Kamis, 02 Februari 2012

Cerpenku -Bulu Mata Ayah-

Bulu Mata Ayah

Pagi ini menunjukkan pukul 04.30 WIB, alarm jam bekerku berdering. Dengan mata yang masih mengantuk aku beranjak dari tempat tidurku yang hangat ini menuju kamar mandi, membersihkan tubuh sekaligus mengambil air wudhu. Segera aku menunaikan kewajibanku kepada Yang Maha Esa. Dalam do’aku kuselipkan permohonan yang tidak pernah alpa kupanjatkan dalam setiap sujudku kepada-Nya, yaitu kebahagiaan dunia akhirat bagiku dan ayahku, satu-satunya yang aku miliki di dunia ini, karena kata ayah ibu telah meninggalkan kami demi mencari kehidupan yang lebih baik dibandingkan hidup sederhana dengan anak dan suaminya ini. Setelah menunaikan kewajibanku pagi ini aku mempersiapkan sarapan pagi untukku dan ayah. Sebenarnya aku tidak perlu mempersiapkan sarapan sepagi ini, karena ayahku bukanlah seorang yang pergi ke kantor tepat pukul 7 pagi, dia hanya seorang pekerja serabutan pergi bekerja jika memang ada pekerjaan. Sementara aku walaupun aku harus pergi sekolah pagi ini, tapi aku sudah terbiasa jika memang keadaan di rumah ini mengharuskanku untuk tidak sarapan.

Usiaku baru menginjak 17 tahun awal bulan kesembilan ini, kelas 2 SMA. Kalau bicara soal memasak aku lumayan jago, hal ini bukan karena aku diajari masak oleh ibuku, tapi justru yang mengajariku masak adalah ayah. Ayahku memang jago sekali memasak. Dulu, sewaktu ibu masih bersama kami ayah yang selalu memasak sarapan dan makan malam untuk kami bertiga, senang sekali membayangkan kenangan makan malam bertiga bersama ayah dan ibu. Kalau boleh aku bilang, ayahku memang lebih luwes daripada ibu.

Pagi ini ayahku terlihat sedikit lesu, ada lingkar hitam di bawah matanya, kecapekan mungkin karena semalam aku tidak tahu dia pulang jam berapa, aku sudah tidur. Tapi tunggu, kenapa ada yang aneh di sekitar matanya. Aku diam-diam mengamatinya, sepertinya itu bukan lingkar hitam mata yang biasanya kurang tidur, tapi itu seperti bekas maskara yang luntur di kantung mata. Apa iya ayah memakai maskara atau make up lainnya? Lalu untuk apa ayah berdandan?.

Karena penasaran , malam berikutnya diam-diam aku memergoki ayah memoles wajah gantengnya dengan lihai. Mulai dari sapuan bedak, goresan alis, lipstik, dan yang paling membuatku kaget adalah ayah menggunakan bulu mata yang lentik, aku hana bisa mematung melihat ayah berdandan , aku tidak menyangka selama ini ayah berbohong padaku dengan mengatakan bahwa dia bekerja di bongkar muat pelabuhan, tapi nyatanya, malam ini dia memoles wajahnya hingga begitu cantik dengan bulu mata lentiknya.

“ Ayah?” aku mendekatinya dan berkata lirih.
Ayah melonjak kaget hingga botol maskaranya jatuh.
“ Jane…” katanya terbata. “Ayah.. ayah ..”
“ Apa maksud ini semua, Yah?”

Akhirnya Ayah menjelaskan semua nya, dia menjadi seorang penari di sebuah kafe, sebenarnya pekerjaan itu sudah dilakukannya sejak masih lajang, lantas sempat berhenti semenjak bertemu dan menikah dengan Ibu, namun ayah kembali melakukannya karena memang tidak ada yang bisa dilakukannya lagi selain menari, dan ternyata karena keluwesan dan gaya kemayu ayah itulah yang menjadi alasan ibu meninggalkan kami. Ayah masih tidak bisa mengubur kenangan masa lalunya.

Tidak ada komentar: