dok. pribadi |
Angin sore semilir
menerbangkan dedaunan kering di atas bukit ini. Aku telah berada di sini sejak
dua jam lalu. Menunggu senja sambil melukis adalah kegemaranku yang tidak
pernak berubah sampai saat ini.
"Bagaimana jika aku
menjadi tua nanti? Apakah kamu masih akan tetap bersamaku?"
Suara itu menghentikan sapuan kuasku.
Suara itu menghentikan sapuan kuasku.
"Bukannya memang seharusnya aku bersamamu
sampai mati?" Ujarku. Bukan hanya karena janji yang pernah aku
ucapkan saat menikahinya dulu, tapi ini memang janjiku sendiri kepadamu,
perempuan yang aku sayangi lebih dari apapun.
Perempuan itu tersenyum padaku.
Aku bergeming. Kuarahkan lagi kuas dengan warna jingga ke kanvas di depanku. Kugambar senja yang indah disini. Karena kami berdua memang penikmat senja mulai dari jaman kami berpacaran dulu hingga saat ini.
"Kalau aku jadi jelek?
Keriput? Gigiku ompong semua, apa kamu masih tetap
mencintaiku?"
Perempuan ini memang sangat cerewet.
Perempuan ini memang sangat cerewet.
Tidak
ada yang lebih cerewet daripada dia. Rumah kecil kami adalah kerajaan kecil
dengan dia sebagai ratunya. Ketiga anak kami adalah pangeran-pangeran yang
tidak pernah sekalipun membantah apa yang dititahkan oleh yang mulia Ratu,
apapun yang dilakukan Ratu adalah demi kebaikan kerajaan kecil kami dan semua
di bawah pengawasanku yang hanya bisa geleng-geleng kepala saat melihat Ratu
kami begitu antusiasnya menerapkan aturan ini-itu, karena di tangan Ratu inilah
kerajaan kecil kami menjadi sebuah kerajaan yang bahagia.
"Iya" Jawabku
tanpa mengalihkan pandangan dari kanvas.
"Hmm... kalau aku tidak
bisa berjalan lagi? Apa kamu siap untuk menggendongku kemanapun aku ingin
pergi?" Tanya dia lagi, kali ini tanpa menoleh ke arahku. Aku
menoleh ke arahnya, kulihat dia sedang asyik memainkan ilalang di tangannya.
"Kemanapun itu." Aku menyapukan warna coklat di beberapa bagian pada lukisanku. Lagi, tanpa menoleh ke arahnya.
Dia memegang tanganku, "kalau aku sudah pikun, tidak bisa lagi mengingat siapa kamu, apa kamu masih mengingatku?"
Kali ini kuhentikan sapuanku, kuletakkan kuas kecil yang sudah belepotan warna abu-abu itu kembali. Kuraih tangannya, kugenggam.
Kuamati wajahnya yang sudah penuh keriput. Dia tersenyum saat aku memegang pipinya. Senyumnya masih semanis dulu meski kini tanpa satu gigipun tertinggal di sana. Rambutnya yang berwarna abu-abu juga masih halus seperti pertama aku mengenalnya.
"Kamu siapa?"
pertanyaan itu selalu menjadi penutup dari sederet pertanyaannya tadi. Dan
serangkaian pertanyaan tadi entah sudah menjadi pertanyaan yang ke berapa
kalinya sejak satu tahun terakhir ini.
"Aku teman hidupmu.
Sudah jangan paksa untuk mengingat siapa aku, cukup aku saja yang tahu siapa
kamu." Aku beranjak, menggendongnya, bersiap untuk menuruni bukit ini. Pagi tadi ketika aku sedang
membuatkan bubur untuk sarapan kami, dia berkata ingin melihat senja sore nanti
di atas bukit ini.
"Kakek, sini biar Sore
yang bantu bawa lukisannya!" Sore mengamati lukisan Kakeknya. Kanvas yang tadinya putih
itu kini telah terlukis dengan sangat sempurna sepasang teman hidup berusia senja duduk bersama di
bawah pohon rindang menikmati senja.
-----------------------------------------------
*cerita ini adalah pengembangan dari cerita di proyek ngeblog di instagram saya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar