“MERDEKA ATAU MATI!!” Terdengar seruan dari para
pahlawan Indonesia ketika memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Dari semua
golongan, tanpa membeda-bedakan pangkat semua bersatu demi mewujudkan
kemerdekaan. Tak hanya seruan tersebut yang terdengar, tapi juga bunyi senjata
dan bunyi bom-bom dari tentara sekutu.
“DUARR!!” Bunyi tembakan kembali terdengar.
Entah itu sudah bunyi yang ke berapa, dan sudah berapa banyak pahlawan kita
yang mati akibat tembakan-tembakan yang membabi buta, namun itu semua tak
membuat rakyat Indonesia gentar, mereka tetap berjuang sampai titik darah
penghabisan.
Semuanya terasa begitu kejam, serbuan tentara sekutu hampir
meluluh lantakkan semangat para pejuang. Hingga pada akhirnya pada tanggal 17
Agustus 1945 Soekarno mengumandangkan Proklamasi kemerdekaan Indonesia.
“PROKLAMASI… KAMI BANGSA INDONESIA DENGAN INI
MENYATAKAN KEMERDEKAAN INDONESIA…… ” Begitulah isi proklamasi yang
dikumandangkan oleh Soekarno. Yang akhirnya di setiap tahun tanggal 17 Agustus
diperingati sebagai Hari Kemerdekaan Indonesia.
***
“Kek, Kakek bangun sudah siang!” aku
membangunkan kakekku yang tertidur pulas setelah mendengar siaran memperingati
hari Kemerdekaan yang jatuh hari ini melalui radio butut yang sudah
bertahun-tahun memberi hiburan keluargaku.
Kakek menggeliat, dia bangun, lalu menatapku.
“Tadi Kakek tidur sambil mendengarkan siaran
kemerdekaan di radio. Sekarang sudah jam tujuh Kek, katanya Kakek ingin melihat
upacara kemerdekaan di sekolah sebelah?” Kataku pada kakek.
Kakekku dulu adalah salah seorang pejuang
Indonesia dalam memperebutkan Kemerdekaan, kakek juga salah seorang dari
sebagian kecil pejuang yang masih hidup. Kakek sangat menanti-nanti datangnya
hari kemerdekaan kali ini, maklum umurnya sudah lanjut, dan beliau takut kalau
tidak akan dapat menjumpai lagi tahun depan. Pada kemerdekaan kali ini kakek
ingin sekali melihat bendera merah putih menghiasi depan rumah kami, tapi apa
daya walaupun hanya selembar benderapun kami tak punya. Tapi aku akan berusaha
untuk mendapatkan bendera merah putih untuk kakek.
***
“Tole, Kakek pergi dulu ke sekolah
sebelah untuk melihat upacara ya? Kamu ndak ikut?” Tanya kakek
sekaligus berpamitan.
“Iya kek, tapi Kakek berangkat saja dulu,
soalnya Deni masih harus menyiapkan sarapan untuk Kakek, nanti Deni menyusul,
kakek tidak makan dulu?” Ujarku.
“Tidak, sarapannya nanti saja, nanti upacaranya
keburu dimulai.” Kata kakek.
Aku tinggal hanya bersama kakekku di rumah tua
peninggalan kedua orang tuaku yang pergi entah kemana meninggalkanku sejak aku
kecil. Aku tidak sekolah karena tidak ada biaya, dan untuk menunjang
kehidupanku, aku menjadi pengamen di terminal bus kota sedangkan kakek
kadang-kadang menjadi pengumpul barang bekas yang kemudian dijual untuk
mendapatkan uang. Sempat aku berpikir kasihan juga kakek, di usianya yang sudah
begitu tua dia masih terlihat kuat, dan aku merasa sedih karena sebagian orang
menyebut kakek seorang pemulung ataupun pengemis, padahal mereka tidak tahu
siapa kakek sebenarnya.
Kakek adalah seorang pejuang yang dulu pernah
mempertaruhkan nyawa demi kemerdekaan Indonesia, ya meskipun nama kakek tidak
terkenal seperti nama- nama pahlawan lainnya, tapi aku tetap menganggap kakekku
adalah pahlawan sejati.
Aku cucu laki-laki satu-satunya dan aku berharap
bisa menjadi yang terbaik buat kakek suatu saat nanti. Aku tidak menyalahkan
kakek karena aku tidak disekolahkan, aku hanya menyesal kepada orang tuaku,
kenapa mereka tega meninggalkanku sejak kecil, tapi untungnya ada kakek yang
dengan sekuat tenaganya membesarkanku. Meskipun aku tidak sekolah aku tetap
rajin mengikuti les pendidikan bagi anak yang tidak mampu di kampungku yang
diadakan oleh sebuah lembaga untuk membantu anak yang tidak mampu. Sehingga aku
bisa baca tulis, bahkan kata guru pengajarku yang rata-rata masih kuliah, aku
adalah muridnya yang paling pintar, tak jarang aku mendapatkan nilai seratus di
pelajaran matematika yang mereka ajarkan. Aku senang sekali karena aku
mendapatkan hadiah sebuah buku sejarah, sejarah Indonesia tepatnya. Aku
menceritakannya kepada kakek.
***
Aku berangkat menyusul kakek untuk melihat
upacara bendera di sekolah sebelah. Sesampainya di sana aku takjub akan
hikmatnya semua murid-murid dan guru-guru dalam mengikuti upacara bendera,
hingga aku membayangkan seandainya aku ada di sana bersama murid lainnya,
menggunakan seragam merah putih, tapi ah…sudahlah.
“Tujuh
belas Agustus tahun empat lima, itulah hari kemerdekaan kita… hari merdeka nusa
dan bangsa, hari lahirnya bangsa Indonesia, Merdeka!” begitulah lagu
kemerdekaan dengan hikmat dikumandangkan pada waktu pengibaran sang merah putih,
aku yakin lagu ini pasti dinyanyikan di seluruh pelosok negeri dalam upacara
kemerdekaan setiap tahunnya.
Dari kejauhan aku melihat wajah kakek yang
berseri-seri sambil mengangkat tangan kanan yang hormat ketika sang merah putih
dinaikkan. Aku tersenyum melihat kakek bahagia. Setiap tahun kakek diam-diam
selalu mengikuti upacara bendera di luar sekolah ini, sampai-sampai pedagang
jajanan sekolah heran melihatnya.
Sepulang dari melihat upacara bendera aku
teringat akan keinginan kakek yaitu sebuah bendera merah putih. Akhirnya aku
putuskan untuk mencari sebuah toko yang menjual bandera, tapi sebelumnya aku
berpamitan kepada kakek yang sudah pulang duluan.
“Kek, aku mau pergi sebentar kek, aku mau
membelikan kakek sebuah bendera.” Pamitku sesampainya di rumah.
“Uhuk, uhuk.” Terdengar suara kakek
terbatuk-batuk.
“Kek, astaga Kakek kenapa? Kakek tidak apa-apa?
Pasti itu karena Kakek terlalu lama berdiri waktu upacara tadi.” Kataku kaget
katika melihat kakek terbatuk-batuk, ada sedikit darah keluar bersamaan dengan
batuknya.
“Sudah, kamu berangkat saja mencari
benderanya, kakek tidak apa-apa kok tadi cuma tersedak saja! Lagipula kakek
senang karena tahun ini masih bisa mengikuti upacara bendera, kan belum tentu
tahun depan kakek masih bisa menemui hari kemerdekaan ini.” Balas kakek. Aku
tidak tahu apa yang dikatakan kakek itu benar atau salah, tapi yang jelas aku
sangat mengkhawatirkan keadaan kakek.
“Kakek kok ngomong begitu? Baiklah kalau begitu,
Deni berangkat dulu Kakek tunggu di rumah. Assalamu’alaikum!” pamitku.
“Wa’alaikumsalam.” balas kakek.
Dengan rasa khawatir terhadap keadaan kakek
akhirnya aku berangkat, mudah-mudahan aku cepat mendapatkan uang, karena aku
harus mengamen dulu di terminal sebelum membeli bendera itu, tapi ini kan hari
libur pasti terminal lagi sepi.
***
“Biar saja ku tak sehebat matahari, tapi
slalu ku coba tuk menghangatkanmu, biar saja ku tak seharum bunga mawar, tapi
slalu kucoba tuk mengharumkanmu, biar saja ku tak setegar batu karang,tapi
slalu kucoba tuk melindungimu, merah putih teruslah kau berkibar, ku akan slalu
menjagamu….” Itulah sepenggal lagu yang aku nyayikan di atas bus kota,
sepenggal lagu dari grup band papan atas Indonesia. Dan semoga dengan lagu itu
aku mendapatkan uang lebih untuk membelikan bendera kakekku tercinta.
Sekitar dua jam aku baru mengumpulkan uang yang
aku perlukan, tapi aku merasakan hal yang aneh, tiba-tiba kaleng uang yang aku
pegang jatuh sehingga uang receh yang aku kumpulkan jatuh berserakan.
Jangan-jangan kakek, aku segera mengumpulkan uang itu kembali dan berlari untuk
membeli bendera. Semoga itu hanya perasaanku saja.
Aku berlari sekuat tenaga untuk segera sampai di
rumah, karena entah mengapa aku merasakan sesuatu yang buruk terjadi. Dengan
nafas tersengal-sengal aku sampai di rumah, dan di rumahku banyak orang
berkumpul, aku segera masuk ke dalam dan ini tidak mimpi. Aku melihat sekujur
tubuh kaku kakek yang dibalut kain putih dan dikerubungi banyak orang.
“TIDAAAAKK!!!!!!” Jeritku sambil memeluk tubuh
kurus kakek. “KAKEK JANGAN TINGGALKAN DENI KEK!! BANGUN KEK!!” Aku menjerit
sambil menangis. Sementara para tetangga sedang mengerubungiku dan menguatkanku.
“Kek, kenapa kakek pergi begitu cepat, kenapa
kakek tidak menunggu Deni kek, ini bendera yang kakek inginkan, Deni akan
pasang ini semua di depan rumah kek!” Aku menangis sambil meletakkan beberapa
bendera kecil di atas tubuh kakek.
“Sudahlah nak, ini memang takdir Tuhan, pasti
kakek kamu akan berada di sisinya dengan damai, karena kakekmu adalah pahlawan
untuk semua, untuk kamu, dan untuk kita, tadi sebelum kakek kamu menghembuskan
nafas terakhir kakek kamu berpesan pada kita untuk tetap menjagamu, dengan
menitipkan ini” kata salah satu tetanggaku sambil memberikan secarik kertas
yang berisikan sejarah Indonesia beserta foto kakek bersama Presiden Soekarno.
Aku tidak menyangka kakek akan meninggalkanku di
saat Indonesia sedang merdeka, di saat semua orang merasakan kebahagiaan atas
ulang tahun Indonesia. Dan aku bersedih pada hari bahagia ini.
Aku meletakkan rangkaian bendera di atas
pemakaman kakek.
“Kek, ini adalah bendera untuk Kakek, aku harap
kakek senang. Aku berjanji tidak akan mengecewakanmu kek, dan kakek adalah
pahlawanku seumur hidup. Semoga kakek bahagia di sana.”
Akhirnya setelah ditinggal oleh kakek aku
diangkat sebagai anak asuh oleh seorang yang baik hati, dan aku disekolahkan
hingga lulus dan setelah lulus aku disekolahkan militer. Aku menjadi tentara.
***
“Kek, sekarang Deni sudah menjadi tentara
Republik Indonesia. Aku berjanji aku akan berbuat seperti kakek dulu, yaitu
membela tanah air. Ini semua buatmu Kek.” Kataku dalam hati waktu aku
mengunjugi makam kakek yang sudah lama aku tinggalkan, karena aku harus
menjalani pendidikan di luar kota. Dan sekarang setelah 10 tahun aku kembali
dengan membawa anak dan istriku untuk mengunjungi makam kakekku tercinta.
“Semoga kakek bangga padaku.” Do’aku dalam hati.
*selesai*