“Namaku
Kembang, tinggal beberapa blok dari sini, kamu?”
Kembang sudah menyangka bahwa pemuda
ini baik hati.
“Aku Bhima, tetangga baru kamu. Eh ini apa? Ini bukannya kembang gula ya? Kamu
suka jajanan ini?” dia tersenyum.
Kembang mengangguk “Senang bertemu denganmu, iya aku suka sekali kembang gula, rasanya
manis, tapi kata Ibu sih nggak boleh banyak-banyak nanti batuk, hehe.”
Bhima tersenyum. Lesung pipit langsung tercetak jelas di pipi kanan
kirinya. “Kamu masih sekolah? Sekolah dimana? Kamu segede ini masih juga suka kembang gula?”
Biasanya
pertanyaan ‘Kenapa kamu segede ini masih
suka kembang gula?’ adalah pertanyaan yang paling dibenci oleh Kembang.
Karena setiap orang yang mengenalnya, termasuk teman-teman sekelasnya pasti
akan mengajukan pertanyaan yang sama. Tapi sebanyak apa pertanyaan itu pasti
akan Kembang jawab ‘Memangnya kenapa
kalau sudah segede ini masih suka kembang gula? Apa aku terlihat seperti anak
TK waktu sedang makan kembang gula?’. Tapi entah kenapa, pertanyaan Bhima
siang ini terasa sangat enak didengarkan, bahkan tidak ada sedikitpun niat Kembang
untuk menjawab pertanyaan Bhima dengan jawaban andalannya tersebut.
“Iya,
habis manis sih, siapa tahu semakin banyak aku makan kembang gula, aku semakin
manis, hehe” sedetik setelah menjawab pertanyaan Bhima, Kembang reflek menutup
mulutnya. ‘Astaga, kenapa aku kecentilan
banget sih? Aduuh, bisa ilfeel nanti si Bhima’ umpatnya dalam hati.
Bhima
tertawa, “Menurut aku makan kembang gula sebanyak apapun nggak bakalan bikin
kamu tambah manis!”
Apa? Kenapa Bhima bilang seperti itu sih? Tapi
sudahlah, mungkin Bhima tidak suka melihat perempuan yang kecentilan.’
Kembang
hanya tersenyum kecut.
Kembang tidak akan melupakan hari
ini, meskipun dia malu setengah
mati kepada Bhima. Kembang dan Bhima menghabiskan siang
bersama. Meskipun itu hanya makan bakso di warung dekat kompleks, tapi sangat
berharga bagi Kembang.
“Oh, jadi kamu baru lulus kuliah
dari Jogja? Jurusan apa?”
“Jurusan yang banyak diminati,
Akuntansi.”
Kembang menyeruput es teh nya.
“Hmm..aku juga pengin tuh nanti kuliah akuntansi.” ‘Hah, akuntansi? Mana ngerti aku yang begituan’ sungguh Kembang merasa aneh kenapa dia secentil
ini sih.
“Eh jangan, Akuntansi itu susah
kalau kamu nggak benar-benar minat. Lagipula bukannya sekarang kamu sekolah
jurusan IPA?”
Kembang nyengir, sebenarnaya dia
hanya asal nyeletuk saja waktu bilang mau kuliah di Akuntansi. Bagi Kembang, mungkin Bhima akan kagum melihat
siswa kelas XII IPA sepertinya yang mempunyai minat di bidang yang
berseberangan, tapi ternyata salah. Bhima malah tidak menyarankannya untuk
masuk akuntansi. Huft.
Dua kali Kembang menjawab
pertanyaan Bhima dengan sok kecentilan, sebenarnya Kembang sempat mikir juga
kenapa bisa dia seaneh itu berhadaan dengan Bhima. Mungkin karena sebelumnya
dia belum pernah merasakan sesuatu yang bergetar ketika berbicara dengan lawan
jenis, seperti getaran yang dia rasakan sewaktu ngobrol bersama Bhima. Namun,
dalam hati Kembang tetap sumringah,
menurutnya dua kali kecerobohannya itu mungkin membuat kesan tersendiri bagi
Bhima, pertemuan dengan Kembang yang tidak pernah dilupakan. Tapi, apa benar
Bhima akan mengingat pertemuan pertama mereka? Atau lagi-lagi itu hanya
perasaan Kembang saja?
Sekali lagi Kembang bahagia menghabiskan siang itu bersama Bhima. Walaupun panas
menyengat tapi hati Kembang tetap dingin berada disamping Bhima. Sepertinya Kembang
sedang merasakan cinta pertamanya.
"Bhima, usia kamu berapa tahun ini?"
Bhima tampak memikirkan sesuatu, "dua puluh tiga, kenapa?"
Suapan terakhir masuk ke mulut Kembang, dia tampak terburu-buru mengunyahnya, bukan sebenarnya buru-buru mengunyah untuk segera menjawab pertanyaan Bhima.
"Tahun ini menginjak delapan belas tahun, ah.. seharusnya aku memanggilmu Kakak, Mas, atau Abang ya?" Suapan terakhir ditutup dengan es teh yang telah berkurang separuhnya.
"Terserah kamu, panggil Bhima saja juga boleh kok."
Kembang menggeleng, "Aku panggil kamu Mas Bhima saja ya? soalnya dari kecil aku pengen punya Kakak laki-laki, eeh ternyata sebelum aku lahir sudah ada satu perempuan cerewet yang siap menjadi kakakku!"
"Iya, terserah, aku juga suka kamu panggila Mas Bhima. Kedengarannya lucu saja, hehe.. Oh iya, kapan-kapan aku boleh tidak main ke rumah kamu?"
Ulalaa..main ke rumah aku? secepat ini dia tertarik sama aku? Ah, peduli amat yang penting dia mau apel ke rumahku.
"Hmm.. boleh kok, dengan senang hati Mas Bhima" Ada suatu desiran aneh kala Kembang menyebut nama Mas Bhima.
"Okelah, kalau jadi besok malam aku ke rumahmu, kamu tidak ada acara kan?"
==bersambung==
Tidak ada komentar:
Posting Komentar