong, kabar tersebut merenggut keceriaan Kinan seketika. Dua bulan sudah Kinan hanya bisa tergolek lemah di ICU dengan segala peralatan medis yang menempel di tubuh kecilnya.
"Mas Kinan kemana Bu?" Tanya Banyu yang hanya tahu bahwa Kinan sedang sakit tanpa tahu bahwa kakaknya akan istirahat cukup lama di rumah sakit.
"Mas Kinan kan sedang sakit, sayang.." jelas Bunda.
"Kapan pulangnya? Adek nggak bisa main kelereng lagi sama Mas Kinan kalau Mas Kinan tidak pulang."Ucapan Banyu semakin membuat Bunda ternyuh.
"Mas Kinan akan segera pulang, makanya Adek berdoa ya biar Mas Kinan cepat sembuh."
Bunda memeluk Banyu, lirih terdengar nyanyian Bunda yang membuat Banyu semakin erat mendekapnya. Entahlah, jika dibilang kuat Bunda juga tidak begitu yakin menghadapi cobaan yang sedang terjadi pada Kinan. Jika boleh, lebih baik Bunda yang menggantikan posisi Kinan saat ini. Namun bunda tahu, seperti lirik lagunya Karena rembulan datang tanpa cahaya. Hanya malam yang mampu menatapnya. Bahwa kita tidak akan pernah bisa melihat indahnya padang bulan tanpa adanya gelap malam, kita tidakakan merasakan indahnya kehidupan yang diaturNya tanpa adanya cobaan dariNya pula.
Ruangan putih dengan bau khas obat-obatan menyengat ketika memasukinya. Di ranjang paling ujung, terlihat Kinan sedang berbaring di hari tepat dua bulan dia tergolek di sini, terlentang, karena Kinan masih belum sepenuhnya bisa menggerakkan kaki ataupun tangannya, hanya gerakan-gerakan kecil di jari jemarinya. Meskipun selama dua bulan ini Kinan hanya bisa berkomunikasi melalui mata dan suara lirihnya yang hampir tidak terdengar, tapi semangat Kinan sangat luar biasa. Setiap malam ketika berkunjung, Bunda selalu menyanyikan lagu sambil memeluk erat anak sulung tercintanya hingga Kinan benar-benar tertidur pulas.Nyanyian Bunda memberikan semangat tambahan kepada Kinan.
"Bunda akan selalu di sini dengan nyanyian Bunda untuk memberikan semangat kepadamu Nak, Kinan juga jangan bersedih yaa.. ingat kata Ayah, kalau jatuh atau sakit kita boleh menangis secukupnya, tapi ingat kamu harus tetap berdoa dan bernyanyi untuk bisa menghilangkan rasa sakut itu." Bunda mencium kening Kinan yang bersih.
Malam ini langit-langit ruangan putih itu diramaikan oleh tiga ekor cicak yang sedang berkejaran. Kinan menatap binatang kecil itu sambil bersenandung lirih, lagu Bunda. Kinan tak kunjung bisa memejamkan mata, kakinya bergerak-gerak mengikuti irama lagu yang dinyanyikannya. Cukup lama, hingga Kinan pun terlelap.

Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Writing Project #DanBernyanyilah yang diselenggarakan oleh Musikimia, Nulisbuku.com dan Storial.co

Tidak ada komentar: