“Makan
kembang gula lebih enak jika diremas-remas terlebih dahulu, karena akan lebih
keras dan lebih lama juga melumernya.”
Kata-kata
Kembang masih terngiang-ngiang di kepala Bhima. Dia tersenyum sendiri
memengingat bagaimana Kembang mempraktekkan cara makan kembang gula. Di tempat
yang berbeda pemandangan juga tampak sama. Kembang bahkan masih memegang plastik
kembang gula yang dimakan Bhima tadi.
Belum
pernah Kembang meerasakan perasaan yang membuat hatinya bergetar hebat seperti
ini. Bahkan senbelumnya dia tidak pernah suka mendengar teman-temannya
bercerita tentang pacarnya masing-masing tentang bagaimana mereka menghabiskan
waktu bersama, berbagi cerita suka maupun duka, saling mengerti, dan saling
menyayangi, saling member semangat jika waktu ulangan tiba. Bagi Kembang itu
semua berlebihan, tapi sekarang Kembang sedang merasakannya sendiri, rasanya
dia ingin bercerita kepada setiap orang sepanjang waktu bahwa dia sedang jatuh
cinta.
Keesokkan
harinya ketika Kembang sudah bersiap dengan sepedanya untuk berangkat sekolah
tiba-tiba Bhima sudah ada di depan pagar rumah. Tampaknya Bhima juga sudah
bersiap dengan baju kantorannya.
“Mas
Bhima!!” panggil Kembang meskipun dia tahu Bhima berdiri di sana sambil menatap
ke arahnya.
Bhima tersenyum sambil melambaikan tangannya. Lalu
Kembang buru-buru mengambil sepedanya dan berjalan kea rah Bhima.
“Mau
berangkat kerja? Tumben lewat depan rumah?”
“Lagi
pengin aja, oh iya berangkat bareng yuk!”
Hah, berangkat bareng? Nggak salah ini Mas
Bhima? bukannya sudah jelas dia membawa sepedanya sementara Bhima hanya berjalan
kaki. Batinnya.
“Ah,
maksudku kamu nggak keberatan kan menemani aku berjalan dari ujung gang depan,
sampai ke terminal angkot sana, aku lagi pengin jalan-jalan sambil ngobrol nih!”
“Oh,
“ Kembang baru ngeh maksud Bhima. “Boleh,
kebetulan hari ini bukan jadwal aku piket, jadi nggak perlu terburu-buru
berangkatnya.”
“Oke,
sini aku yang bawain sepeda kamu.”
Mereka
berdua berjalan beriringan. Kembang sesekali menatap laki-laki disampingnya,
hatinya semakin berdesir kala Bhima balas menatapnya.
“Kenapa
Mas Bhima nggak bonceng aku saja? Kan biar cepat sampai di terminal?”
“Ah,
tidak mau nanti cepat berkeringat dong!” balas Bhima lalu tertawa.
“Oh
iya Kembang, waktu kita pertama kali bertemu dan makan bareng kamu pernah
bilang kan kalau kamu mau kuliah akuntansi seperti aku dan aku tidak melarangmu?
Ingat tidak?”
Kembang
mengerutkan kening, pura-pura mengingatnya. Padahal tentu saja Kembang tidaka
akan pernah melupakan saat-saat pertama kali mereka bertemu.
“Hmm,
iya ingat kenapa?”
“Nggak
apa-apa sih, cuma menurut aku lebih baik kamu kuliah di kedokteran.” Lalu Bhima
mendekati Kembang dan berbisik, “aku suka sekali seorang perempuan yang
berprofesi menjadi dokter. Perempuan itu selalu tampak cantik dengan baju
putihnya. Ssst, ini rahasia loh jangan beritahu siapa-siapa ya? Takutnya semua
perempuan di kompleks ini jadi dokter semua demi aku, haha.”
Kembang
diam, lalu menoleh ke arah Bhima yang kini sedang memandang lurus ke depan. Jantungnya
berdegup semakin kencang.
“Oh
iya satu lagi, aku memang suka melihat perempuan yang menjadi dokter, tapi aku
tidak menyukai rumah sakit Kembang, tidak suka!” Bhima menoleh secara tiba-tiba
ke arahnya, Kembang gelagapan dibuatnya.
“Kok
gitu? Darimana kamu bisa menyukai seorang dokter jika kamu benci rumah sakit?”
“Aku
bisa memanggil dokter itu ke rumah! Ah, sudah sampai terima kasih ya Kembang
sudah menemaniku memulai hari pagi ini, kamu hati-hati ya berangat ke sekolah.
belajar yang rajin, dan ingat kamu pantas jadi dokter, daaah….” Bhima
melambaikan tangannya, lalu berjalan menuju salah satu angkot yang biasa
dinaikinya tanpa lupa meninggalkan senyum manisnya.
Kembang
menggaruk kepalanya yang tidak gatal, dia bingung dan tidak mengerti maksud
Bhima saat ini. Dia membalas lambaian tangan Bhima, entah ada sihir macam apa
hingga pagi itu, tepat di depan terminal janji dia menemukan semangat baru
untuk belajar dan akan berusaha masuk ke universitas kedokteran terbaik di kota
ini.
Kembang
tidak main-main akan janjinya untuk menjadi seorang dokter. Hari-hari
berikutnya dia menghabiskan waktu di kamar untuk belajar. Dua bulan lagi dia
akan menghadapi ujian akhir nasional. Belum lagi untuk mengikuti tes masuk
kedokteran di sebuah universitas terbaik di kota ini. Dia perlu mempersiapkan
itu semua jauh-jauh hari.
Hanya
dia kahir pekan Kembang sedikit memotong waktu belajarnya karena Bhima selalu
berkunjung ke rumahnya. Kembang memang menginginkan dapat menjalin suatu
hubungan yang lebih dari persahabatan dengan Bhima, tapi dia tidak mau
memaksakan biarlah hubungan ini berjalan apa adanya. Bhima juga tidak pernah
mengajaknya keluar untuk sekadar jalan-jalan tapi dia tetap bahagia ketika
Bhima datang untuk berkunjung ke rumahnya.
Sabtu
ini seperti biasanya Bhima datang berkunjung ke rumah Kembang. Namun ada
sesuatu yang aneh, Bhima datang dengan membawa dua plastik kembang gula. Tidak biasanya
memang, karena Kembanglah yang biasa menyediakan kembang gula untuk merea
berdua.
“Haa,
tumben Mas Bhima bawain aku kembang gula? Haha, jadi sekarang Mas Bhima juga
suka kembang gula ya?”
“Pengin
aja buat kejutan kecil untuk kamu, kamu terkejut nggak?”
“Ah,
bisa saja Mas Bhima ini. Ayo masuk!”
Malam
ini sepertinya langit sedikit mendung, tidak ada bintang-bintang bertaburan
yang menghiasi langit. Bagi Kembang yang gemar memandang langit tentunya dia
paham mendung ini sebagai pertanda akan terjadi sesuatu. Karena Kembang suka
melihat langit di kala malam membungkus bumi, jika langit cerah berbintang maka
akan ada hal baik yang terjadi dalam waktu dekat, begitu juga sebaliknya. Tidak
pasti sebenarnya, namun Kembang selalu mempercayainya.
“Kembang,
kamu tentu ingat kan tempo hari aku mengatakan kalau kamu harus jadi dokter? Aku
minta maaf ya, aku memang bukan siapa-siapa kamu yang sebenarnya tidak berhak
mengatur hidup kamu nantinya mau jadi apa, tapi entah kenapa perasaanku
mengatakan bahwa kamu memang layak menjadi seorang dokter.” Obrolan malam ini menjadi
sedikit lebih serius dari malam-malam sebelumnya.
Kembang
menyimak dengan seksama. Kalau dipikir-pikir benar juga siapa Bhima yang berhak
mengatur hidupnya, menyuruh-nyuruhnya menjadi dokter, bahkan kedua orang tuanya
tidak pernah memaksakan akan menjadi apa dia kelak.
“Tapi
kamu tidak keberatan kan dengan permintaanku?”
Kembang
tersenyum. Sebenarnya untuk bosa berada didekatnya seperti ini Kembang tidak
keberatan untuk melakukan apa saja untuk membahagiakannya. Kembang menggeleng.
“Maka
Kembang, mulai saat ini aku minta kamu berusaha untuk mewujudkannya, aku tahu
kamu pasti bisa, aku akan membantumu melalui doa-doa yang selalu aku panjatkan.
Tapi,”
Mimik
Kembang berubah seketika, “tapi apa? Mas
Bhima akan selalu berada di sampingku untuk memberikan semangat untukku kan? Mas
Bhima akan selalu ada disaat aku berjuang kan? Mas Bhima,” Kembang tidak dapat
melanjutkan kata-katanya ketika Bhima mulai memegang tangannya.
“Justru
aku datang ke sini untuk mengucapkan selamat tinggal sementara kepada kamu
Kembang. Aku minta maaf,”
==bersambung==
Tidak ada komentar:
Posting Komentar