Selasa, 09 Oktober 2018

Cerita Pendaki Senja

gambar dok.pribadi (hanya untuk ilustrasi)


Akar tidak habis pikir mengapa ada orang yang senang berjalan jauh menghabiskan tenaga untuk mendaki ribuan meter di atas permukaan laut hanya untuk melihat matahari terbit. Menurut Akar itu tidak hanya akan menghabiskan tenaga tapi juga waktu, apalagi harus tidur di dalam tenda dengan cuaca yang dingin, ah.. itu semua tidak ada dalam daftar keinginan Akar sejak dulu. Sebodoh amat dengan pendapat teman-temannya bahwa dia tidak mencintai alam. Akar tetap mencintai alam dengan caranya sendiri.


***


Akar memiliki istri yang sangat cantik.  Lentera namanya. Rambutnya hitam, hidungnya mancung, pipinya yang berlesung semakin menambah ayu di wajah itu. Mereka berdua menggilai senja. Sejak menikah tidak pernah sekalipun mereka melewatkan senja. Hamparan oranye di langit barat selalu mejadi pertanda dimulainya hari-hari mereka. Bukan pagi. Ya, hari-hari Akar dan Lentera dimulai sejak sore datang, ketika keduanya telah selesai menyelesaikan pekerjaan masing-masing mereka akan pulang dengan bergandengan tangan, menyusuri jembatan dengan latar langit jingga. Memulai cerita tentang apa saja, tentang yang terjadi pada mereka di pekerjaan, tentang masa depan. Bercerita sambil menatap senja, bercengkrama hingga petang menyapa.

Bagi keduanya, hari-hari tidak dimulai di saat pagi, karena pagi mereka tidak seperti pagi bagi orang-orang pada umumnya. Mereka jarang bertemu di pagi hari, sibuk dengan persiapan ini-itu, tuntutan pekerjaan di pagi hari membuat mereka jarang menikmati obrolan hangat yang disajikan bersama sepiring nasi goreng untuk dinikmati bersama. Akar harus berangkat sebelum matahari terbit, sementara Lentera baru berangkat  ketika jam menunjukkan pukul delapan pagi. Untungnya jam pulang mereka bersamaan.


***


Mendaki gunung tidak pernah ada dalam wishlist Akar seumur hidup. Akar yakin itu. Jangankan menulisnya dalam wishlist, terbersit dalam pikiranpun tidak.


***
Hari Minggu ini Akar sengaja meluangkan waktunya untuk berlibur, bukan apa-apa hari ini adalah hari ulang tahun Lentera.

"Hiking tipis-tipis yuk! Sesekali lihat matahari terbit gitu lah.." ajak istrinya.
Raut wajah Akar mendadak berubah. 
"Kamu kan tahu aku tidak pernah suka naik gunung, ke pantai sajalah seperti biasa."
Maka pergilah mereka ke pantai di ujung selatan. Tempat pertama kali Akar melamar Lentera, dengan deburan ombak sebagai efek suara pendukung dan dengan lembayung senja sebagai latar lamaran Akar sore itu.

Kebahagiaan bagi mereka adalah bisa menikmati senja bersama hingga berusia senja.


***

Kalau tidak salah ingat, sejak awal menikah Akar sudah pernah menyampaikan pada Lentera bahwa dia tidak suka naik gunung. Akar lebih menyukai panasnya pantai daripada harus berlelah-lelah naik gunung. Tapi sekarang Akar tidak tahu kenapa bisa tersesat di sini. Di toko peralatan pendakian.

"Jadi, satu tas carrier 80 liter, satu sleeping bag, satu tenda, satu......"
"Hmm, begini deh Mas saya tidak pernah tahu barang-barang apa yang saya butuhkan untuk mendaki. Jadi, saya percayakan semua saja pada Mas barang-barang yang lengkap sesuai dengan keadaan yang saya ceritakan tadi" potong Akar ketika pramuniaga yang membantu Akar ingin mengonfirmasi barang-barang yang dibutuhkan Akar.

Pramuniaga yang berusia awal dua puluhan itu tersenyum, lalu menyiapkan semua peralatan yang dibutuhkan oleh Akar. Tidak sampai satu jam semua barang yang dibutuhkan sudah siap di meja.


"Bapak mau naik gunung mana?" Tanya Pramuniaga.

Akar bingung, dia sendiri juga sebenarnya tidak tahu akan naik ke gunung mana.

"Saya Agil Pak, kalau Bapak tidak keberatan minggu depan saya mau ke Semeru sama dua teman saya, barangkali Bapak mau bergabung dengan kami"

Wajah Akar berubah seketika. "Saya Akar, boleh saya bergabung? Apa nanti tidak menghambat jalan kalian?"

"Tidak Pak, sama sekali tidak. Kami juga sudah lama kok tidak muncak, jadi pelan-pelan saja" Agil dengan ramah kemudian melanjutkan obrolan dan mengatur semua perlengkapan. Beruntungnya Akar bertemu dengan Agil siang itu.


***

Pendakian dimulai sekitar pukul sepuluh pagi, berjalan setapak demi setapak nafas Akar mulai sedikit sesak. Akar tidak enak jika rombongan pemuda itu sedikit-sedikit harus berhenti karenanya.

"Bapak, kita istirahat dulu yuk!" Ajak Agil yang sejak tadi memperhatikannya tanpa sepengetahuan Akar. Agil tahu kalau sebenarnya Akar butuh lebih banyak istirahat.

"Lanjut sajalah" Akar kembali mengatur nafas pendeknya. "Lagian kan baru lima menit lalu kita berhenti"

"Sini Pak, duduk dulu, atur nafas dulu" kata salah seorang teman Agil.

"Sebenarnya ini bukan pendakian pertama kami Pak, mungkin sudah yang ke empat kalinya kami naik ke puncak Mahameru. Jadi tidak masalah kalaupun sampai di Ranukumbolo nanti sudah petang" Agil menyodorkan sesachet madu sebagai penambah stamina.

Keempat kalinya? Akar tidak habis pikir, belum setengah jalan begini saja tenaganya sudah habis terkuras, sementara anak-anak muda ini sudah keempat kalinya? Akar hanya bisa geleng-geleng.

"Kita jalan pelan-pelan saja Pak, jangan sungkan untuk bilang istirahat kalau memang sudah lelah." Satu lagi teman Agil memberikan semangat pada Akar.

Lima jam berjalan, sampai juga mereka di pos dua. Bagi Akar ini sudah pencapaian yang luar biasa. Kali ini istirahatnya cukup lama. Untung saja Agil dan teman-temannya sabar menemaninya.


***

"Kupikir-pikir selama ini kita tidak pernah menikmati pagi bersama.." ucapan Lentera menggantung.

"Tidak perlu dipikir, memang kita tidak pernah melihat matahari terbit bersama" Akar menyuapkan sesendok bubur pada Lentera.

"Kata orang-orang melihat matahari terbit yang paling indah adalah di puncak gunung. Saat kamu bersusah payah mendaki, ada kepuasan sendiri ketika kamu menyaksikan langsung terbitnya sang fajar." Lentera menyeruput sedikit teh hangatnya. "Tapi itu kata orang-orang sih. Aku sendiri juga tidak tahu, kan kamu tidak pernah mau kalau aku ajak naik gunung." 

Akar paham jika Lentera sedang menyindirnya. Diambilnya lagi sesendok bubur untuk Lentera.

"Kalau aku ingin lihat langsung matahari terbit di puncak gunung, kamu mau menemani tidak?" Lentera masih mencoba merayu Akar.

"Buat apa sih? Lihat di balkon rumah kan juga sama saja? Kenapa harus ribet naik gunung segala?"

Lentera sudah menduga, Akar pasti langsung menolaknya.

"Kan tadi aku sudah bilang, kata orang-orang yang pernah naik gunung, matahari terbit di sana itu indah sekali, tidak kalah dengan senja yang selalu kita lihat setiap hari itu" Lentera pura-pura menolah suapan Akar. "Ke Bromo aja yuk, kan nggak perlu naik tinggi-tinggi."

"Tidak mau!"

"Yaudah, aku nggak mau makan lagi!" Terpaksa Lentera memggunmeng jurus anak kecil ketika menginginkan sesuatu.


***

"Jadi, berapa pos lagi setelah ini?" Napas Akar sudah kembang kempis. Akar meneguk air mineralnya.

"Ini sudah pos tiga, kurang satu pos lagi kok Pak! Masih semangat kan? Hehehe " goda Agil.

Dalam perjalanannya bersama empat anak muda ini  berulang kali Akat dibuat terkesan oleh mereka. Pertama, mereka berempat sangat memperhatikannya apa yang sedang dibutuhkannya sebagai seorang pendaki pemula. Kedua, rasa toleransi tiap anggota sangat tinggi, ramahnya juga luar biasa, setiap perjalanan ketika berpapasan dengan pendaki lain pun mereka tak segan bertegur sapa, yang Akar tahu bahwa mereka belum pernah kenal sebelumnya. Lalu kali ini di pos tiga. Memang, mereka sudah berulang kali naik gunung ini, tentunya mereka mempunyai banyak teman yang sehobi, tapi di sini mereka bebas tertawa dan bercerita tentang apa saja, bahkan dengan bapak penjual di pos tiga ini. Akar hanya menikmati obrolan hangat mereka dari tempat duduk di bawah pohon sambil sesekali menatap langit yang mulai gelap setelah sesaat sebelumnya cahaya senja masih menembus dedaunan. Bukannya Akar tidak mau bergabung, hanya tenaganya benar-benar habis. Akar butuh tidur sejenak.


***

"Jadi kamu ke Bromo?" 
Lentera mengangguk. "Eh, tapi kata si Ranja matahari terbit yang paling cantik ada di Ranukumbolo, danau yang di Semeru itu"

Oh apa lagi ini? Pikir Akar. "Udah deh ke Bromo saja, tapi tunggu kamu sehat dulu yaa"

"Sekalian ke Semeru saja kenapa? Kan belum tentu kamu mau naik gunung lagi? Jadi mumpung kamu mau, yaudah sekalian. Ya.. ya... " Lentera memanjakan senyumnya yang sudah manis. "Anggap saja ini permintaan terakhirku, paling tidak sekali seumur hidup kita harus mencoba mendaki gunung. Oke. Deal!" Lentera memutuskan sendiri tanpa menunggu persetujuan Akar.


***

Akar terperanjat ketika melihat arlojinya. Sudah jam tujuh malam dan mereka masih di pos tiga. Dengan rasa tidak enak Akar meminta maaf.

"Seharusnya tadi saya dibangunkan saja, kalau gini kan jadi tidak enak." Akar sungguh merasa bersalah. Mereka juga pasti capek, eeh.. dirinya malah tidur dengan pulasnya.

Agil tersenyum, dan senyum itu adalah senyuman yang tulus. Tidak ada raut dongkol di wajah anak ganteng itu.

"Bapak tidurnya nyenyak dan capek juga pastinya. Jadi saya memutuskan untuk menemani Bapak di sini. Maaf kedua teman saya sudah naik duluan, biar mereka menyiapkan tenda dan makan malam. Jadi, pas sampai ranukumbolo nanti Bapak bisa langsung makan dan istirahat."

Akar semakin merasa bersalah. Dikumpulkannya lagi semangatnya dan untuk mengurangi rasa bersalahnya Akar berjanji dalam perjalanan nanti dia akan mengurangi istirahatnya.

Hampir pukul sepuluh malam, Akar dan Agil tiba di tenda. Akar terpesona dengan pemandangan di sana. Langit yang bertabur bintang, bulan yang sedang cantik, Akar yakin jika Lentera melihat pemandangan ini pastinya Lentera akan minta camping lebih lama lagi.

Setelah beberes, Akar makan malam bersama Agil dan ketiga temannya. Tak ketinggalan kopi panas tersaji semakin menambah kehangatan di luar tenda mereka. Satu hal lagi yang berhasil dicatat Akar dalam ingatan alasan bagi mereka yang gemar mendaki gunung, obrolan malam bersama teman-teman baru seperti ini benar-benar menghangatkan di tengah udara yang dingin. Dan Akar sangat menyetujui hal ini.


***

Lesung pipi itu masih cantik seperti dulu, meski sudah separuh dari barisan gigi-gigi rapi itu yang tersisa. Rambut itu masih halus meskipun kini telah berubah warna menjadi putih sepenuhnya.

"Maaf yaa, aku tidak bisa menemanimu dalam pendakian pertamamu. Tapi kamu sudah janji yaa akan melihat sendiri matahari terbit di gunung dan akan menceritakannya padaku saat kembali?" tangan yang tengah memegang erat tangan Akar itu masih sama halusnya ketika Akar memasangkan cincin di jari manis itu, meskipun kulit-kulit di tangan itu sudah lama mengendur.

Akar membalas genggaman Lentera. "Jangan khawatir, aku pasti akan memberikan sunrise tercantik untukmu. Tunggu aku yaa..."

Ini pertama kalinya Akar meninggalkan istrinya semenjak dirawat intensif di rumah sakit sebulan yang lalu karena kanker paru-paru yang dideritanya.

Alar tidak sampai hati melihat istrinya terbaring lemah, namun demi keinginan terakhir istrinya Akar bersedia melakukan pendakian pertamanya di usia senja.




***

"Cerita yang sangat luar biasa. Jadi ini pendakian pertama Bapak?" Agil tak kuasa menahan air mata yang menetes saat mendengarkan cerita Akar. Tentang dia dan istrinya.

"Ya, ini adalah pendakian pertama saya. Tahun ini usia saya menginjak 63 tahun. Tenaga saya sudah jauh berbeda dengan kalian." Akar tertawa. "Untung saja kalian tidak mundur dengan rekan mendaki kakek-kakek seperti saya."

"Bapak sudah berhasil mewujudkan impian istri Bapak." Agil menatap partner pendakiannya kali ini. Wajah itu masih terlihat tampan meskipun sudah keriput, rambut itu masih berbelah rapi walau sudah sepenuhnya memutih. "Lihat, itulah sunrise tercantik dari Ranukumbolo" lanjut Agil.

Lentera tidak berbohong, bukan, Ranja yang tidak lain adalah anaknya lah yang tidak berbohong. Dulu Ranja pernah mengajaknya naik gunung, tapi ditolak mentah-mentah oleh Akar. 

Matahari terbit di gunung seperti ini benar-benar indah. Akar akan menceritakan semuanya pada Lentera tanpa ada yang tertinggal satupun. 


****

Minggu, 23 September 2018

#OneDayTrip Kawah Ijen - Banyuwangi


Banyuwangi. Ya #onedaytrip saya kali ini adalah ke Banyuwangi. Kota di ujung timur Pulau Jawa. Jalan-jalan kali ini dilakukan tiga orang (saya dan dua saudara). Sebenarnya ini adalah acara dadakan yang tidak direncanakan sama sekali. Awalnya kepikiran ke Ijen karena ingin lihat blue fire yang hanya terdapat di dua tempat saja di dunia, nah salah satunya di Ijen ini. Apalagi belum masuk musim hujan, ya sudah berangkat saja, heuheu... 

Karena perjalanan kali ini dadakan, biar nggak ribet, kami menyewa jasa travel di Banyuwangi dengan tiga tujuan yaitu Kawah Ijen, Baluran, dan Djawatan. Meeting Point di stasiun Jember. Perjalanan ke Banyuwangi dimulai dari Jember.
 

warung di Pos Paltuding
Setengah satu dini hari kami sampai di pos Paltuding. Jangan tanya bagaimana hawa di sini. Kedua tangan saya sampai tidak lepas dari segelas kopi yang panas, sebenarnya saya membawa sarung tangan, tapi tidak tahu kenapa yang ketemu hanya satu yang satunya entah dimana, yaudah akhirnya tidak dipakai semua sajalah.. 😁

Pendakian baru dibuka jam 01.00 dinihari. Sambil menunggu, kami persiapan segala sesuatu yang bisa dibawa, seperti air minum secukupnya, masker (wajib) dan ke toilet tentunya.


Pukul 01.30 kami mulai pendakian ditemani dengan langit yang cerah, gemintang dan bulan terlihat sangat cantik (sayang tidak punya kamera yang bisa mengabadikanya) mengiringi pendakian kami. Langit sedang cerah-cerahnya.


Oh iya sebelum pendakian ke kawah Ijen ada baiknya kalian harus pemanasan dulu beberapa hari atau seminggu sebelumnya seperti jogging atau jalan-jalan (di mall) 😄😄 biar kaki terbiasa untuk berjalan jauh, jadi tidak gampang capek dan bisa bernafas secara teratur. Apakah saya melakukannya? ..hmm tentu tidak 😆 haha, bukannya tidak sama sekali sih, cuma yaa kalau pas hari Minggu atau pagi sesekali jogging.


Setelah hampir dua jam mendaki, sampai juga di Pondok Bunder ini, yang ditandai dengan adanya kantin. Kalau sudah melewati kantin ini medan pendakian sudah tidak terlalu menanjak.

Nafas sudah mulai 'engep' bolak balik tanya ke mas guide nya apakah sudah dekat? dia bilang, 'kurang dikit, tuh depan' seperti itu terus hingga entah pertanyaan ke berapa.. heuheu

Tiga jam pendakian akhirnya kamu pun sampai di bibir kawah. Masih pukul 4.30an belum bisa melihat sekeliling. Sebenarnya niat kami kesini memang ingin melihat blue fire, tapi karena ada beberapa hal, kami dialihkan untuk melihat sunrise


detik-detik matahari terbit



Dan inilah pesona sunrise cantik dari gunung Ijen. Pendakian ke sini, eh bukan, di setiap pendakian pasti melelahkan bahkan sampai habis tenaga, tapi percaya deh apa yang kamu perjuangkan itu tidak akan lagi terasa jika sudah melihat keindahan yang seperti ini di atas. Capek hilang (hanya tinggal dinginnya yang belum 😁) 



Inilah kawah Ijen yang biasanya hanya bisa dilihat lewat foto jalan-jalan di Instagram akhirnya bisa melihatnya langsung. Daebak! benar-benar keren 😍👍


Tapi, harus hati-hati angin kencang dan debu bisa membuat mata kelilipan. Kalian harus sedia masker dan kacamata (bila perlu) agar tidak kemasukan debu-debu yang berterbangan. Kecuali saat foto bisalah dilepas sebentar.. hehehe


Dilihat dari sudut manapun, kawah ini selalu terlihat bagus. Inilah Indonesia, dimanapun banyak terdapat tempat-tempat keren 😊


mereka menyebutnya ojek online 

Dalam setiap pendakian, melewati tanjakan memang berat dan capek luar biasa, tapi itu hanya di fisik saja, yang lebih berat adalah ketika turun, karena tidak hanya fisik tapi juga hati karena harus rela berpisah dengan kenangan dan keindahan apa yang ada di atas sana (ceileeeeh... 😎) buat yang hidup di kota pasti setuju, karena apa yang dinikmati di atas adalah keindahan dan ketenangan yang luar biasa, dibanding dengan hiruk pikuk di kota besar. 

Kembali ke cerita, pada waktu naik atau turun jangan kaget akan banyak ojek online yang menemani perjalanan, yang disebut ojek online itu adalah kendaraan yang disewakan kepada pengunjung yang sudah tidak kuat mendaki. Ada biaya yang harus dibayar kepada bapak-bapak yang kuat luar biasa tersebut. Bagaimana tidak kuat luar biasa, saya yang berjalan tanpa membawa barang-barang yang berat saja sudah capek, tapi bapak-bapak ini malah menarik penumpang melewati tanjakan yang seperti itu. Super deh bapak-bapak ini 👏😚



Selain pemandangan ojek online, wisatawan, dan kawah yang indah, pemandangan lain yang menarik perhatian adalah bapak-bapak penambang belerang ini. Hilir mudik membawa hasil tambang yang tidak ringan. Salut juga untuk pekerja tambang ini.





Baiklah, itu secuil cerita dari perjalanan ke Kawah Ijen yang sangat menakjubkan. Meskipun belum sempat lihat langsung blue fire, semoga bisa balik lagi dan melihatnya.. 😄

Tak bisa berhenti mengagumi keindahan Indonesia 😍😍


Thanks to : Banyuwangi Juara Trip, yang sudah menemani perjalanan sehari di Banyuwangi 🙏

Kamis, 21 Juni 2018

Berkunjung ke Monumen Kresek

Jembatan Kresek

Lebaran tahun ini, saya dan keluarga mudik ke Madiun, sebenarnya desanya di Caruban, cuma waktu beli tiket dapatnya yang tiket KA Sancaka, dimana kereta iniitidaj berhenti di stasiun kecil - Caruban - sehingga harus turun di stasiun Madiun.

Saya tidak akan cerita bagaimana suasana mudik lebaran bersama keluarga besar -dari ayah- karena seperti biasa momen mudik lebaran selalu berkesan 😊, yang akan saya ceritakan adalah hari terakhir di Madiun.

Jadi, meskipun tiap tahun mudiknya ke Caruban, saya belum pernah sekalipun menginjakkan kaki di Madiun. Baru tahun ini saya bisa tahu Madiun itu seperti apa (hmm.. ketahuan katroknya nih saya 😂). Di hari terakhir sebelum balik ke Surabaya sambil menunggu waktu karena tiket pulang baru jam sembilan malam, saya diajak oleh keluarga Caruban main ke Monumen Kresek, Madiun.

Jarak tempuh dari rumah (Caruban) ke Monumen sekitar satu setengah jam, itupun lewat jalan 'dalam' karena sebagian jalan utama Madiun waktu itu masih macet (mohon maaf waktu itu belum sempat tanya jalan 'dalam' yang saya maksudkan. Nanti apabila ada info akan saya update). Tapi setelah masuk ke jalan utama banyak petunjuk jalan menuju ke lokasi kok. Sepanjang perjalanan menuju lokasi akan disuguhkan pegunungan di sebelah kanan dan jalanan mulai sedikit menanjak. Jalanan perais saat kita hendak melakukan perjalanan ke Malang.

Perjalanan semakin indah saat melewati jembatan Kresek, sebagai penanda bahwa kita sudah sampai di daerah Kresek. Dengan latar gunung wilis dan suara air mengalir di bawah jembatan semakin membuat adem. Kami pun berhenti sejenak untuk mengabadikan momen sambil menikmati degan yang dijual di ujung jembatan.

pemandangan di Jembatan Kresek
Oke, perjalanan berlanjut ke Monumen Kresek.
Denah Monumen Kresek
Monumen ini dibangun untuk mengenang para korban kekejaman PKI di tahun 1948 silam. Terdapat beberapa spot yang dibangun untuk mengabadikan sebagian kepingan sejarah ini. 

17 nama korban tertulis di sini

Tampak depan

Pemandangan dari atas


Kekejaman PKI mengacungkan golok





Suasana sore
Selain tempat untuk menceritakan sejarah, monumen ini juga sebagai tempat rekreasi atau bersantai bersama keluarga. Tempatnya pun  ramah dengan anak-anak, karena terdapat taman bermain untuk anak. Meskipun monumen ini menceritakan tentang keganasan PKI tapi suasana yang ditampilkan tidak ada kesan menakutkan sama sekali, sehingga dapat membuat pelajar/anak-anak nyaman untuk belajar sambil bersantai di sini.

Semakin sore tempat ini semakin ramai didatangi pengunjung. Oh iya satu lagi, tempat sholat dan toilet di sini bersih.

Itulah sedikit cerita dari kunjungan saya dan keluarga di Monumen ini. Semoga bermanfaat 😉

Selamat lebaran dan berkumpul bersama keluarga besar 🙏😊


Note :
Tidak ada tiket masuk alias gratis.
Hanya ada pembayaran parkir kendaraan.

Sabtu, 14 April 2018

Cerita di antara Pagi, Siang, Sore, dan Malam


Siang, banyak cerita tersimpan yang kukira telah menghilang
ternyata, hanya tertutup bayang-bayang


Siang ini benar-benar panas, tidak hanya cuaca di luar tapi juga kepal beserta isinya. Aku pusing memikirkan ceritaku yang hilang. Sebenarnya aku tidak yakin cerita yang telah aku tulis itu masih ada di laptop putihmu atau tidak, tapi aku yakin tentang satu hal, bahwa kamu pasti akan menghapus ceritaku. Di saat seperti ini bukan laptop atau kamu yang aku khawatirkan, tapi cerita yang telah aku tulis dengan mengorbankan tiga puluh malam dengan hanya tidur tidak kurang dari dua jam setiap harinya. Aku takut. Benar-benar takut jika cerita itu akan benar-benar hilang. Kamu tahu pasti betapa aku membanggakan cerita itu kepadamu.


Aku mengubek kotak masuk email, barangkali kamu iseng telah mengirimkannya padaku tanpa memberitahuku terlebih dahulu. Nihil, tidak ada pesan masuk darimu barang satupun. Mungkin semua akan lebih mudah jika aku masih bisa menghubungimu, menanyakan apa kamu masih menyimpan laptop putihmu.. ah bukan, lebih tepatnya apa kamu masih menyimpan ceritaku yang kutitipkan di salah satu folder datamu. Tapi, kamu telah memutus semua media komunikasi denganku sejak dua bulan terakhir ini.

Aku membutuhkan cerita itu, karena cerita itu belum selesai, masih menggantung. Aku harus segera membuat kalimat penutupnya agar cerita itu utuh hingga akhir, entah itu sad ending atau happy ending, aku belum memutuskannya. Sekarang aku tidak tahu harus berbuat apa. Tidak mungkin buatku untuk menulisnya ulang, karena aku tidak mau menulis lagi cerita yang sama sebanyak dua kali. Kalaupun aku menulis, tentunya aku akan menulis cerita dengan tokoh dan alur cerita yang berbeda.


“Bip” suara notifikasi email masuk. Aku membukanya, karena tidak kenal siapa pengirimnya, hanya subjek email yang langsung menarik perhatianku.


lanjutkan ceritamu, Sekar.


Ada namaku tertulis di sana. Tidak ada pesan apapun di badan email selain tulisan sebuah nama. Aksara, dan sebuah lampiran file ceritaku yang ada di laptop putihmu. Meskipun aku tidak ingat pasti, aku yakin dulu aku telah membuat lebih dari 150 halaman, tapi tidak lebih dari 200. Sementara file cerita yang terbuka di hadapanku ada 212 halaman. Ada 50 halaman dengan cara penulisan yang aku kenal. Tulisan Aksara.


Perlahan aku membaca lima puluh halaman, hingga aku terpaku di kalimat terakhir pada paragraf penutup.


Sekar, ceritamu selama ini tidak hilang, masih utuh seperti sedia kala. ceritamu masih tentang aku, maukan kamu melanjutkan cerita itu lagi denganku?


***

Senja, bukan akhir untuk berpisah,
hanya pertanda bahwa esok akan tiba,
dan kita kembali bercerita


Senja, bukan akhir untuk berpisah, hanya pertanda bahwa esok akan tiba, dan kita kembali bercerita. Kutipan itu kamu gunakan untuk membuka paragraf baru, seolah hendak melanjutkan ceritaku yang belum selesai. Aku kembali membuka email darimu dan membacanya ulang. Duduk di kursi kerjaku menghadap ke jendela barat sambil menikmati tenangnya cahaya jingga sore ini, ditemani dengan secangkir kopi.


Lima puluh halaman yang kamu tulis seolah membuka alur ceritaku kembali yang sebenarnya hendak aku selesaikan dengan satu paragraf pamungkas. Tapi, kamu menambahkan cerita lain, mengajak pembaca terbang kembali menikmati cerita manis seperti di awal ceritaku. Dan aku tidak suka. Aku hanya ingin menyelesaikannya.

“Bip” bunyi itu terdengar lagi. Kubuka kotak masuk emailku. Dari kamu, Aksara.


Sekar,
bagaimana dengan lanjutan ceritamu yang aku tulis? apa kamu menyukainya? aku tidak yakin kamu akan menyukainya.
maafkan aku, Sekar. aku tidak bermaksud lancang untuk melanjutkan cerita itu tanpa persetujuanmu, tapi aku ingin cerita itu berakhir indah, seperti seharusnya.


“Berakhir indah apanya. Aku yang berhak memutuskannya” Aku menggerutu. Enak saja. Lalu kulanjutkan lagi membaca paragraf keduanya.


aku ingin kembali bersamamu, Sekar, kembali untuk melanjutkan cerita hidupku bersamamu yang belum selesai. oke, kamu pasti berfikir aku ini egois, setelah apa yang aku lakukan kepadamu aku dengan entengnya memintamu kembali bersamaku. maaf, aku benar-benar menyesal. aku berharap kamu bisa memaafkan aku.


Sebegitu pengecutnya kamu hingga kamu hanya berani mengirim email tanpa berusaha bertemu denganku dan menyampaikannya langsung. Aksara, kamu masih saja seperti dulu, egois.


sampai saat ini aku tidak berani bertemu langsung denganmu Sekar, bukan karena aku tidak ingin, tapi karena aku takut. aku memang pengecut. aku tidak berani menatapmu secara langsung setelah apa yang aku lakukan. karena itu melalui surat ini aku ingin meminta ijin kepadamu terlebih dulu, jika memang kamu berkenan, minggu depan ketika aku sampai di indonesia aku akan langsung menemuimu.


aku menulis surat ini di kala senja dengan semburat jingganya yang indah. Aku harap kamu pun akan membacanya di saat senja. Aku menunggu kabar baik darimu esok hari, saat hari baru dimulai.


Aku memandang matahari yang perlahan mulai menghilang.


***

Malam, ketika rindu masih tersimpan
di satu tempat yang nyaman
tanpa pernah terungkapkan


Dua bulan lalu…


Malam ini adalah malam yang di bulan yang kedelapan saat kamu pergi tanpa berpamitan langsung, hanya melalui pesan singkat kamu mengabarkan bahwa kamu telah memiliki cinta yang lain. Hatiku sakit sekali kala itu, tapi tidak sesakit malam ini yang aku tidak tahu kenapa bayangan tentang kamu masih saja muncul membawa rindu kepadamu, rindu yang hanya bisa aku simpan sendiri tanpa bisa kubagi dengan yang lain, apalagi denganmu.


Benar kata Dilan bahwa rindu itu berat, dan aku hampir saja tidak kuat. Akhirnya aku meletakkan rindu itu di satu tempat yang nyaman, ya hanya aku simpan saja tanpa pernah aku sapa lagi, agar beban rindu itu berkurang. Dan cara yang aku gunakan ini cukup berhasil. Rindu itu pun tidak tumbuh, tidak pula berkembang, rindu menetap dengan manis di salah satu ruang kosong. Biarlah dia di sana, tidak akan pernah lagi aku buka, kecuali kamu memintanya langsung untuk mengambilnya.
Malam ini…


Aku tidak tahu bahwa tempat nyaman itu tidak akan terbuka kecuali ada yang mengetuknya. Kamu melakukan itu di sore ini, saat aku menerima suratmu lagi setelah sekian lama. Rindu yang tidak terungkapkan itu sedikit bergerak, hanya sedikit karena ketukan darimu.

***


Pagi, ketika cerita mulai dicari
dan kembali untuk dibagi


Aku tidak pernah melewatkan dinginnya pagi. Selepas dua rakaat, aku duduk manis di atas atap rumah -dulunya hendak dibuat tempat menjemur cucian, tapi tidak jadi- di sana ada sebuah tempat kecil yang muat untuk satu kursi dan satu meja. Di situlah aku menikmati dinginnya pagiku.


Aku bangun pagi bukan karena ingin berlomba dengan ayam tetangga tentang siapa yang melek lebih dulu, si ayam jago atau aku. Ada beberapa alasan kenapa aku menyukai bangun di pagi buta. Pertama, aku ingin menjadi yang pertama mengucap syukur atas kehidupanku di hari yang baru. Kedua, banyak cerita yang ingin aku cari selama satu hari penuh dan aku tidak mau cerita itu kurang karena waktu sudah keburu malam dan aku harus kembali tidur, maka dari itu aku bertekad memulai semuanya jauh lebih awal.


Secangkir teh manis dengan kepulan asap dan baunya yang harum semakin menambah semangatku menanti pagi. Kupejamkan mata, membiarkan wajahku tersapu lembut oleh dinginnya udara. Kuhirup perlahan bau embun, aroma teh yang masih panas, serta bau tanah yang rupanya masih basah karena hujan semalam.


Matahari pagi mulai menyembul di balik perbukitan yang tampak jelas di tempat aku duduk pagi ini. Sinarnya mulai menyapa siapa saja yang menatapnya saat itu. Aku tersenyum, pagi ini benar-benar pagi yang berbeda.


Pagi ini rasanya satu tempat nyaman yang dulu ada sebongkah rindu kusimpan rapat-rapat di dalamnya kini menghilang. Lega. Aku telah membukanya, bukan untuk aku pupuk kembali agar tumbuh, tapi aku mengembalikannya.


Sesuai dengan apa yang diminta Aksara, aku telah membalas emailnya dini hari tadi. Aku menyetujui untuk melanjutkan kembali ceritaku, tapi tidak dengan ide ceritanya melainkan dari ide ku sendiri. Hanya butuh satu paragraf penutup bagiku untuk menyelesaikan cerita yang belum usai itu. Aku menerima permintaan maafnya. Ajakannya untuk kembali memulai cerita bersamaku aku artikan dengan keinginannya mengambil rindu yang telah aku simpan dengan baik-baik. Aku memberikannya dengan perasaan yang lapang.


Aksara, terima kasih atas semuanya, baik tawaranmu atau usulan ceritamu. betul sekali katamu bahwa cerita itu memang harus berakhir indah dan bahagia, namun kamu lupa satu hal bahwa standar kebahagiaan bagi setiap orang itu berbeda, pun denganku. Bagiku bahagia jika bisa mengakhiri cerita kita seperti ini.


Di pagi yang indah ini, mari sama-sama mulai mencari cerita kita masing-masing dan kembali membaginya dengan orang-orang tersayang kita. Kita mungkin akan melanjutkan cerita bersama-sama tapi di kertas dan jalan cerita yang berbeda. Nikmati pagi ini dengan bahagia, Aksara. Terima kasih.


Tidak ada rasa menyesal setelah membalas surat itu, karena memang demikianlah seharusnya tidak ada penyesalan. Kisah dalam hidup itu seperti saat kita sedang menjalani hari-hari, apa yang terjadi di pagi hari tidak selalu mempengaruhi yang terjadi nanti siang, sore, ataupun malam. Akan selalu banyak cerita berwarna di hari-hari yang kita jalani. Karena itu aku tidak pernah melewatkan pagi, akan selalu ada kesempatan berbeda di tiap pagi yang datang.

****