Tidurlah sayang.
Ibu akan selalu di sini mendampingimu.
Jangan takut sayang.
Ibu tidak akan pernah beranjak untuk meninggalkanmu.
Aku memeluk erat bayi
mungilku yang baru lima bulan yang lalu aku lahirkan. Bayiku tidak meminta
untuk dipeluk, hanya saja aku ingin memberikan pelukan hangatku kepadanya, agar
dia bias tidur nyenyak mala mini.
Dalam remang cahaya
lampu, aku memandangi wajahnya yang cantik. Hidung dan matanya adalah milik Mas
Dhani, suamiku. Sementara bibir dan pipinya yang tembem persis punyaku. Aku
mengelus pipinya, memandanginya sekali lagi, bayiku tetap diam tidak menangis.
Kupegang dahinya, ah sepertinya suhu tubuhnya panas. Jangan-jangan bayiku
sakit. Kuperhatikan lagi wajahnya, benar dia sedikit pucat. Aku kembali
merengkuhnya, aku tidak tahu harus minta tolong kepada siapa karena Mas Dhani
belum juga datang kemari.
Bayiku tidak menagis
sedikitpun. Ah, dia anak yang pintar tidak mau menyusahkan ibunya.
Entah
mengapa Mas Dhani yang biasanya datang kemari ketika hari beranjak gelap kali
ini tidak kunjung datang untuk menjemputku. Dia mengatakan setiap hari bahwa
akan membawaku pulang, tapi sampai saat ini selalu saja ada alas an untuk
kembali membuatku tidur di tempat asing ini.
Ruangan ini tidak begitu
luas, etahlah aku juga tidak dapat mengira-ngira hanya saja ruangan ini lebih
mirip dengan ruangan di salah satu rumah sakit. Hanya ada aku seorang, meskipun
terkadang ada beberapa perempuan yang tidak aku kenal menyambangiku dan
menanyakan keadaanku, seperti malam ini aku rasa ada seorang perempuan yang
sedari tadi melihatku. Peduli sekali mereka, pikirku. Tapi aku tidak peduli,
meski hanya sendirian yang terpenting aku bisa bersama dengan bayiku, itu sudah
cukup.
***
Esok harinya…
Aku tidak tahu kapan
datangnya tiba-tiba Mas Dhani sudah berdiri di sebelah ranjangku. Aku
bangun seketika dan menyapanya. Dia tersenyum seperti biasa, sangat tampan.
“Maaf, kemarin aku tidak
bisa datang kemari, ada rapat di kantor.” Katanya membuka pagiku.
Aku hanya tersenyum.
Lalu aku lihat Mas Dhani sedang menatapu lekat-lekat. Anehnya dengan
tatapan
iba. Lalu dia memeluk dan mencium keningku. Setelah itu dia menoleh ke belakang
pada seorang peempuan cantik berbaju putih, sepertinya aku pernah melihat
perempuan itu di sini, tapi entah kapan.
Mas Dhani berjalan
mendekati perempuan itu.
“Maafkan saya Pak Dhani,
saya turut berduka cita atas apa yang menimpa istri Anda.”
“Justru saya yang harus
minta maaf pada Bu Dokter karena selama hamper tiga minggu ini harus meluangkan
waktu ekstra untuk menjaga istri saya.”
“Tidak masalah, Pak.
Saya tahu ujian yang sedang dijalani istri Anda tidaklah mudah, meski saya
belum pernah mengalaminya, tapi sebagai perempuan saya paham bagaimana
terguncangnya persaan istri Anda ketika harus menerima kenyataan bahwa bayi
yang baru lima bulan dilahirkannya meninggal dunia, apalagi setahu saya Anda
telah menunggu selama hamper tujuh tahun untuk bisa memiliki keturunan. Jagalah
istri Anda sebaik mungkin, saya yakin perlahan-lahan istri Anda akan sembuh.”
“Terima kasih, Dok.”
Aku mencoba
menebak-nebak apa gerangan yang sedang dibicarakan suamiku dengan perempuan
cantik itu, tapi tidak satu kata pun yang berhasil kudengar. Mas Dhani kembali
menghampiriku. Dia mengambil bayiku secara perlahan, mungkin Mas Dhani kangen.
“Perempuan itu ingin
mengajak bayi kita berjalan-jalan. Udara pagi di luar sangat segar. Kamu tidak
perlu khawatir dia orang yang baik. Boleh kan?”
Aku tersenyum mengangguk.
Mas Dhani menggendong
bayi kami, dia tampak senang sekali lalu diberikannya kepada perempuan itu.
Perempuan cantik itu lantas menoleh kepadaku, tersenyum.
“Dok, maaf saya boleh
minta tolong?”
Seakan-akan dokter
cantik itu paham apa yang diminta Dhani.
“Saya akan mengganti
guling yang sudah kotor ini dengan yang baru.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar