photo by : Renna |
Sebatang rokok yang terselip
diantara telunjuk dan jari tengah itu masih utuh. Sama sekali belum tersentuh
api. Gelang hitam berseling merah yang terbuat dari tali itu juga masih
menemani pergelangan tangan yang kini mulai menghitam terbakar matahari. Sepatu
converse buluk yang entah kini telah
berubah warna antara kuning muda, abu, tidak jelas apa warnanya padahal sepatu
itu dulu putih bersih. Sudah pasti sepatu itu telah menemani pemiliknya
berjalan bertahun-tahun hingga rupa sepatu itu sungguh miris.
“Nih korek!” seseorang menyodorkan
korek api kepadanya.
“Terima kasih Mas, saya tidak sedang
ingin merokok.” Jawabnya sopan.
“Terus? Ngapain daritadi rokok itu
hanya kamu pegang, diputer-puter diantara jemari?” tanya orang itu yang
merupakan seorang penarik becak. Dia menyalakan api dari pemantiknya didekatkan
pada sebatang rokok yang hendak dihisapnya.
“Nggak apa-apa Mas, iseng saja,
hehe..” tawa yang garing. Memperhatikan tukang becak yang sebenarnya masih
muda, paling hanya beberapa tahun di atasnya. Tapi garis wajah yang tegas
sekilas membuat orang itu tampak lebih tua.
“Lagi ada masalah?” tanya orang itu
lagi yang entah hanya iseng bertanya atau lama-lama merasa terganggu dengan
tingkah pemuda disampingnya yang sedari tadi hanya memutar-mutar sebatang rokok
di tangannya.
“Aku Joni, tukang becak di sini..
terminal ini sepi bus sudah jarang mampir paling sehari hanya ada satu bus,
beberapa penumpang angkot yang biasanya nunggu juga semakin jarang lewat di
sini.” Dia menyesap lagi rokoknya. Lalu mematikannya, merasa tidak enak
berbicara dengan orang yang baru ditemuinya dengan berhiaskan kepulan asap
rokok. “Panggil aja aku Bang Joni” lanjutnya.
Pemuda disampingnya tersenyum,
tercetak dua lesung di pipinya. “Saya Jejak.”
Joni menunggu lanjutan dari kata-kata
Jejak. Namun hanya itu yang keluar dari mulutnya.
“Jejak? Kamu nunggu siapa di sini?”
tanya Joni.
“Kenapa Abang di sini? Bukannya tadi
Abang bilang kalau di sini sepi?” Jejak bali bertanya.
Joni tertawa, lalu beranjak ke toko
penjual minuman yang berada di sebelah tempat mereka duduk. Tak berapa lama
Joni kembali membawa dua buah botol minuman jeruk dingin. Mengulurkan satu
untuk Jejak. Awalnya Jejak heran, memangnya raut mukanya terkesan sangat
kehausan dan tidak sanggup membeli minuman? Oh, separah itukah wajahnya siang
ini?
“Aku tahu kamu punya banyak uang,
aku membelikan ini bukan karena mengasihanimu, tapi aku anggap kamu adalah tamu
di sini.” Seolah Joni paham yang sedang dalam pikiran Jejak.
“Eh, iya, Makasih Bang.” Jejak
membuka botol dan meneguk sedikit isinya.
“Ah... segarnya.” Joni hampir
menghabiskan satu botol dalam sekali tegukan. “Kamu tadi bertanya kenapa aku
masih tetap menunggu penumpang di sini walaupun terminal ini sudah sepi?” Joni
menoleh ke arah Jejak.
Jejak mengangguk.
“Aku memang sedang tidak menunggu
penumpang di sini, tapi aku sedang menunggu istriku. Dia pergi merantau tiga
tahun lalu. Dia berkata akan pulang dua bulan sekali setiap hari pasar rame,
kamu tahu, di daerah sini setiap dua bulan sekali akan ada pasar rame, pasar
dimana penjual dan pengunjung berasal dari beberapa daerah dan berkumpul di
balai desa. Ramai sekali. Istriku memintaku untuk menunggunya di tempat
keberangkatannya dulu, yaitu di terminal ini...”
Jejak seksama mendengarkan cerita
Joni.
“.....dia melakukannya di tahun
pertama, mulai jarang di tahun kedua, dan hingga tahun ketiga ini dia tidak
pernah datang.” Lanjutnya.
Jejak hanya menatap laki-laki
disampingnya, bingung harus mengatakan apa.
“Jadi, karena aku telah berjanji
kepadanya untuk selalu menjemputnya,
maka di sinilah aku sekarang, menunggunya dengan becak kesayanganku.”
“Tapi Bang, bagaimana kalau istri
Abang tidak pernah datang?” tanya Jejak, yang langsung dibalas dengan tatapan
dari Joni.
“Eh, maksud saya bukan seperti itu
Bang.....” buru-buru Jejak meralat pertanyaannya.
Joni menepuk ringan bahu Jejak,
seolah mereka adalah dua sahabat yang sudah lama akrab. “Ya, aku tahu maksud
pertanyaanmu. Jangankan kamu yang baru bertemu denganku, di sini setiap hari, semua
orang yang ada di terminal ini selalu menanyaiku bahkan mereka menganggapku
laki-laki bodoh yang mau saja menunggu istrinya yang sampai saat ini satu
suratpun tidak pernah kudapat.”
“Lalu....?”
“Lalu?” Joni mengulangi pertanyaan
Jejak. “Lalu seperti yang kamu temui siang ini, aku masih di sini menunggunya.
Karena aku telah berjanji, aku tidak bisa mengingkarinya.”
Jejak tiba-tiba teringat dia pernah
berjanji pada seseorang.
“Jejak, kamu tahu hidup ini memang
penuh dengan ketidakpastian, hanya sebuah kematianlah hal yang pasti. Tapi kamu
akan menemukan suatu kepastian jika kamu menepati setiap perkataan yang telah
kamu ucapkan.”
Jejak pernah berjanji kepada
seseorang untuk kembali.
“Aku telah berjanji pada istriku
untuk menunggunya, maka sebisa mungkin aku menepatinya hingga aku mendapat suatu
kepastian, meskipun kepastian itu adalah untuk selalu menunggu. Aku tidak bisa
menyalahkan istriku yang telah melupakan janjinya hingga membuat kepulangannya
seolah-olah tidak pasti untukku, karena hal itu biarlah menjadi urusannya yang
terpenting aku akan tetap di sini untuk menunggunya.” Joni menyilangkan kakinya
“Kamu tahu, jangan pernah mengubah
dirimu hanya untuk dicintai oleh orang lain, cukup perbaiki apa yang ada di
dalam diri kamu sehingga jika suatu saat nanti orang yang pergi darimu itu kembali,
kamu masih menjadi orang yang sama dimatanya.” Joni mengedarkan pandangan.
“Karena tidak selamanya menunggu itu membosankan, kadang terselip pula satu
titik kebahagiaan yaitu KEMBALI. Dimana kembalinya kita sangat dinanti-nantikan
oleh semua orang yang menunggu kita.” Lanjutnya.
Mata Joni tampak berbinar, dari
kejauhan tampak seorang perempuan turun dari sebuah bus antar kota kemudian
berjalan menuju ke arahnya.
Jejak turut beranjak, menyambut
kehadiran istri Joni. Setelah berbasa basi singkat Jejak melangkahkan kembali
kakainya, menuju ke rumah yang telah dua tahun ini hanya ada dalam
angan-angannya saja, seseorang yang mungkin masih tetap sama menunggunya untuk
pulang seperti apa yang dilakukan Bang Joni terhadap istrinya.
***
Rumah penuh tanaman itu masih sama
seperti dua tahun lalu, rindang dengan mawar yang tetap cantik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar