Episode #9
Surat Untuk Kembang
Hai Kembang, ketika kamu membaca surat ini, aku tidak tahu apakah aku masih ada di dunia ini atau tidak. Tapi aku berharap aku masih ada dan bisa bertemu denganmu lagi.
Kembangku apa kabar? Gimana test masuk universitasnya? Sukses kan? Aku
yakin kamu pasti diterima. Percaya deh! Karena jika aku bertemu sama kamu aku
ingin kamu bilang bahwa kamu diterima di fakultas kedokteran.
“Kamu jahat Mas Bhima. Jahat!”
Kembang membaca tulisan pembuka di surat yang dia terima pagi ini, tepat di
saat pengumuman ujian seleksi.
Sehari setelah ujian seleksi masuk perguruan
tinggi sebulan lalu, Kembang langsung mampir ke rumah Bhima. Tapi tidak ada
siapa-siapa. Handphone Bhima pun juga
tidak aktif, Kembang tidak tahu lagi harus menghubungi siapa. Dia hanya bisa
menunggu. Menunggu hingga satu bulan berikutnya ketika seorang bapak-bapak
mengantarkan surat untuknya. Bapak itu mengaku sebagai ayah Bhima.
Aku kangen kamu
Kembang. Kangeeeen banget. Kalau kamu ada disebelahku sekarang ini pasti akan
aku peluk. Jujur aku sebenarnya tidak sanggup untuk tidak bertemu denganmu,
jangankan selama sebulan ini, sehari tidak bertemu kamu dan kembang gulamu aku
sudah tidak sanggup makan, tidak bisa tidur, hahaha… pasti kamu kira aku lagi
gombalin kamu ya? J
“Bodoh!
Jangankan tidur dan makan, aku bahkan hampir tidak bisa bernafas.” Emosi
Kembang meluap-luap. Rasa sakit dan sedih bercampur menjadi satu. Air mata
mulai jatuh dari sudut matanya.
Sebelumnya aku minta
maaf jika mungkin surat yang aku tulis ini terlalu panjang buat kamu. Karena
aku tidak tahu harus melakukan apa ketika aku sedang merindukanmu selain
menulis surat ini. Karena banyaaak sekali yang ingin aku ceritakan ke kamu.
Kita mulai darimana ya enaknya? Hmm, gimana kalau aku akan memulainya dari
kesan pertama kali aku bertemu kamu.
“Kamu menuliskan ini ketika merindukanku? Aku
minta maaf Mas, aku bahkan tidak pernah melakukan apa-apa selama merindukanmu
selain mengumpatmu dan berfikiran yang jelek-jelek padamu, Mas.”
Pertama kali melihat
kamu sewaktu kamu nabrak aku dengan sepeda pink yang keranjangnya selalu penuh
dengan bunga dan kembang gula. Untung yang kamu tabrak itu aku, coba kalau
nenek-nenek pasti sudah jatuh terjengkang deh! Waktu itu kamu sedang asyik main
HP sambil naik sepeda kan? Saat itu aku melihat kamu memang seperti para abg jaman
sekarang pada umumnya yang entah dimanapun dan kapanpun selalu ada HP ditangan,
haha.
Kembang membayangkan Bhima yang sedang tertawa.
Kedua lesung pipit dipipinya sangat jelas terlihat.
Waktu itu kamu
menawariku kembang gula kan? Kamu ingat tidak waktu aku tanya kamu kenapa kamu
suka sekali makan kembang gula? Kamu jawab biar manis kayak kembang gula. Tapi
aku tidak setuju dan aku bilang makan kembang gula sebanyak apapun nggak
bakalan bikin kamu tambah manis, kamu tahu kenapa? Karena kamu itu sudah
cantik, Kembang. (Ah, saat ini kamu pasti sedang tertawa membaca ini karena
kamu kira aku menggombal lagi ya? J )
“Tertawa?
Aku sedang menangis Mas, bahkan air mataku tidak bisa berhenti mengalir membaca
suratmu ini!”
Kamu jangan tertawa
keras-keras loh ya? Aku serius, kamu itu cantik Kembang. Seperti sekuntum mawar
yang baru mengeluarkan kelopaknya. Indah. Sejak ketemu kamu, entah kenapa aku
ingin lebih dekat dengamu, makanya waktu itu aku memberanikan diri untuk main
ke rumah kamu. Oh iya kamu tidak tahu kan kalau waktu itu aku deg-degan ketika
minta izin sama kamu kalau aku ingin main ke rumah kamu?
Kembang tersenyum.
Lanjut lagi ya? Waktu
aku main ke rumahmu, kamu selalu memberi kembang gula untukku. Terus kamu
mempraktikkan cara makan gula ala kamu. Dalam hati aku berfikir, kamu itu lucu
juga ya makan kembang gula yang biasanya tinggal sobek, lalu dimakan kamu
memperkenalkan cara baru, yaitu dibulet-buletin, diremas hingga keras, baru
dimakan. Katamu biar lebih keras dengan begitu lebih lama melumernya. Haha
ada-ada saja. Tapi, sebenarnya aku tidak begitu suka makan kembang gula, kamu
tahu kenapa? Karena makan kembang gula itu manisnya hanya sekejap. Baru
dimasukkan mulut sudah habis melumer. Apalagi jika tidak segera dimakan,
kembang gula akan cepat menyusut terkena angin. Sia-sia dong aku beli kembang
gula yang besar kalau nantinya menyusut gara-gara angin? Iya kan?
Kembang tertegun, air matanya sudah menetes
dari tadi. Membaca surat Bhima bagian ini membuat Kembang berfikir, benar juga
apa yang dikatakan Bhima.
“Iya,
memang kembang gula itu manisnya hanya sekejap, seperti kamu Mas yang hanya
datang sekejap memberi kenangan manis dalam hidupku.” Kembang mengusap air mata
di pipinya.
Kembang maafkan aku
ya? Aku tidak bisa menemanimu di hari-hari beratmu menghadapi ujian. Bahkan aku
tidak sempat mengirimkan pesan atau telepon untuk memberikan semangat untukmu,
aku ingin Kembang tapi aku tidak bisa melakukannya. Aku tidak menceritakan
alasan itu disini karena pasti kamu telah mengetahuinya dari ayah. Dan setelah
kamu mendengar semua cerita itu dari ayah, pasti kamu marah sama aku kan karena
aku tidak menceritakan itu semua sendiri? Aku tidak sanggup melihatmu menangis
di depanku lagi. Cukup sekali aku melihatmu menangis waktu aku main ke rumahmu
untuk terakhir kalinya. Tapi jika kamu menangis waktu membaca surat ini, sejujurnya
membuatku sedih karena aku tidak berada disampingmu. Padahal aku ingin mengusap
air mata di pipimu itu dengan tanganku. Maaf Kembang.
“Bagaimana bisa aku tidak menangis Mas
mendengar keadaanmu dan kini aku membaca suratmu. Meskipun ini hanya sebuah
surat rasanya kamu benar-benar sedang berada di depanku, kamu membacakan surat
ini. Aku bahkan bisa mencium harum tubuhmu, Mas.”
Oh iya, dibalik surat
ini ada sebuah kembang gula jumbo buat kamu. Hmm, memang hanya gambar sih?! Padahal
sebenarnya aku ingin memberimu kembang gula berukuran jumbo yang asli, tapi
kali ini aku masih belum sempat membelikanmu. Maaf ya? Aku janji suatu saat
nanti jika masih ada kesempatan, bahkan jika kesempatan itu hanya secuil aku
akan memberikanmu. Oke?
“Jika memang itu ada kesempatan, aku hanya
menginginkan kamu Mas. Bertemu denganmu itu sudah lebih dari cukup.” Kembang
mulai sesenggukkan.
Kembang, jika aku
pergi dan kamu menemukan orang lain yang bisa membuatmu nyaman, bahagia, dan
bisa menerima kamu apa adanya cintailah dia dengan sepenuh hati kamu. Jangan
membanding-bandingkan dia dengan aku. Aku tidak ada apa-apanya bagimu. Bagaikan
kembang gula aku mungkin hanya memberimu manis sesaat.
“Kamu memang seperti kembang gula, meskipun
manisnya cepat hilang tapi bekas warna merah masih akan membekas di lidah, dan
walau bekas itu tidak bertahan lama masih ada kebahagiaan tersendiri ketika bisa
menikmati sebuah kembang gula. Seperti ketika aku mengenalmu, hari-hariku lebih
berwarna Mas. Kamu telah mengenalkanku pada sesuatu yang bisa disebut cinta.”
Kembang, mungkin
beribu maaf pun tidak bisa menghapus rasa kesalmu padaku. Ini bukan keinginanku
Kembang. Jika boleh aku justru ingin bersamamu dan menghabiskan hidup bersama. Membayangkan
bagaimana kita menghabiskan masa tua bersama, melihat cucu-cucu kita berlarian
mengejar layang-layang. Menatap wajahmu yang sudah keriput. Ahh, maaf aku
terlalu berlebihan membayangkannya.
Jantung Kembang
berdegup kencang membaca jika Bhima ingin menghabiskan hidup bersamanya. Apa
benar masih ada kesempatan seperti untuknya? Lalu Kembang mengamati paragraf
surat. Ada sebuah bekas bercak air yang telah kering tepat pada salah satu
katanya. Kembang menatapnya, bercak air itu seperti bekas air mata yang jatuh.
Karena pada waktu yang sama air mata Kembang jatuh tepat di samping bekas air
mata tersebut. Apa Mas Bhima juga menangis waktu menulis surat ini?
Kembang, mungkin
sampai di sini tulisanku untukmu. Bukan karena aku kehabisan tinta tapi aku
kehabisan kata-kata. Karena rangkaian kata-kata indah pun tidak bisa
mengalahkan betapa indahnya hidup denganmu, betapa bahagianya aku bisa dekat
denganmu.
Hmm, hampir lupa! Kembang,
apa aku pernah bilang padamu bahwa aku mencintaimu? Sepertinya belum kan? Kalau
belum maka kalimat terakhir pada suratku akan kutulis bahwa AKU MENCINTAIMU
KEMBANG. SELALU.
Aku,
yang selalu merindukanmu
Bhima
Anjasmara
“Mas
Bhimaaaa!!!” Tangis Kembang semakin kencang. Dia memeluk surat itu. Lama
sekali. Merasakan perih hatinya. Lalu dia membalik surat dan menemukan gambar
untuknya. Gambar itu ditempel menggunakan selotip di balik surat yang kosong. Dalam
gambar tersebut tampak seorang laki-laki yang sedang mengulurkan kembang gula
jumbo, tidak ada pesan apa-apa lagi selain tulisan ‘kembang gula’.
==bersambung==
Tidak ada komentar:
Posting Komentar