Jumat, 17 Agustus 2012

Sang Merah Putih untuk Kakek



“MERDEKA ATAU MATI!!” Terdengar seruan dari para pahlawan Indonesia ketika memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Dari semua golongan, tanpa membeda-bedakan pangkat semua bersatu demi mewujudkan kemerdekaan. Tak hanya seruan tersebut yang terdengar, tapi juga bunyi senjata dan bunyi bom-bom dari tentara sekutu.

“DUARR!!” Bunyi tembakan kembali terdengar. Entah itu sudah bunyi yang ke berapa, dan sudah berapa banyak pahlawan kita yang  mati akibat tembakan-tembakan yang membabi buta, namun itu semua tak membuat rakyat Indonesia gentar, mereka tetap berjuang sampai titik darah penghabisan.
Semuanya terasa begitu kejam, serbuan tentara sekutu hampir meluluh lantakkan semangat para pejuang. Hingga pada akhirnya pada tanggal 17 Agustus 1945 Soekarno mengumandangkan Proklamasi kemerdekaan Indonesia.

“PROKLAMASI… KAMI BANGSA INDONESIA DENGAN INI MENYATAKAN KEMERDEKAAN INDONESIA…… ” Begitulah isi proklamasi yang dikumandangkan oleh Soekarno. Yang akhirnya di setiap tahun tanggal 17 Agustus diperingati sebagai Hari Kemerdekaan Indonesia.

***

“Kek, Kakek bangun sudah siang!” aku membangunkan kakekku yang tertidur pulas setelah mendengar siaran memperingati hari Kemerdekaan yang jatuh hari ini melalui radio butut yang sudah bertahun-tahun memberi hiburan keluargaku.

Kakek menggeliat, dia bangun, lalu menatapku.

“Tadi Kakek tidur sambil mendengarkan siaran kemerdekaan di radio. Sekarang sudah jam tujuh Kek, katanya Kakek ingin melihat upacara kemerdekaan di sekolah sebelah?” Kataku pada kakek.

Kakekku dulu adalah salah seorang pejuang Indonesia dalam memperebutkan Kemerdekaan, kakek juga salah seorang dari sebagian kecil pejuang yang masih hidup. Kakek sangat menanti-nanti datangnya hari kemerdekaan kali ini, maklum umurnya sudah lanjut, dan beliau takut kalau tidak akan dapat menjumpai lagi tahun depan. Pada kemerdekaan kali ini kakek ingin sekali melihat bendera merah putih menghiasi depan rumah kami, tapi apa daya walaupun hanya selembar benderapun kami tak punya. Tapi aku akan berusaha untuk mendapatkan bendera merah putih untuk kakek.

***
Tole, Kakek pergi dulu ke sekolah sebelah untuk melihat upacara ya? Kamu ndak ikut?” Tanya kakek sekaligus berpamitan.

“Iya kek, tapi Kakek berangkat saja dulu, soalnya Deni masih harus menyiapkan sarapan untuk Kakek, nanti Deni menyusul, kakek tidak makan dulu?” Ujarku.

“Tidak, sarapannya nanti saja, nanti upacaranya keburu dimulai.” Kata kakek.

Aku tinggal hanya bersama kakekku di rumah tua peninggalan kedua orang tuaku yang pergi entah kemana meninggalkanku sejak aku kecil. Aku tidak sekolah karena tidak ada biaya, dan untuk menunjang kehidupanku, aku menjadi pengamen di terminal bus kota sedangkan kakek kadang-kadang menjadi pengumpul barang bekas yang kemudian dijual untuk mendapatkan uang. Sempat aku berpikir kasihan juga kakek, di usianya yang sudah begitu tua dia masih terlihat kuat, dan aku merasa sedih karena sebagian orang menyebut kakek seorang pemulung ataupun pengemis, padahal mereka tidak tahu siapa kakek sebenarnya.

Kakek adalah seorang pejuang yang dulu pernah mempertaruhkan nyawa demi kemerdekaan Indonesia, ya meskipun nama kakek tidak terkenal seperti nama- nama pahlawan lainnya, tapi aku tetap menganggap kakekku adalah pahlawan sejati.

Aku cucu laki-laki satu-satunya dan aku berharap bisa menjadi yang terbaik buat kakek suatu saat nanti. Aku tidak menyalahkan kakek karena aku tidak disekolahkan, aku hanya menyesal kepada orang tuaku, kenapa mereka tega meninggalkanku sejak kecil, tapi untungnya ada kakek yang dengan sekuat tenaganya membesarkanku. Meskipun aku tidak sekolah aku tetap rajin mengikuti les pendidikan bagi anak yang tidak mampu di kampungku yang diadakan oleh sebuah lembaga untuk membantu anak yang tidak mampu. Sehingga aku bisa baca tulis, bahkan kata guru pengajarku yang rata-rata masih kuliah, aku adalah muridnya yang paling pintar, tak jarang aku mendapatkan nilai seratus di pelajaran matematika yang mereka ajarkan. Aku senang sekali karena aku mendapatkan hadiah sebuah buku sejarah, sejarah Indonesia tepatnya. Aku menceritakannya kepada kakek.

***
Aku berangkat menyusul kakek untuk melihat upacara bendera di sekolah sebelah. Sesampainya di sana aku takjub akan hikmatnya semua murid-murid dan guru-guru dalam mengikuti upacara bendera, hingga aku membayangkan seandainya aku ada di sana bersama murid lainnya, menggunakan seragam merah putih, tapi ah…sudahlah.

Tujuh belas Agustus tahun empat lima, itulah hari kemerdekaan kita… hari merdeka nusa dan bangsa, hari lahirnya bangsa Indonesia, Merdeka!” begitulah lagu kemerdekaan dengan hikmat dikumandangkan pada waktu pengibaran sang merah putih, aku yakin lagu ini pasti dinyanyikan di seluruh pelosok negeri dalam upacara kemerdekaan setiap tahunnya.

Dari kejauhan aku melihat wajah kakek yang berseri-seri sambil mengangkat tangan kanan yang hormat ketika sang merah putih dinaikkan. Aku tersenyum melihat kakek bahagia. Setiap tahun kakek diam-diam selalu mengikuti upacara bendera di luar sekolah ini, sampai-sampai pedagang jajanan sekolah heran melihatnya.

Sepulang dari melihat upacara bendera aku teringat akan keinginan kakek yaitu sebuah bendera merah putih. Akhirnya aku putuskan untuk mencari sebuah toko yang menjual bandera, tapi sebelumnya aku berpamitan kepada kakek yang sudah pulang duluan.

“Kek, aku mau pergi sebentar kek, aku mau membelikan kakek sebuah bendera.” Pamitku sesampainya di rumah.

“Uhuk, uhuk.” Terdengar suara kakek terbatuk-batuk.

“Kek, astaga Kakek kenapa? Kakek tidak apa-apa? Pasti itu karena Kakek terlalu lama berdiri waktu upacara tadi.” Kataku kaget katika melihat kakek terbatuk-batuk, ada sedikit darah keluar bersamaan dengan batuknya.

“Sudah, kamu berangkat saja mencari benderanya, kakek tidak apa-apa kok tadi cuma tersedak saja! Lagipula kakek senang karena tahun ini masih bisa mengikuti upacara bendera, kan belum tentu tahun depan kakek masih bisa menemui hari kemerdekaan ini.” Balas kakek. Aku tidak tahu apa yang dikatakan kakek itu benar atau salah, tapi yang jelas aku sangat mengkhawatirkan keadaan kakek.

“Kakek kok ngomong begitu? Baiklah kalau begitu, Deni berangkat dulu Kakek tunggu di rumah. Assalamu’alaikum!” pamitku.

“Wa’alaikumsalam.” balas kakek.

Dengan rasa khawatir terhadap keadaan kakek akhirnya aku berangkat, mudah-mudahan aku cepat mendapatkan uang, karena aku harus mengamen dulu di terminal sebelum membeli bendera itu, tapi ini kan hari libur pasti terminal lagi sepi.

***
Biar saja ku tak sehebat matahari, tapi slalu ku coba tuk menghangatkanmu, biar saja ku tak seharum bunga mawar, tapi slalu kucoba tuk mengharumkanmu, biar saja ku tak setegar batu karang,tapi slalu kucoba tuk melindungimu, merah putih teruslah kau berkibar, ku akan slalu menjagamu….” Itulah sepenggal lagu yang aku nyayikan di atas bus kota, sepenggal lagu dari grup band papan atas Indonesia. Dan semoga dengan lagu itu aku mendapatkan uang lebih untuk membelikan bendera kakekku tercinta.

Sekitar dua jam aku baru mengumpulkan uang yang aku perlukan, tapi aku merasakan hal yang aneh, tiba-tiba kaleng uang yang aku pegang jatuh sehingga uang receh yang aku kumpulkan jatuh berserakan. Jangan-jangan kakek, aku segera mengumpulkan uang itu kembali dan berlari untuk membeli bendera. Semoga itu hanya perasaanku saja.

Aku berlari sekuat tenaga untuk segera sampai di rumah, karena entah mengapa aku merasakan sesuatu yang buruk terjadi. Dengan nafas tersengal-sengal aku sampai di rumah, dan di rumahku banyak orang berkumpul, aku segera masuk ke dalam dan ini tidak mimpi. Aku melihat sekujur tubuh kaku kakek yang dibalut kain putih dan dikerubungi banyak orang.

“TIDAAAAKK!!!!!!” Jeritku sambil memeluk tubuh kurus kakek. “KAKEK JANGAN TINGGALKAN DENI KEK!! BANGUN KEK!!” Aku menjerit sambil menangis. Sementara para tetangga sedang mengerubungiku dan menguatkanku.

“Kek, kenapa kakek pergi begitu cepat, kenapa kakek tidak menunggu Deni kek, ini bendera yang kakek inginkan, Deni akan pasang ini semua di depan rumah kek!” Aku menangis sambil meletakkan beberapa bendera kecil di atas tubuh kakek.

“Sudahlah nak, ini memang takdir Tuhan, pasti kakek kamu akan berada di sisinya dengan damai, karena kakekmu adalah pahlawan untuk semua, untuk kamu, dan untuk kita, tadi sebelum kakek kamu menghembuskan nafas terakhir kakek kamu berpesan pada kita untuk tetap menjagamu, dengan menitipkan ini” kata salah satu tetanggaku sambil memberikan secarik kertas yang berisikan sejarah Indonesia beserta foto kakek bersama Presiden Soekarno.

Aku tidak menyangka kakek akan meninggalkanku di saat Indonesia sedang merdeka, di saat semua orang merasakan kebahagiaan atas ulang tahun Indonesia. Dan aku bersedih pada hari bahagia ini.

Aku meletakkan rangkaian bendera  di atas pemakaman kakek.

“Kek, ini adalah bendera untuk Kakek, aku harap kakek senang. Aku berjanji tidak akan mengecewakanmu kek, dan kakek adalah pahlawanku seumur hidup. Semoga kakek bahagia di sana.”

Akhirnya setelah ditinggal oleh kakek aku diangkat sebagai anak asuh oleh seorang yang baik hati, dan aku disekolahkan hingga lulus dan setelah lulus aku disekolahkan militer. Aku menjadi tentara.

***
“Kek, sekarang Deni sudah menjadi tentara Republik Indonesia. Aku berjanji aku akan berbuat seperti kakek dulu, yaitu membela tanah air. Ini semua buatmu Kek.” Kataku dalam hati waktu aku mengunjugi makam kakek yang sudah lama aku tinggalkan, karena aku harus menjalani pendidikan di luar kota. Dan sekarang setelah 10 tahun aku kembali dengan membawa anak dan istriku untuk mengunjungi makam kakekku tercinta.

“Semoga kakek bangga padaku.” Do’aku dalam hati.

*selesai*


1 komentar:

Irsyad Syamsuddin mengatakan...

Saya salut dengan cerita ini. tak sadar saya hampir meneteskan air mata mendengar cerita ini... mari tumbuhkan semangat nasionalisme..