Di sini, di ujung jalan yang
biasa kita lewati berdua ini, aku berdiri di depanmu. Kau menatapku dengan
tatapan tajammu.
“Maaf,
aku harus pergi. Aku tidak membawamu turut serta.” Kamu mengucapkannya dengan
mantap, tanpa memerdulikan perasaanku.
“Tapi…”
“Arin,
mereka orang tuaku, aku tidak bisa menolak perjodohan ini!”
“Apa
kamu masih mencintaiku?”
Arman
perlahan mengangguk. Perjodohan dengan gadis pilihan kedua orang tuanya. Sebenarnya
dia pernah mengatakan hal ini sewaktu dia menolak mentah-mentah perjodohan itu.
Tapi, sejak papanya mengancam akan ‘membuangnya’
ke luar negeri dia tidak bisa berbuat apa-apa, dalam hatinya lebih baik
menerima perjodohan itu daripada harus hidup di negeri orang dan jauh dariku. Itulah
alasannya dulu. Tapi seiring berjalannya waktu, aku tahu secara perlahan dia
telah mencintai gadis itu melebihi cintanya kepadaku. Aku tidak bisa berbuat
apa-apa, selain menangis.
Aku
mengenalnya bukan baru kali ini, sudah lima tahun kami menjalani hari-hari
bersama, suka duka, bahkan ketika dia diusir dari rumahnya karena mabuk, aku
pun masih menerimanya dengan lapang dada.
Arman,
dia balik badan dan berjalan menjauhiku. Di ujung jalan ini aku menatap
punggungnya yang bergerak semaikn jauh hingga hilang di tikungan. Arman, di
sudut mata ini mengalir sebuah tanda cintaku untukmu yang tidak bisa kubendung
lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar