Episode #1
Pagi
yang basah. Genangan air juga masih tampak di beberapa tepi jalan, bekas hujan
semalam. Hujan turun sejak subuh tadi membuat sebagian orang malas untuk
keluar. Untung ini hari Minggu, sekolah, kerja, atau kuliah libur, jadi lebih
baik menghabiskan hari di atas tempat tidur, menyembunyikan diri dalam pelukan
selimut yang hangat. Jalanan hanya ramai oleh beberapa pekerja proyek
gorong-gorong komplek yang sedang berlalu lalang memeriksa pekerjaannya, juga
ibu-ibu yang sedang memaksakan diri keluar belanja untuk santapan sarapan
keluarganya.
Kamar tidur itu masih terkunci
rapat. Bukan karena penghuninya masih tidur, hanya masih malas keluar saja.
Seluruh tubuhnya kecuali kepala memang masih terbungkus selimut hangat, sejak
tadi dia menatap rintik hujan di balik jendelanya di lantai dua. Kembang memang
gemar melihat rinai hujan. Menikmati setiap tetesannya, beberapa kali dia
menuliskan kata-kata di jendelanya yang tertutup embun.
“Kembang” Pertama-taman ditulis
namanya sendiri, lalu beralih sedikit di bawahnya.
“Cinta”. Dia menggambar sebuah
lambang hati.
“Bhima” Nama itu ditulis di bawah lambang hati.
Dia menatap tulisan itu sejenak.
Lalu dihapusnya. Ganti dia menulis nama-nama keluarganya. Mulai Ibu, bapak,
kakak, dan adiknya.
“Bhima” kembali dia menuliskan kata itu. Lalu
dihapusnya sekali lagi.
“Kenapa aku memikirkan dia sih? Dia
saja belum tentu memikirkan aku!”
Dia mengalihkan pandangan ke bawah,
tampak ibunya yang sedang berbelanja di gerobak Pak Hamid, penjual sayuran
keliling di kompleksnya. Dia terperanjat, tepat di belakang Ibunya tampak sosok
yang sangat dia rindukan, Bhima. Sedang apa dia disana? Pikirnya, ah seandainya dia bisa turun dan menyapa Bhima saat itu juga.
Dia beranjak duduk dan memperhatikan
pemuda itu. Ingatannya melayang pada saat pertama kali bertemu dengan Maru.
***
“Kalau jalan hati-hati, perhatikan
jalannya, jangan malah memperhatikan HPnya” Pemuda itu menolong Kembang
sekaligus sepedanya. Bunga-bunga yang Kembang ambil dari taman turut jatuh
berserakkan. Pun demikian dengan
kembang gula yang masih terbungkus rapi turut jatuh ke tanah.
“Untung kamu tidak masuk selokan itu,
dan untung yang kamu tabrak itu aku, coba kalau seorang nenek-nenek, kan
kasihan!” Pemuda itu jongkok mengambil beberapa bunganya yang masih bisa
diselamatkan. Kembang masih terpaku melihat pemuda itu.
“Ini HP kamu, lain kali jangan
terlalu asyik ya?” Pemuda itu menyodorkan
HP Kembang, lalu mengusap sekilas puncak kepala Kembang, dan pergi, bahkan sebelum
Kembang sempat mengucapkan terima kasih. Kembang masih berdiri ditempatnya
terjatuh tadi, menatap punggung pemuda itu hingga masuk ke sebuah rumah yang
tidak jauh dari tempatnya berdiri saat ini. Seolah-olah baru tersadar bahwa
sudah cukup lama dia mematung disini, dia bergegas menaiki sepedanya dan
pulang.
Sudah dapat dipastikan, keesokan harinya Kembang menunggu pemuda itu ditempat dia terjatuh tempo hari. Setiap hari sepulang
sekolah seperti biasanya, juga dengan bunga dan kembang gula yang menghiasi keranjang
sepedanya. Awalnya Kembang hanya berniat untuk mengucapkan
permintaan maaf sekaligus terima kasih kepada pemuda itu. Kembang sudah menyiapkan
dua bungkus besar kembang gula untuk pemuda itu. tapi nanti kalau mau diajak
kenalan, berarti hari ini memang rejeki Kembang.
“Jangan-jangan dia sudah pulang?”
Kembang memanjangkan kepalanya, mencari-cari sosok pemuda itu.
“Kamu habis jatuh lagi?” suara itu
mengagetkan Kembang. Sontak Kembang menoleh. Apa yang dilihatnya siang ini
seakan hasil dari berjam-jam dia menunggu. Dia menghembuskan nafas lega.
“Aku tanya, apa kamu habis jatuh
lagi disini?”
“Ah, tidak, aku tadi hanya
emm...hanya kebetulan lewat sini saja emmm...”
“Oh, syukurlah kalau begitu.” pemuda
itu bersiap untuk melangkahkan kakinya sebelum ditepuk oleh Kembang.
“Tunggu! Apa kamu warga baru di
sini?” Rasa ingin berkenalan sudah tidak dapat ditahan lagi.
“Tidak, kedua orang tuaku sudah lama
di sini, kenapa? Apa aku sangat asing bagimu?”
Kembang mengangguk.”Oh iya, waktu
itu aku belum sempat minta maaf dan mengucapkan terima kasih padamu. Terima
kasih ya sudah menolongku dan maaf aku sudah menabrakmu waktu itu.” Kembang
menjulurkan tangannya. Memberikan satu kantong kembang gula berwarna merah muda, setelah
itu dia kembali menjulurkan tangannya untuk kenalan.
“Namaku Kembang, tinggal beberapa blok dari sini, kamu?”
Kembang sudah menyangka bahwa pemuda
ini baik hati.
“Aku Bhima, tetangga baru kamu. Eh ini apa? Ini bukannya
kembang gula ya? Kamu suka jajanan ini?” Tanya Bhima sambil memutar-mutar ujung bungkus kembang gula. Mungkin dia heran, masih ada juga ternyata jajanan masa kecil seperti ini.== bersambung ==
Tidak ada komentar:
Posting Komentar