Detak jarum jam yang kini tengah menunjukkan angka 10 malam terdengar begitu nyaring, hanya detak jantung Kinan yang bias menandingi kecepatan detak jarum jam tersebut. Kinan tak banyak berucap, dia hanya bergumam untuk dirinya sendiri. Matanya tak juga kunjung untuk menutup untuk menghapuskan lelah hari ini
yang telah dilalui Kinan.
Kinan memiringkan kepalanya sedikit ke kanan. Mungkin kepalanya capek karena sudah lama menatap langit-langit kamar bercat putih ini, toh juga cicak-cicak yang biasanya menjadi teman dikala terjaga seperti ini sudah tidak ada lagi disekitar lampu. Semilir terdenga rsebuah senandung dari bibirnya. Alunan lagu yang tidak jelas namun memiliki irama tersendiri bagi Kinan,
karena kakinya yang
tertutup selimut terlihat bergerak-gerak seolah mengikuti irama lagu
yang sedang dinyayikannya.
Di malam yang sama ditempat yang berbeda, Bunda juga masih terjaga. Bunda miring kekiri menjadikan lengannya sebagai
alas dikepala menjadi pengganti bantal. Bukan karena tidak ada bantal, tapi karena Bunda sudah terlalu capek beberapa bulan terakhir ini sering tidak bias tidur karena memikirkan Kinan, menggulingkan badan ke kanan ke kiri, hingga akhinya menemukan posisi yang pas untuk memulai memejamkan mata meskipun pada akhirny ausaha itu masih gagal.
Sayup-sayup terdengar senandung dari kamar Bunda, awalnya perlahan namun lama lama terdengar juga oleh Ayah yang sedang tidur diluar.
"Hmm..laguini" gumam Ayah.
Mata Ayah berkaca-kaca mendengar senandung yang sedang dilantunkan Bunda. Pikiran Ayah melayang pada kejadian beberapabulanlalu.
***
"Kinan, tolong sini bantu Bunda Nak!" Panggil Bunda yang sedang mencuci baju. Bunda meminta tolong Kinan
yang sedang bermain kelereng dengan Banyu, adiknya.
"Iya Bun, sebentar" sahutnya sambil membersihkan kedua tangannya
yang penuh kotoran tanah, mengusapkannya pada celana pendek coklatnya.
Kinan berjalan sedikit berlari menghampiri Bunda, tanpa
mengucapkan kata Bunda meminta tolong Kinan untuk mematikan air kran karena
ember cucian Bunda sudah penuh. Kinan dengan sigap memutar kran air.
“Sudah Bun?”
tanyanya, sekaligus memastikan jika Bunda tidak memerlukan bantuannya lagi dia
segera kembali bermain dengan Banyu.
Bunda
mengangguk. Tersenyum. Lalu bernyayi, mengalunkan sebuah lagu yang sangat indah
dan membuat siapapun yang mendengarnya pasti akan mengangguk-anggukkan kepala
atau menggerakkan kaki mengikuti irama. Kinan berbalik, memandang Bunda yang
sedang asyik mencuci sambil bersenandung.
Kinan berjongkok
di depan Bunda. “Bunda itu lagu apa sih? Kok setiap hari Bunda nyanyi itu dan
tiap kami mau tidur juga Bunda menyanyikan lagu yang sama”
“Ini lagu dari
nenek kamu, lagu yang sarat akan makna. Nanti kalau kamu sudah besar kamu akan
tahu makna sebenarnya. Bahwa hidup itu memang tidak selalu mudah, bahkan lebih
banyak susahnya tapi itulah hidup yang memang dituntut sebuah perjuangan demi
kebahagiaan yang dipanen setelah mengalami beratnya perjuangan itu.”
Kinan hanya
mengerutkan kening tidak mengerti apa yan diucapkan Bundanya. Wajar saja,
usianya baru enam tahun dan Banyu adiknya berusia empat tahun. Mereka masih
terlalu kecil untuk memahami penjelasan bunda.
“Maksudnya,
kalau Mas Kinan dan Dek Banyu sedang mengalami kesusahan, jatuh dari sepeda,
atau terpeleset ketika sedang main bola jangan menangis, bukan, kalian boleh
menagis tapi hanya secukupnya, lalu bernyayilah, nanti rasa sakit itu akan
hilang” Ayah datang memberikan penjelasan yang sepertinya membuat Kinan cukup
mengerti.
“Ooh.. begitu,
baiklah nanti Kinan dan Dek Banyu akan bernyanyi seperti apa yang Bunda
nyanyikan...” baru saja Kinan menyelesaikan kata-katanya tiba-tiba terdengan
Banyu menangis sambil memegangi tangannya. Kinan berlari menghampiri adik
tersayangnya. Ayah dan Bunda menatapnya dari kejauhan dan mengembangkan
senyumnannya ketika melihat Kinan mulai mengajari Banyu nyanyian untuk
menghilangkan rasa sakit karena gigitan semut merah.
Kinan dan Banyu
memang anak-anak Bunda yang cerdas. Rumah menjadi ramai ketika mereka berdua
sedang bermain bersama. Tak masalah rumah menjadi kotor, bagi Bunda itu
tandanya mereka juga sambil belajar.
Kinan saat ini
duduk di banku TK B, sedangkan Banyu masih diikutkan Bunda untuk belajar di
kelompok bermain di balai RW tempat mereka tinggal. Setiap pagi Bunda sendiri
yang mengantar dan menjemput mereka yang kata tetangga terlihat seperti anak
kembar karena postur tubuh mereka hampir sama. Kurus. Jadilah Bunda selalu
membelikan baju dan celana yang ukurannya sama, kadang juga dengan warna yang
sama karena tak jarang mereka berdua bertengkar berebut pakaian jika pakaian
yang dibelikan tidak senada.
Tiap malam tiba,
Ayah dan Bunda secara bergantian membacakan dongeng untuk mereka, guna
meningkatkan daya imajinasi mereka.
“Aku mau jadi
buto ijo nya Yah!” kata Kinan ketika Ayah mendongengkan cerita buto ijo.
“Aku mau jadi
kancil!” Sahut Banyu tak mau kalah.
“Iya, nanti si
kancil akan aku makan. Hauum!!” Kinan menggoda dengan seolah-olah akan menerkam
adiknya.
“Aku nanti lari,
biar nggak dimakan.” Jawab Banyu,
“Nanti tetap
Buto Ijo yang menang, kan buto itu raksasa yang besar! Iya kan Yah?” Kinan
meminta pembelaan dari Ayah.
Kalau sudah
begitu maka malam-malam di rumah sederhana mereka akan ramai kembali, berebut
siapa yang paling kuat antara Buto dan kancil.
Sementara Bunda
lebih banyak menyanyikan lagu yang sama ketika meninabobokan mereka berdua,
karena dengan nyanyian dari suara Bunda yang halus menentramkan hati.
Tersenyumlah..
Bernyanyilah...
Tak usah kau bersedih, mari berkumpul
Aku akan datang saat kegelapan bersamamu
Karena rembulan datang tanpa cahaya
Hanya malam yang mampu menatapnya
Penggalan lirik lagu
yang dinyanyikan bunda membuat mereka segera terlelap.
***
Tidak
terasa air mata Ayah jatuh di pipi mengingat betapa cerianya kedua putranya.
Keduanya begitu ceria dan sehat. Semangat mereka tiap pagi ketika berangkat
sekolah pun selalu diingat Ayah. Beberapa bulan lalu Ayah masih mengingat
betapa bahagianya Kinan, yang pagi itu berpamitan sekolah dengan senyum dan
tangan melambai dengan riang. Banyak bercerita ketika naik sepeda di perjalanan
menuju ke sekolahtanpa Ayah tahu bahwa itu adalah salam untuk yang terakhir
kalinya.
Dokter memvonis
Kinan terkena tumor di batang otaknya. Bagaikan disambar petir di siang bolong,
kabar tersebut merenggut keceriaan Kinan seketika. Dua bulan sudah Kinan hanya
bisa tergolek lemah di ICU dengan segala peralatan medis yang menempel di tubuh
kecilnya.
"Mas Kinan
kemana Bu?" Tanya Banyu yang hanya tahu bahwa Kinan sedang sakit tanpa
tahu bahwa kakaknya akan istirahat cukup lama di rumah sakit.
"Mas Kinan
kan sedang sakit, sayang.." jelas Bunda.
"Kapan
pulangnya? Adek nggak bisa main kelereng lagi sama Mas Kinan kalau Mas Kinan
tidak pulang."Ucapan Banyu semakin membuat Bunda ternyuh.
"Mas Kinan
akan segera pulang, makanya Adek berdoa ya biar Mas Kinan cepat sembuh."
Bunda memeluk
Banyu, lirih terdengar nyanyian Bunda yang membuat Banyu semakin erat
mendekapnya. Entahlah, jika dibilang kuat Bunda juga tidak begitu yakin
menghadapi cobaan yang sedang terjadi pada Kinan. Jika boleh, lebih baik Bunda
yang menggantikan posisi Kinan saat ini. Namun bunda tahu, seperti lirik lagunya
Karena rembulan datang tanpa cahaya. Hanya malam yang mampu
menatapnya. Bahwa kita tidak akan pernah bisa melihat indahnya padang
bulan tanpa adanya gelap malam, kita tidakakan merasakan indahnya kehidupan
yang diaturNya tanpa adanya cobaan dariNya pula.
Ruangan putih
dengan bau khas obat-obatan menyengat ketika memasukinya. Di ranjang paling
ujung, terlihat Kinan sedang berbaring di hari tepat dua bulan dia tergolek di
sini, terlentang, karena Kinan masih belum sepenuhnya bisa menggerakkan kaki
ataupun tangannya, hanya gerakan-gerakan kecil di jari jemarinya. Meskipun
selama dua bulan ini Kinan hanya bisa berkomunikasi melalui mata dan suara
lirihnya yang hampir tidak terdengar, tapi semangat Kinan sangat luar biasa.
Setiap malam ketika berkunjung, Bunda selalu menyanyikan lagu sambil memeluk
erat anak sulung tercintanya hingga Kinan benar-benar tertidur pulas.Nyanyian
Bunda memberikan semangat tambahan kepada Kinan.
"Bunda akan
selalu di sini dengan nyanyian Bunda untuk memberikan semangat kepadamu Nak,
Kinan juga jangan bersedih yaa.. ingat kata Ayah, kalau jatuh atau sakit kita
boleh menangis secukupnya, tapi ingat kamu harus tetap berdoa dan bernyanyi
untuk bisa menghilangkan rasa sakut itu." Bunda mencium kening Kinan yang
bersih.
Malam ini langit-langit
ruangan putih itu diramaikan oleh tiga ekor cicak yang sedang berkejaran. Kinan
menatap binatang kecil itu sambil bersenandung lirih, lagu Bunda. Kinan tak
kunjung bisa memejamkan mata, kakinya bergerak-gerak mengikuti irama lagu yang
dinyanyikannya. Cukup lama, hingga Kinan pun terlelap.
Blog
post ini dibuat dalam rangka mengikuti Writing Project #DanBernyanyilah yang
diselenggarakan oleh Musikimia, Nulisbuku.com dan Storial.co
Tidak ada komentar:
Posting Komentar