Sabtu, 14 April 2018

Cerita di antara Pagi, Siang, Sore, dan Malam


Siang, banyak cerita tersimpan yang kukira telah menghilang
ternyata, hanya tertutup bayang-bayang


Siang ini benar-benar panas, tidak hanya cuaca di luar tapi juga kepal beserta isinya. Aku pusing memikirkan ceritaku yang hilang. Sebenarnya aku tidak yakin cerita yang telah aku tulis itu masih ada di laptop putihmu atau tidak, tapi aku yakin tentang satu hal, bahwa kamu pasti akan menghapus ceritaku. Di saat seperti ini bukan laptop atau kamu yang aku khawatirkan, tapi cerita yang telah aku tulis dengan mengorbankan tiga puluh malam dengan hanya tidur tidak kurang dari dua jam setiap harinya. Aku takut. Benar-benar takut jika cerita itu akan benar-benar hilang. Kamu tahu pasti betapa aku membanggakan cerita itu kepadamu.


Aku mengubek kotak masuk email, barangkali kamu iseng telah mengirimkannya padaku tanpa memberitahuku terlebih dahulu. Nihil, tidak ada pesan masuk darimu barang satupun. Mungkin semua akan lebih mudah jika aku masih bisa menghubungimu, menanyakan apa kamu masih menyimpan laptop putihmu.. ah bukan, lebih tepatnya apa kamu masih menyimpan ceritaku yang kutitipkan di salah satu folder datamu. Tapi, kamu telah memutus semua media komunikasi denganku sejak dua bulan terakhir ini.

Aku membutuhkan cerita itu, karena cerita itu belum selesai, masih menggantung. Aku harus segera membuat kalimat penutupnya agar cerita itu utuh hingga akhir, entah itu sad ending atau happy ending, aku belum memutuskannya. Sekarang aku tidak tahu harus berbuat apa. Tidak mungkin buatku untuk menulisnya ulang, karena aku tidak mau menulis lagi cerita yang sama sebanyak dua kali. Kalaupun aku menulis, tentunya aku akan menulis cerita dengan tokoh dan alur cerita yang berbeda.


“Bip” suara notifikasi email masuk. Aku membukanya, karena tidak kenal siapa pengirimnya, hanya subjek email yang langsung menarik perhatianku.


lanjutkan ceritamu, Sekar.


Ada namaku tertulis di sana. Tidak ada pesan apapun di badan email selain tulisan sebuah nama. Aksara, dan sebuah lampiran file ceritaku yang ada di laptop putihmu. Meskipun aku tidak ingat pasti, aku yakin dulu aku telah membuat lebih dari 150 halaman, tapi tidak lebih dari 200. Sementara file cerita yang terbuka di hadapanku ada 212 halaman. Ada 50 halaman dengan cara penulisan yang aku kenal. Tulisan Aksara.


Perlahan aku membaca lima puluh halaman, hingga aku terpaku di kalimat terakhir pada paragraf penutup.


Sekar, ceritamu selama ini tidak hilang, masih utuh seperti sedia kala. ceritamu masih tentang aku, maukan kamu melanjutkan cerita itu lagi denganku?


***

Senja, bukan akhir untuk berpisah,
hanya pertanda bahwa esok akan tiba,
dan kita kembali bercerita


Senja, bukan akhir untuk berpisah, hanya pertanda bahwa esok akan tiba, dan kita kembali bercerita. Kutipan itu kamu gunakan untuk membuka paragraf baru, seolah hendak melanjutkan ceritaku yang belum selesai. Aku kembali membuka email darimu dan membacanya ulang. Duduk di kursi kerjaku menghadap ke jendela barat sambil menikmati tenangnya cahaya jingga sore ini, ditemani dengan secangkir kopi.


Lima puluh halaman yang kamu tulis seolah membuka alur ceritaku kembali yang sebenarnya hendak aku selesaikan dengan satu paragraf pamungkas. Tapi, kamu menambahkan cerita lain, mengajak pembaca terbang kembali menikmati cerita manis seperti di awal ceritaku. Dan aku tidak suka. Aku hanya ingin menyelesaikannya.

“Bip” bunyi itu terdengar lagi. Kubuka kotak masuk emailku. Dari kamu, Aksara.


Sekar,
bagaimana dengan lanjutan ceritamu yang aku tulis? apa kamu menyukainya? aku tidak yakin kamu akan menyukainya.
maafkan aku, Sekar. aku tidak bermaksud lancang untuk melanjutkan cerita itu tanpa persetujuanmu, tapi aku ingin cerita itu berakhir indah, seperti seharusnya.


“Berakhir indah apanya. Aku yang berhak memutuskannya” Aku menggerutu. Enak saja. Lalu kulanjutkan lagi membaca paragraf keduanya.


aku ingin kembali bersamamu, Sekar, kembali untuk melanjutkan cerita hidupku bersamamu yang belum selesai. oke, kamu pasti berfikir aku ini egois, setelah apa yang aku lakukan kepadamu aku dengan entengnya memintamu kembali bersamaku. maaf, aku benar-benar menyesal. aku berharap kamu bisa memaafkan aku.


Sebegitu pengecutnya kamu hingga kamu hanya berani mengirim email tanpa berusaha bertemu denganku dan menyampaikannya langsung. Aksara, kamu masih saja seperti dulu, egois.


sampai saat ini aku tidak berani bertemu langsung denganmu Sekar, bukan karena aku tidak ingin, tapi karena aku takut. aku memang pengecut. aku tidak berani menatapmu secara langsung setelah apa yang aku lakukan. karena itu melalui surat ini aku ingin meminta ijin kepadamu terlebih dulu, jika memang kamu berkenan, minggu depan ketika aku sampai di indonesia aku akan langsung menemuimu.


aku menulis surat ini di kala senja dengan semburat jingganya yang indah. Aku harap kamu pun akan membacanya di saat senja. Aku menunggu kabar baik darimu esok hari, saat hari baru dimulai.


Aku memandang matahari yang perlahan mulai menghilang.


***

Malam, ketika rindu masih tersimpan
di satu tempat yang nyaman
tanpa pernah terungkapkan


Dua bulan lalu…


Malam ini adalah malam yang di bulan yang kedelapan saat kamu pergi tanpa berpamitan langsung, hanya melalui pesan singkat kamu mengabarkan bahwa kamu telah memiliki cinta yang lain. Hatiku sakit sekali kala itu, tapi tidak sesakit malam ini yang aku tidak tahu kenapa bayangan tentang kamu masih saja muncul membawa rindu kepadamu, rindu yang hanya bisa aku simpan sendiri tanpa bisa kubagi dengan yang lain, apalagi denganmu.


Benar kata Dilan bahwa rindu itu berat, dan aku hampir saja tidak kuat. Akhirnya aku meletakkan rindu itu di satu tempat yang nyaman, ya hanya aku simpan saja tanpa pernah aku sapa lagi, agar beban rindu itu berkurang. Dan cara yang aku gunakan ini cukup berhasil. Rindu itu pun tidak tumbuh, tidak pula berkembang, rindu menetap dengan manis di salah satu ruang kosong. Biarlah dia di sana, tidak akan pernah lagi aku buka, kecuali kamu memintanya langsung untuk mengambilnya.
Malam ini…


Aku tidak tahu bahwa tempat nyaman itu tidak akan terbuka kecuali ada yang mengetuknya. Kamu melakukan itu di sore ini, saat aku menerima suratmu lagi setelah sekian lama. Rindu yang tidak terungkapkan itu sedikit bergerak, hanya sedikit karena ketukan darimu.

***


Pagi, ketika cerita mulai dicari
dan kembali untuk dibagi


Aku tidak pernah melewatkan dinginnya pagi. Selepas dua rakaat, aku duduk manis di atas atap rumah -dulunya hendak dibuat tempat menjemur cucian, tapi tidak jadi- di sana ada sebuah tempat kecil yang muat untuk satu kursi dan satu meja. Di situlah aku menikmati dinginnya pagiku.


Aku bangun pagi bukan karena ingin berlomba dengan ayam tetangga tentang siapa yang melek lebih dulu, si ayam jago atau aku. Ada beberapa alasan kenapa aku menyukai bangun di pagi buta. Pertama, aku ingin menjadi yang pertama mengucap syukur atas kehidupanku di hari yang baru. Kedua, banyak cerita yang ingin aku cari selama satu hari penuh dan aku tidak mau cerita itu kurang karena waktu sudah keburu malam dan aku harus kembali tidur, maka dari itu aku bertekad memulai semuanya jauh lebih awal.


Secangkir teh manis dengan kepulan asap dan baunya yang harum semakin menambah semangatku menanti pagi. Kupejamkan mata, membiarkan wajahku tersapu lembut oleh dinginnya udara. Kuhirup perlahan bau embun, aroma teh yang masih panas, serta bau tanah yang rupanya masih basah karena hujan semalam.


Matahari pagi mulai menyembul di balik perbukitan yang tampak jelas di tempat aku duduk pagi ini. Sinarnya mulai menyapa siapa saja yang menatapnya saat itu. Aku tersenyum, pagi ini benar-benar pagi yang berbeda.


Pagi ini rasanya satu tempat nyaman yang dulu ada sebongkah rindu kusimpan rapat-rapat di dalamnya kini menghilang. Lega. Aku telah membukanya, bukan untuk aku pupuk kembali agar tumbuh, tapi aku mengembalikannya.


Sesuai dengan apa yang diminta Aksara, aku telah membalas emailnya dini hari tadi. Aku menyetujui untuk melanjutkan kembali ceritaku, tapi tidak dengan ide ceritanya melainkan dari ide ku sendiri. Hanya butuh satu paragraf penutup bagiku untuk menyelesaikan cerita yang belum usai itu. Aku menerima permintaan maafnya. Ajakannya untuk kembali memulai cerita bersamaku aku artikan dengan keinginannya mengambil rindu yang telah aku simpan dengan baik-baik. Aku memberikannya dengan perasaan yang lapang.


Aksara, terima kasih atas semuanya, baik tawaranmu atau usulan ceritamu. betul sekali katamu bahwa cerita itu memang harus berakhir indah dan bahagia, namun kamu lupa satu hal bahwa standar kebahagiaan bagi setiap orang itu berbeda, pun denganku. Bagiku bahagia jika bisa mengakhiri cerita kita seperti ini.


Di pagi yang indah ini, mari sama-sama mulai mencari cerita kita masing-masing dan kembali membaginya dengan orang-orang tersayang kita. Kita mungkin akan melanjutkan cerita bersama-sama tapi di kertas dan jalan cerita yang berbeda. Nikmati pagi ini dengan bahagia, Aksara. Terima kasih.


Tidak ada rasa menyesal setelah membalas surat itu, karena memang demikianlah seharusnya tidak ada penyesalan. Kisah dalam hidup itu seperti saat kita sedang menjalani hari-hari, apa yang terjadi di pagi hari tidak selalu mempengaruhi yang terjadi nanti siang, sore, ataupun malam. Akan selalu banyak cerita berwarna di hari-hari yang kita jalani. Karena itu aku tidak pernah melewatkan pagi, akan selalu ada kesempatan berbeda di tiap pagi yang datang.

****

Tidak ada komentar: