Rabu, 11 Januari 2017

Menjadi Tua

dok. pribadi

Angin sore semilir menerbangkan dedaunan kering di atas bukit ini. Aku telah berada di sini sejak dua jam lalu. Menunggu senja sambil melukis adalah kegemaranku yang tidak pernak berubah sampai saat ini.


"Bagaimana jika aku menjadi tua nanti? Apakah kamu masih akan tetap bersamaku?"
Suara itu menghentikan sapuan kuasku.

 "Bukannya memang seharusnya aku bersamamu sampai mati?" Ujarku. Bukan hanya karena janji yang pernah aku ucapkan saat menikahinya dulu, tapi ini memang janjiku sendiri kepadamu, perempuan yang aku sayangi lebih dari apapun.

Perempuan itu tersenyum padaku.

Aku bergeming. Kuarahkan lagi kuas dengan warna jingga ke kanvas di depanku.
 Kugambar senja yang indah disini. Karena kami berdua memang penikmat senja mulai dari jaman kami berpacaran dulu hingga saat ini.

"Kalau aku jadi jelek? Keriput? Gigiku  ompong semua, apa kamu masih tetap mencintaiku?"
Perempuan ini memang sangat cerewet.

Tidak ada yang lebih cerewet daripada dia. Rumah kecil kami adalah kerajaan kecil dengan dia sebagai ratunya. Ketiga anak kami adalah pangeran-pangeran yang tidak pernah sekalipun membantah apa yang dititahkan oleh yang mulia Ratu, apapun yang dilakukan Ratu adalah demi kebaikan kerajaan kecil kami dan semua di bawah pengawasanku yang hanya bisa geleng-geleng kepala saat melihat Ratu kami begitu antusiasnya menerapkan aturan ini-itu, karena di tangan Ratu inilah kerajaan kecil kami menjadi sebuah kerajaan yang bahagia.

"Iya" Jawabku tanpa mengalihkan pandangan dari kanvas.

"Hmm... kalau aku tidak bisa berjalan lagi? Apa kamu siap untuk menggendongku kemanapun aku ingin pergi?" Tanya dia lagi, kali ini tanpa menoleh ke arahku. Aku menoleh ke arahnya, kulihat  dia sedang asyik memainkan ilalang di tangannya.

"Kemanapun itu." Aku menyapukan warna coklat di beberapa bagian pada lukisanku. Lagi, tanpa menoleh ke arahnya.

Dia memegang tanganku, "kalau aku sudah pikun, tidak bisa lagi mengingat siapa kamu, apa kamu masih mengingatku?"

Kali ini kuhentikan sapuanku, kuletakkan kuas kecil yang sudah belepotan warna abu-abu itu kembali. Kuraih tangannya, kugenggam.


Kuamati wajahnya yang sudah penuh keriput. Dia tersenyum saat aku memegang pipinya. Senyumnya masih semanis dulu meski kini tanpa satu gigipun tertinggal di sana. Rambutnya yang berwarna abu-abu juga masih halus seperti pertama aku mengenalnya.

"Kamu siapa?" pertanyaan itu selalu menjadi penutup dari sederet pertanyaannya tadi. Dan serangkaian pertanyaan tadi entah sudah menjadi pertanyaan yang ke berapa kalinya sejak satu tahun terakhir ini.

"Aku teman hidupmu. Sudah jangan paksa untuk mengingat siapa aku, cukup aku saja yang tahu siapa kamu." Aku beranjak, menggendongnya, bersiap untuk menuruni bukit ini.  Pagi tadi ketika aku sedang membuatkan bubur untuk sarapan kami, dia berkata ingin melihat senja sore nanti di atas bukit ini.

"Kakek, sini biar Sore yang bantu bawa lukisannya!" Sore mengamati lukisan Kakeknya. Kanvas yang tadinya putih itu kini telah terlukis dengan sangat sempurna sepasang teman hidup berusia senja duduk bersama di bawah pohon rindang menikmati senja.

-----------------------------------------------

*cerita ini adalah pengembangan dari cerita di proyek ngeblog di instagram saya

Tidak ada komentar: